Teruntuk si pengirim tiga puluh pesan dengan isi yang sama.
Tugas-tugasku berserakan, sebagian besarnya belum
kukerjakan, jangankan mengerjakan kusentuh pun tidak. Agenda-agenda wajibku
belakangan ini tak bergulir sebagaimana mestinya. Rencana-rencana yang kususun
rapi sekarang hanya tinggal entri kosong tanpa isi. Dan dengan segala macam
persoalan itu, masih sempat-sempatnya kuluangkan waktu untuk menulis tentang
sebuah mitos berjududul; kita.
Terlalau egoiskah jika menganggap semua persoalan berakar
dari rumitnya setatus yang kita jalani? Atau seperti yang kaubilang, kita harus
sama-sama introspeksi diri; karena memahami diri sendiri adalah jalan menuju
kebijaksanaan. Atau barangkali, kita harus berunding untuk ciptakan
asumsi yang ujung-ujungnya menimbulkan konflik dan kontradiksi? Mengapa bisa
serumit itu? Semestinya kita tak harus merumitkan sebuah hal jika kita tahu apa
yang sebenarnya kita pikirkan—yang kita inginkan. Dan aku sudah memikirkan
tentang ini. Bahwa kita tak akan jadi. Maaf, jika kaumerasakan ada tanda
keraguan. Jelas aku meragu. Segala yang menyangkut kata “kita” selalu
meragukanku.
Sudah seharusnya dari dulu aku sadar, menjatuhkan
hati padamu adalah sebuah kesalahan besar. Semestinya aku tahu, tak boleh
semudah itu sistem kerja logikaku dibuat lumpuh olehmu. Jujur, aku memang
lamban dalam hal menimbang-nimbang rasa. Terlalu payah mencegah hal yang tak
semestinya datang untuk tak harus datang. Kini yang hadir hanya sebuah
pertanyaan besar:
Memilih menyakiti untuk tidak memiliki atau
memiliki namun pada akhirnya tersakiti?
Abaikan saja pertanyaan itu, karena sungguh aku sudah kelelahan menjejali hati dengan rangkaian pertanyaan yang memuakkan. Jika kau bertanya soal kerelaan,sebenarnya hati masih tak mempercayainya dan sebagian lagi malah menyangkalinya. Aku tak pernah dapat jawaban pasti. Coba kaupahami ini: yang kulihat sekarang adalah lautan yang tampak nyata, namun tepiannya semu semata.
Maaf, jika aku mengecewakanmu. Maaf karena hati
tak berani mengambil resiko untuk mati yang kesekian kali. Dan maaf, sepertinya
kata “kita” hanya akan jadi mitos saja. Semoga kaubisa mengerti, hingga pada akhirnya
buah manis dari kesulitan itu kita dapati. Semoga jika nanti nakalnya semesta
kembali mempertemukan kita dalam satu zona, kita tak perlu menyembunyikan diri
karena dikalahkan oleh perasaan inferior yang pernah kita miliki. Dan kuharap kau bisa menerima, sebab jika
kehendak kita tak berjalan sesuai ingin hati, maka biarkanlah kehendakNya yang memberi
anugrah untuk jalan yang tengah kita lalui.
Tertanda, yang paling setia memelukmu dalam doa.