20 September 2012

Sebuah Mitos Berjudul "Kita"


Teruntuk si pengirim tiga puluh pesan dengan isi yang sama.

Tugas-tugasku berserakan, sebagian besarnya belum kukerjakan, jangankan mengerjakan kusentuh pun tidak. Agenda-agenda wajibku belakangan ini tak bergulir sebagaimana mestinya. Rencana-rencana yang kususun rapi sekarang hanya tinggal entri kosong tanpa isi. Dan dengan segala macam persoalan itu, masih sempat-sempatnya kuluangkan waktu untuk menulis tentang sebuah mitos berjududul; kita.

Terlalau egoiskah jika menganggap semua persoalan berakar dari rumitnya setatus yang kita jalani? Atau seperti yang kaubilang, kita harus sama-sama introspeksi diri; karena memahami diri sendiri adalah jalan menuju kebijaksanaan. Atau barangkali, kita harus berunding  untuk ciptakan asumsi yang ujung-ujungnya menimbulkan konflik dan kontradiksi? Mengapa bisa serumit itu? Semestinya kita tak harus merumitkan sebuah hal jika kita tahu apa yang sebenarnya kita pikirkan—yang kita inginkan. Dan aku sudah memikirkan tentang ini. Bahwa kita tak akan jadi. Maaf, jika kaumerasakan ada tanda keraguan. Jelas aku meragu. Segala yang menyangkut kata “kita” selalu meragukanku.

Sudah seharusnya dari dulu aku sadar, menjatuhkan hati padamu adalah sebuah kesalahan besar. Semestinya aku tahu, tak boleh semudah itu sistem kerja logikaku dibuat lumpuh olehmu. Jujur, aku memang lamban dalam hal menimbang-nimbang rasa. Terlalu payah mencegah hal yang tak semestinya datang untuk tak harus datang. Kini yang hadir hanya sebuah pertanyaan besar:

Memilih menyakiti untuk tidak memiliki atau memiliki namun pada akhirnya tersakiti?

Abaikan saja pertanyaan itu, karena sungguh aku sudah kelelahan menjejali hati dengan rangkaian pertanyaan yang memuakkan. Jika kau bertanya soal kerelaan,sebenarnya hati masih tak mempercayainya dan sebagian lagi malah menyangkalinya. Aku tak pernah dapat jawaban pasti. Coba kaupahami ini: yang kulihat sekarang adalah lautan yang tampak nyata, namun tepiannya semu semata.

Maaf, jika aku mengecewakanmu. Maaf karena hati tak berani mengambil resiko untuk mati yang kesekian kali. Dan maaf, sepertinya kata “kita” hanya akan jadi mitos saja. Semoga kaubisa mengerti, hingga pada akhirnya buah manis dari kesulitan itu kita dapati. Semoga jika nanti nakalnya semesta kembali mempertemukan kita dalam satu zona, kita tak perlu menyembunyikan diri karena dikalahkan oleh perasaan inferior yang pernah kita miliki. Dan kuharap kau bisa menerima, sebab jika kehendak kita tak berjalan sesuai ingin hati, maka biarkanlah kehendakNya yang memberi anugrah untuk jalan yang tengah kita lalui.


Tertanda, yang paling setia memelukmu dalam doa.

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran