11 Juli 2016

Pertemuan II



Sumber Gambar: Google


Aku mengingat pertemuan kita dengan penuh rasa syukur. Setiap kali membayangkannya, betapa dulu dan kini kita telah berbeda. Segala subtansi penyusun dirimu, segala sistem nilai yang kauyakini, adakah berbeda dulu dan sekarang? Beberapa konflik yang kita lewati, beberapa perasaan mutual yang menjadikan kita makin saling memaklumi, kendati enggan kupastikan apa yang terkubur di hatimu dan yang terkubur di hatiku adakah serupa? Hari ini untuk kembali meghayati beberapa ingatan yang telah jelma kenangan itu, aku menulis hal ini, meski banyak di antaranya telah pula jadi tumpukan usang.
            Aku pernah begitu berhasrat padamu, hal-hal yang kadang mengaburkan logika dan perasaan, dan begitulah dorongan kuat tersebut bahkan memeberi dampak buruk untukku sendiri. Kerap aku bertanya, “sesuatu” itu yang berusaha kucari padamu. Hal yang membuat aku bahkan tak mengerti diriku sendiri. Sempat aku menyangkal, bahwa kepribadianmu memang layak dikagumi banyak orang. Ya, aku sekadar kagum.
            Namun, waktu terus berjalan. Ia memisahkan aku yang dahulu dengan hari ini. Aku sadar, bukan sekadar kagum, aku hanya tak bisa menjelaskan apa yang terjadi, apa realitas ini. Hal ini terlalu besar untuk diriku yang kerdil. Maka aku merenung, mencoba menyelaraskan semuanya. Merenung adalah caraku meninjau kembali segala sistem dalam diriku. Merenung merupakan perwujudan dari alaram jika sesuatu itu terdeteksi miliki “kesalahan”. Aku meninjau kembali konsistensi sistemik antara kesadranku dan realitas yang berada di dalam atau di luarnya. Pada akhirnya alu akan kembali memulai dari satu titik, dan satu waktu. Aku ambil segala konsekuensinya, setigma apapun nanti yang boleh jadi menyerangku, aku terima ranjau itu, aku pilih jalan yang mungkin tak akan membawaku ke mana-mana, tapi, setidaknya aku berbuat sesuai parameter hati. Begitulah, manakala semesta mendukung, dan kita berubah tanpa rencana, bisa tiba-tiba kita menyukai sesuatu yang dulunya kita tidak suka, bisa kita menyetujui sesuatu yang dulunya kita tentang. Bayangkan, kau kini di sebuah toko perabotan rumah, kau memilih desain sesuai selera dan bujet. Ada meja makan, kursi, asesoris interior, dan lain sebagainya. Tapi kini kau melihat satu lukisan, kau pun jatuh hati, kau ingin memilikinya dan serta-merta melupakan asesoris interior yang sebelumnya kau inginkan sesuai selera dan bujet. Kini kau malah ingin lukisan. Dan aku mengaku bahwa aku adalah manusia yang lemah, setidaknya dengan hal ini yang bisa kulakukan adalah beradaptasi. Jika tak bisa kau mengubah suatu keadaan, jalan terakhir adalah berdamai dengan keadaan itu, tak terkecuali sisi gelap sekali pun. Ya, pada akhirnya aku akan kembali memulai dari satu titik, dan satu waktu.
            Barangkali tulisan ini berupa pengakuan, atau anggap sajalah ini kelemahan sebagai manusia yang dengan gamblang kubeberkan.Seharusnya tidak kulakukan, mengutarakan kelemahan. Sebab jika kelemahan telah terbuka, maka kita akan menjadi rentan. Tapi barangkali kelemahan ini akan menjadikan aku semakin kuat, logika yang aneh ya? Bukankah yang sebenarnya kuat adalah dia yang berani mengakui kelemahan? Bukan mereka yang bersembunyi dalam tameng kepura-puraan. Dengan mengakui kelemahan kita dapat melaluinya, dengan melaluinya kita dapat melampauinya.
            Maka aku mengakui beberapa hal yang ada padamu menjadi titik lemahku. Berbahagilah, sebab bergerak sedikit saja boleh jadi kautelah melukai seseorang yang rentan ini. Aku akan berusaha tak melebih-lebihkan perasaan ini, tak akan mendramatisisrnya sehingga orang lain harus bersimpati. Kusadari tak bisa kupaksakan kehendak. Termasuk tak bisa kupaksakan kau untuk mengerti atau ikut merasakan. Akan kuingat ini sebagai sesuatu yang harus kutanggung sendiri. Yang akan kupertanggung jawabkan sendiri. Sebab telah kuberitahu kelemahanku, sebab aku telah menjadi seseorang yang rentan. Enggan menyebutnya sebagai “dosa” bolehkah jika kusebut ini sebagai “kesedihan”? Bahwa kini aku telah bersedih. Pun setiap kali mengingat kau. Tak kumengerti takaran seperti apa yang disebut dosa. Apakah perasaan ini juga termasuk atau tidak. Bagaimana cara menghitung dosa?
Aku menjalani hidupku, melakukan apa yang kuyakini baik, menjauhi apa yang kunilai buruk, meski belum tentu orang lain akan sepemahaman. Namun begitulah kita, hidup dalam sistem nilai-nilai. Kita melekatkan nilai pada sesuatu, lalu kita menjastifikasi, kita memberi ukuran pada apa yang kita nilai, sampai-sampai kadang kita keliru membedakannya dari kodrat. Seorang negro pastilah berkulit hitam, akan diberi pelekatan nilai jelek oleh sebagian besar masyarakat. Padaha telah kodratnya seorang negro mestilah berkulit hitam. Maka aku bersedih hidup dalam sistem nilai itu dan tak terbebas darinya.
Aku membangun keyakinan-keyakinanku sendiri. Menyusun mitos-mitos yang mungkin aneh bahkan konyol. Kuyakini bahwa kita selalu ingin diperlakukan sebagaimana kita ingin diperlakukan. Kendati kita membenci seseorang, sesungguhnya yang kita benci adalah “diri” kita sendiri yang dipantulkan oleh orang lain. Kita adalah cermin yang hidup. Jaringan yang saling terhubung. Begitu pula caraku memandangmu. Pada keserupaan-keserupaan yang kerap kebetulan, namun menjadi ganjil sebab kebetulan itu terlalu banyak.
Terakhir yang ingin kusampaikan, entah nanti, entah kapan, aku akan menemukan seseorang, menjemputku dari tempat pengap ini. Seseorang yang tak akan melekatkan nilai padaku. Seseorang yang memandangku tanpa pristise, seseorang yang memandangku sebagai manusia yang lepas akan nilai-nilai, dan begitu pula nanti caraku memandangnya.
Aku berterima kasih, sebab pengalaman yang terlewati denganmu telah memberiku pelajaran batin yang dalam. Selalu kukatankan ini: bahwa aku bersyukur telah mengenalmu. Kelak ketika jalan kita benar telah pada setapak masing-masing. Akan kukenang kau sebagai satu perjalanan yang menyenangkan kendati berliku--mengenangmu dengan penuh rasa syukur.

4 komentar:

  1. Salam. Sepertinya akan terus setia pantau blog ini.Dan akan jadi penggemar berat blog ini. Tulisannya dalam dan jujur seperti mewakili perasaan saya sendiri. Seperti ikut dalam tulisan ini. Tulus sekali. Mungkin juga selera saya membaca bacaan yang seperti ini. Terima kasih.:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kok dengaren ni bisa di komen blognya��������.

      Ecie...ada fans nya ah...

      Hapus

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran