Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com.
“Masih ada kopinya?”
Seperti Malam,
Begitukah Kopi Diciptakan?
#MyCupofStory
Oleh:
Ikhsan
Sumber Gambar: Google |
Bayangkanlah sebuah wadah berisi
air mendidih. Air panas itu mengepulkan asap. Kau bisa merasakan uap panas
menyeka pori-pori wajahmu. Lalu lihatlah, serbuk hitam dengan warna pekat,
aromanya membawa dirimu ke sebuah ruang kosong yang asing. Di ruangan itu ada
sebuah cawan. Cawan itu kau genggam, di dalamnya serbuk putih menggumpal
keluar. Harum manis. Kini kau menuangkan air mendidih ke dalamnya. Serbuk putih
itu mencair, menjadi satu dengan panas air. Kau tuangkan juga serbuk hitam
pekat beraroma pahit ke dalamnya.
Bayangkanlah,
saat putih dan hitam bercampur. Saat manis dan pahit menciptakan rasa yang
baru. Lalu ruangan tempatmu berdiri menjadi melayang. Kau kini melayang seperti
di planetarium. Dari cawan itu keluar gugusan bintang, bulan, awan kelabu. Dan
kini kau menduga seperti itukah malam diciptakan?
Satu kopi yang
dipesan Pak Satimin telah siap kubuat. Ia duduk di paling pojok warung, tempat
biasa ia menunggu calon penumpang becak motornya. Sudah dua hari ini ia tak
mendapat penumpang. Di sebelahnya Pak Candra, aku tak begitu tahu apa
pekerjaannya, tapi setiap malam ia akan ke sini memesan kopi.
Sebenarnya
lokasi warung di sini bukanlah lingkungan strategis untuk berjualan. Warung
kecil dengan tenda empat tiang sebagai atap yang kerap panas saat siang dan basah
saat hujan ini hanya memiliki satu etalase tempat memamerkan kopi, teh, susu,
gelas-gelas, sendok dan piring. Di depan warung terdapat jalan raya besar
Medan-Belawan yang menyuguhkan pemandangan berbagai kendaraan hilir-mudik
maupun sekadar pulang-balik. Di belakang warung terdapat satu pabrik kertas
yang telah bangkrut. Kau dapat melihat sebuah papan bertuliskan “Tanah dan
gedung ini dijual” di depan pagarnya. Pernah kuusulkan pada ayah untuk pindah
tempat, tetapi cuma tempat ini yang kami dapat.
Aku masih ingat
kali pertama berjualan, pengunjung pertamaku adalah orang gila yang kerap
lewat. Kota yang telah sesak dan ikut-ikutan macet ini juga banyak
menelantarkan orang-orang gila. Ayah bilang, berikan saja ia kopi, mana tahu
darinya terbuka pintu rezeki. Setelah itu beberapa tukang becak menjadikan
warung kecil kami sebagai basecamp mereka
menunggu penumpang. Sisanya terkadang beberapa orang yang berteduh, memesan
kopi, menghangatkan badan sambil menunggu hujan reda atau sekadar menghabiskan
waktu tanpa tujuan. Hampir genap satu tahun aku berjualan. Hanya aku, Ayah
sesekali datang membawa belanjaan atau kopi merek baru dan setelah itu pergi
berladang.
"Sudah jam
sebelas, belum tutup kau,
Kiran?" Tanya Pak Satimin yang sepertinya hendak beranjak.
"Belum, Pak,
sebentar lagi, langitnya cerah malam ini." Langit cerah malam ini adalah
alasan yang kubuat-buat untuk sesuatu yang tak mungkin kuutarakan pada Pak
Satimin, apalagi harus didengar Pak Candra. Untuk sesuatu itu pula aku
mengenakan T-Shirt
merah lengan panjang dan rok circle motif
polos yang baru kubeli kemarin.
"Kau ini memang berani, tapi tetap harus hati-hati. Yasudah, Bapak duluan
ya..." Pak Satimin pergi membawa becak motornya, diikuti Pak Candra yang
menumpang pulang.
Aku mengangguk menerima nasihatnya. Dalam batin aku pun masih tak mengerti bisa
jadi seberani itu. Seorang perempuan berjualan kopi sendirian di lokasi sepi.
Padahal sebelum ibu meninggal, aku adalah anak yang paling penakut. Aku masih
mengenang bagaimana waktu kecil begitu takut jika ke kamar mandi sendirian.
Jarak dari kamar ke kamar mandi hanya dipisah oleh ruang tamu menuju dapur.
Seolah gelap membuat jalan singkat itu berubah menjadi lorong panjang tak
berujung. Aku takut kalau-kalau Kuntilanak, Tuyul, atau Genderuwo (Gederuwo
yang paling kutakuti) akan membuntutiku dari belakang. Aku tak pernah berani ke
kamar mandi sendirian. Tapi Ibu kerap berkata, ketakutanmu untuk kau hadapi
bukan untuk kau patuhi. Kelak kalimat itu akan memberi dampak besar dalam
hidupku.
Namun di malam hari apa pun bisa terjadi. Perampok misalnya, seseorang
berpura-pura membeli kopi lalu sejurus kemudian mengarahkan pisau kepadaku. Aku
selalu siap siaga di dekat dandang berisi air panas. Bila nanti aku terpojok,
maka tak ada pilihan lain selain menggunakan air mendidih itu sebagai senjata
pertahanan. Aku telah bersiap untuk segala kemungkinan.
Sampai malam yang
ganjil itu datang.
Cukup ganjil untuk membuat udara menjadi lebih dingin dari biasanya. Suasana
menjadi lebih sunyi dari yang seharusnya. Bintang-bintang seperti raib dicuri.
Angin berkata-kata, seolah memintaku berwaspada. Tahu-tahu aku merasa ingin
segera pulang. Lalu seseorang datang memesan kopi. Kutepis perasaan aneh
tersebut. Kupikir aku terlalu kelelahan bekerja.
“Sudah lama jualan di sini, dek?” Pria itu bertanya dengan tatapan sayu.
Kujawab pertanyaannya dengan anggukan kepala. Selanjutnya begitu cepat. Dia
menarik lenganku, membawaku ke sudut etalase. Keterkejutan membuat gelas yang
kupegang jatuh. Di bagian perut sebelah kiriku, pria tambun berkumis dengan
kepala nyaris botak itu menempelkan pisau. Kegugupan menyebabkan lenganku
gemetar. Hari itu datang juga, hari ketika aku mesti bersiap dengan segala
kemungkinan. Mataku melirik ke arah dandang di atas kompor. Api kompor itu
menyala sedang. Perkiraanku air di dalamnya tak begitu banyak. Ketakutan
menyebabkan aku tak sempat bersiasat.
“Mana kunci laci?” sedikit membentak, pelangganku yang baru saja berubah
menjadi perampok itu melotot. Putih bola matanya telah merah. Seolah dua bola
mata keruh itu hendak keluar dari tempatnya. Mulutnya mengeluarkan bau tuak.
Dia setengah mabuk.
Dengan lengan gemetar aku mengambil kunci dari kantong celanaku. Dia tak sabar,
kunci itu dirampasnya dariku. Tergesa, dia membuka laci. Ada beberapa lembar
uang. Aku kesal menyaksikan hasil jerih payahku berjualan berada di tangannya.
Tak dapat kubiarkan hal itu terjadi. Kudorong perampok itu, pisau yang berada
di perutku bergeser sedikit menyebabkan bajuku sobek. Segera aku bergerak ke
arah dandang. Dipikiranku hanyalah bagaimana cara agar air dalam dandang itu
dapat kusiramkan pada perampok bau tuak yang kini tersungkur di kakiku. Satu
langkah aku bergerak, kakinya menendang kakiku hingga aku jatuh. Dandang yang
berhasil kuraih pun jatuh. Sedikit tumpahan airnya mengenai lenganku.
Selanjutnya begitu cepat. Aku bahkan bingung apa yang terjadi. Hanya terasa
mataku berair, aku menangis tanpa suara. Perampok itu tergeletak di hadapanku.
Seseorang menarik lenganku keluar dari sudut etalase. Dia, pria baru
yang membuka bengkel di sebrang jalan. Kini terdengar tangisanku yang bersuara.
***
Di langit, bulan
sabit.
“Masih ada kopinya?”
Aku menoleh mencari asal suara. “Masih...”
Seseorang yang tak pernah kulihat, pria itu mencari tempat duduk, persis di
tempat biasa Pak Satimin sering duduk. Segera kunyalakan kompor, merebus air,
menyiapkan kopi, gula, dan gelas.
“Maaf, boleh saya minta buatkan kopi ini?”
Dari tangannya satu bungkus kopi dalam pelastik ia tunjukkan padaku. Sejenak
aku termenung.
“Maksud saya, ganti kopimu dengan kopi saya ini.”
Kuambil bungkus kopi itu darinya. Warna kopi yang lebih pekat, saat bungkusnya
kubuka tercium aroma kopi yang lebih kuat, dengan penuh keheranan kopi itu
kubuatkan.
“Ke warung ini, cuma minta saya menyeduh kopi?”
Pria itu mengangguk, “memang itu kan pekerjaanmu?” dia tersenyum. “Di bengkel
tak ada air panas. Dispenser saya rusak, juga tak ada kompor buat masak air.”
Aku baru ingat, sejak tiga hari yang lalu sebuah bengkel baru dibuka di sebrang
jalan. Sejak tiga hari itu juga aku melihat pria itu dari jauh. Sekarang ia
menjadi begitu berbeda saat dilihat dari dekat. Setiap kali membuat kopi, aku
akan melihat ia berkutat dengan Trafo, kawat las, besi-besi, dan segala
kebisingan sebuah bengkel. Kadang suara palu menghantam besi, kadang mesin
grenda yang berputar, dan terkadang bisa senyap tanpa suara. Aku jadi tahu
bagaimana cara menyatukan bagian-bagian besi sehingga berubah menjadi bentuk
tertentu. Jerjak jendela, Pintu klasik, pagar, bahkan kanopi. Pria itu telah
piawai mengerjakannya. Kuyakini sebelum membuka bengkel di sebrang jalan itu,
ia pun telah lama bekerja dengan kawat las, mesin dan besi, juga sinar yang
keluar saat kawat las menyentuh logam yang hendak disatukan. Sinar itu sungguh
tajam, jika memandangnya terlalu lama matamu akan merasa tak nyaman.
Kopi yang ia pesan telah siap. Perlahan kubawa kepadanya. Kelak, ia akan sering
datang ke warung dengan membawa kopi yang sama. Kelak, sebab itu pula ia akan
menolongku dari serangan seorang perampok mabuk, di jam hampir tengah malam.
***
Lagu dari radio mengalun pelan.
Radio yang usianya lebih tua dariku itu cuma bisa menyiarkan satu saluran,
sebab telah banyak dari tombolnya yang lepas, karat juga terdapat hampir di
seluruh permukaannya. Tidak ada televisi, hanya satu radio tua milik Ayah yang
menjadi alat hiburan di warung. Dari kaca etalase; pemandangan jalan raya,
kendaraan-kendaraan, dan bengkel di sebrang jalan itu dapat leluasa kuamati. Sebab
insiden perampokan itu, sempat seminggu aku tak berjualan. Ayah jadi lebih
sering ke warung. Ayah bahkan menyarankan aku untuk berhenti berjualan. Tapi
aku menolak. Aku tak bisa jadi lemah, dengan terus-terusan memikirkan kejadian
itu dan bersikap pengecut sampai tak berani keluar rumah. Ketakutanmu untuk kau
hadapi bukan untuk kau patuhi.
Seseorang tiba
dengan sepeda motornya. Pria itu selalu datang membawa alat-alat perkakas
kerja, kadang dengan bahan-bahan baru. Bahkan dari jauh, dia terlihat tinggi.
Tampilannya rapi. Postur kakinya selaras dengan sepatu boot hitam bertapak
tebal seperti yang sering dipakai tentara, celana jeans yang
tersobek di bagian lutut sebelah kiri, dan kemeja lengan pendek. Di beberapa
kesempatan, ia memakai celana kain yang memperlihatkan lipatan rapi sehabis
digosok. Kadang, hanya kaos berkerah dan celana cargo, pernah
pula ia datang ke bengkel dengan celana chino dan sepatu sport biru.
Namun, begitu akan bekerja, ia menanggalkan semua pakaian yang ia kenakan,
menggantinya dengan kaos oblong dan celana pendek selutut, serta sandal jepit
usang. Kendati begitu, ia tetap tampak menarik. Pernah sekali waktu jika telah
selesai bekerja, ia akan menaggalkan kaos oblongnya yang telah penuh noda besi.
Kegiatan mengangkat besi dan logam-logam berat itu membentuk tubuhnya menjadi
bugar. Kerap, aku akan memikarkan sesuatu yang memalukan karenanya.
Mendadak suara radio menjadi sumbang, seperti biasa kabel antena radio tua itu
pasti kembali bermasalah. Kuabaikan suara radio yang kian parau, perhatianku
masih diambil pria yang sedang mengangkat beberapa batang besi itu ke depan
halaman
bengkel. Segala detak, detik, menit, jam milikku seolah tercuri tanpa kusadari.
Mendadak aku teringat kali kedua pria itu datang, saat itu suara radioku pun
sedang sumbang.
***
“Kenapa masih
digunakan Radio soak itu?”
“Enak saja soak,
ini radio bersejarah, milik ayah saya.”
Mendengar
ucapanku pria itu malah
tertawa. “Aneh, ternyata masih ada perempuan macam kau.”
“Macam saya?
Memangnya saya perempuan macam apa?”
Ia diam, malah
sekarang sibuk dengan kopinya. Beberapa sesapan dan ia kini tersenyum. Entah
mengapa senyumnya mengganggu, bukan mengganggu dalam arti buruk, hanya.... ya,
mengganggu.
“Saya mau
bertanya,” ucapku.
“Tanyalah...”
“Kopi yang selalu
kau minta saya menyeduhnya, itu kopi apa? Mengapa warna dan harumnya berbeda
dari kopi yang saya jual?” pertanyaan ini adalah pertanyaan yang telah lama
kusimpan.
Sejenak ia
pandangi gelas kopinya yang sudah habis setengah. “Ini kopi dari tempat kelahiran
saya, Sidikalang. Tiap bulan saya dapat kiriman kopi dari bapak di kampung.”
Sekarang aku
paham. Ternyata kopi Sidikalang. Jelas itu jenis kopi yang berbeda dari kopi
yang kujual. Kopi yang kujual adalah kopi biasa yang bisa kau beli di
kedai-kedai dengan harga murah. Atau kopi saset dengan berbagai merek
aneka rasa, kadang malah bukan rasa kopi.
Di pikiranku ketika mendengar kata
Sidikalang adalah sebuah tempat yang penuh pegunungan juga perbukitan.
Pertanian adalah mata pencarian utama bagi masyarakatnya. Area yang memiliki
musim unik, sebentar bisa hujan sebentar kemudian akan panas kembali. Iklim
yang dingin kendati matahari begitu terik. Kau tidak perlu es untuk membuat
minuman sirup, sebab airnya cukup dingin untuk membuatmu gigil. Dari sana kopi
ini berasal, tempat yang memerlukan waktu lebih dari empat jam menuju kota Medan.
Menuju padaku.
“Kau mau coba?”
ia bertanya serius.
“E-h, ngak
usah,” jawabku singkat.
“Sesekali
cobain, saya memang tidak biasa minum kopi selain kopi ini.”
Aku berlagak
pilon, padahal telah berkali-kali kopi itu kucicipi. Setiap kali ia datang
memintaku menyeduhkannya kopi, aku akan megambil sebagian serbuk hitama harum
itu untuk kuminum diam-diam. Aku bukan mencuri, itu adalah balas jasanya sebab
meminta air panasku secara gratis.
“Sesekali cobain
juga kopi saya,” sergahku bercanda. “Sejak kapan kau bekerja jadi tukang las?”
pertanyaan itu asal kutanyakan.
Ia berpikir
sejenak, “persisnya kapan sudah tak ingat, tapi sudah lama, sejak saya tamat
sekolah.”
Aku hanya diam,
kusibukkan diriku dengan aktivitas di etalase.
Mencuci gelas, merapikan barang-barang, juga tak lupa merebus air kembali.
“Kau sendiri,
sejak kapan, jualan kopi?” tanyanya tiba-tiba.
“Hhmm, sama
seperti kau, sejak tamat sekolah.”
“Kenapa tidak
melanjutkan sekolah?”
Sejenak
kuperhatikan ekspresinya saat bertanya, itu seperti hanya pertanyaan untuk
mengisi percakapan, tak kutemukan maksud yang lain. “Saya sempat kuliah sampai
semester tiga, tapi ayah tak punya cukup uang. Maknya saya berhenti, berjualan
untuk sewa rumah dan sekolah adik saya. Kau sendiri?”
Ia melirik
padaku, merasa aneh saat aku melempar kembali pertanyaanya. “Hhmmm, sama
seperti kau.” Jawabnya singkat.
“Mirip seniman.”
Kataku sembari menatap air yang mulai mendidih dalam dandang.
“Maksudmu?”
“Iya, kau mirip
seniman. Setiap hari kau bekerja dengan mesin-mesin berbahaya, dengan
logam-logam berat juga kotor. Tapi besi-besi itu dapat kau ubah menjadi sesuatu
yang lain. Menjadi sesuatu yang bagus.” Pandanganku kini beralih ke padanya.
Padaku ada yang mendidih selain air rebusan di dandang.
Mendengar
pernyataanku, ia tertawa, tawa yang menganggu, bukan dalam artian mengganggu
yang buruk, hanya saja.... ya, aku mulai terganggu.
“Kau juga
seniman, hhmm, maksudku, barista kafe-kafe mahal.”
Mendadak, aku
yang gantian tertawa, “barista kafe-kafe mahal? Kau nggak sadar, aku pedagang
kopi pinggir jalan?” kupadamkan api kompor, sedang tawaku semakin keras.
“Ya, sama saja,
cuma beda skala. Kau meracik kopimu sendiri, di warung yang kau olah sendiri,
bukankah itu hebat?”
Kupikir dia
berusaha menghiburku, atau sedang bercanda padaku. Sejenak aku merasa lucu,
kami saling melempar pertanyaan, juga saling melempar pujian, mungkin untuk
sesuatu yang tak begitu berarti, tahu-tahu aku jadi menyukai keadaan ini.
“Besok saya akan
ke sini, bawa peralatan untuk perbaiki radio pusaka ayahmu.” Ia menawarkan.
Aku tersanjung
atas tawarannya. Sejujurnya tawaran itu seperti bermakna sesuatu. Tiba-tiba aku
merasa malu, malu dengan perasangka dan kesimpulan yang kuterka sendiri. Dia
hanya ingin menolong, tak lebih.
***
“Beli airnya ya...”
Uang dua ribu
rupiah itu kuberikan pada Ail, anak laki-laki berusia sekitar belasan tahun. Ia
memang biasa duduk di pintu belakang sambil bermain sesuatu yang tak
kumengerti. Tangannya berulang kali menepuk lantai, ia bangkit, meracau-racau,
membawa uang dua ribu rupiahku, kemudian kembali duduk di pintu
belakang—menepuk-nepuk lantai, kembali bermain sesuatu yang tak kumengerti.
Emberku hampir penuh, keran air kumatikan. “Ail udah makan?”
Ia menggelang, kendati mentalnya tertinggal jauh dengan tubuh dan usianya yang
terus bertumbuh. Namun, ia tetap bisa menajawab pertanyaan “siapa namamu?” atau
memberi respon mengangguk dan menggeleng untuk pertanyaan yang memerlukan jawaban
iya atau tidak. Lihatlah, betapa nasib seolah pilih kasih. Seorang terus hidup
menghabiskan waktu di pintu belakang. Dunianya hanya seukuran pintu, sedang di
luar sesuatu terjadi penemuan teknologi baru, bom jatuh di area konflik. Ia tak
pernah tahu hal itu, harinya berlalu memperhatikan orang-orang dan menerima
uang dari mereka yang membeli air dari kerannya.
Kuikat rambut panjangku yang tergerai. Dengan sepeda, ember berisi air itu kubawa menuju
warung. Di perjalanan aku mengingat pria bengkel itu. Kau juga seniman,
hhmm, maksudku, barista kafe-kafe mahal. Ia tak jadi datang tadi malam.
Padahal aku sudah menunggunya hingga hampir tengah malam. Padahal ia telah
berjanji akan meperbaiki radioku yang rusak. Tetapi, ia tidak datang.
Segera kutuang air yang kubawa ke dalam dandang, menghidupkan kompor untuk
merebus air. Dari kaca etalase, aku mengamati bengkel di sebrang jalan itu. Kau juga seniman,
hhmm, maksudku, barista kafe-kafe mahal. Kuambil sebungkus kopi dari dalam
laci. Kopi miliknya yang diam-diam kusembunyikan. Kuambil gelas yang sering
kujadikan wadah kopi pria itu. Kutakar dua sendok gula dan satu sendok kopi ke
dalamnya, dengan air mendidih kopi dan gula itu tercampur. Air yang sebelumnya
bening menjadi hitam pekat, harum manis juga pahit kopi membentuk rasa yang lain. Seperti
malam, begitukah kopi
diciptakan? Perlahan-lahan kopi itu kuminum. Satu tegukan, dua
tegukan, tiga....hingga habis tak bersisa. Aku kembali bertanya-tanya, mengapa
tadi malam ia tidak datang.
Seterusnya, pria itu tak juga
datang. Bengkelnya tetap tertutup tanpa ada lagi yang berkunjung. Kupikir, ia
tak terlalu berhasil membuka usaha lasnya di lokasi sepi ini. Tapi ke mana ia,
apa ia kembali ke kampunya, memilih bertani kopi? Atau jangan-jangan ia menjual
kopi sepertiku di sana? Setiap ada kesempatan, aku akan mengamati bengkel di
sebrang jalan itu lebih lama. Mengharapkan seseorang akan keluar dari sana.
Hingga saat itu, malam saat bengkel itu terbakar. Aku sendiri tak mengerti dari
mana api berasal. Orang-orang telah ramai memenuhi lokasi. Kendaraan yang
berhenti melihat kebakaran itu menyebabkan jalan raya macet parah. Aku hanya
terdiam di warung, memandangi api menghanguskan setiap bagian dari bengkel itu.
Tak lama pemadam kebakaran datang. Dibantu warga, kobaran api itu mereda.
Sekilas cerita dari beberapa tukang becak di warung, bengkel itu terbakar
akibat arus listrik di dalam bengkel bermasalah. Bahkan ada yang menyangka,
bengkel itu sengaja di bakar. Aku menatap dengan murung bangunan bengkel yang
telah hangus itu. Di mana dia? Apa yang sedang pria itu lakukan? Apa ia tak
tahu jika bengkelnya terbakar?
Kubuka laci etalase. Kuambil bungkus pelastik berisi kopi milik pria itu. Hanya
sisa satu sendok. Aku menyeduhnya dengan sedikit gula. Tapi ini akan jadi kopi
terakhirku. Aku tak tahu kapan akan bisa meminumnya lagi. Kopi Sidikalang. Sesekali cobain, saya
memang tidak biasa minum kopi selain kopi ini. Sesuatu seperti ombak
bergulung-gulung dalam dadaku. Kuambil ember di dekat kompor, berlari membawa
ember kosong itu ke tempat Ail. Begitu sampai keran itu kuputar. Airnya
mengucur keluar mengisi ember, bersamaan dengan air yang keluar dari mataku. Di
hadapan Ail, aku menangis. Tak kumengerti apa alasanku menangais. Aku menangis
untuk sesuatu yang tak dapat kujelaskan. Apakah aku menangis sebab tak lagi
bisa meminum kopi Sidikalang itu? Atau apakah aku menangis sebab tak akan lagi
aku bertemu dengan pria itu?
Air keran telah memenuhi emberku, sampai melimpah hingga tumpah.[*]
seperti malam, yang kadang sendu, yang kadang mendebarkan.
BalasHapusseperti aroma kopi, yang mengantarkan engkau kepada yang kaucari atau kepada entah di seberang sana.
Weeew...
Hapusbukan pecinta kopi tp bolehlah dicoba
BalasHapusawalnya memang gak cinta dulu..
HapusJika kopi diciptakan layaknya malam, benarkah ia sekelam itu? Lantas bagaimana dengan hidupku?
BalasHapusPiye kak?
Hapus