20 Agustus 2016

Seperti Malam, Begitukah Kopi Diciptakan?

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com.





Seperti Malam, Begitukah Kopi Diciptakan?
#MyCupofStory
Oleh: Ikhsan


Sumber Gambar: Google



Bayangkanlah sebuah wadah berisi air mendidih. Air panas itu mengepulkan asap. Kau bisa merasakan uap panas menyeka pori-pori wajahmu. Lalu lihatlah, serbuk hitam dengan warna pekat, aromanya membawa dirimu ke sebuah ruang kosong yang asing. Di ruangan itu ada sebuah cawan. Cawan itu kau genggam, di dalamnya serbuk putih menggumpal keluar. Harum manis. Kini kau menuangkan air mendidih ke dalamnya. Serbuk putih itu mencair, menjadi satu dengan panas air. Kau tuangkan juga serbuk hitam pekat beraroma pahit ke dalamnya.

Bayangkanlah, saat putih dan hitam bercampur. Saat manis dan pahit menciptakan rasa yang baru. Lalu ruangan tempatmu berdiri menjadi melayang. Kau kini melayang seperti di planetarium. Dari cawan itu keluar gugusan bintang, bulan, awan kelabu. Dan kini kau menduga seperti itukah malam diciptakan?

Satu kopi yang dipesan Pak Satimin telah siap kubuat. Ia duduk di paling pojok warung, tempat biasa ia menunggu calon penumpang becak motornya. Sudah dua hari ini ia tak mendapat penumpang. Di sebelahnya Pak Candra, aku tak begitu tahu apa pekerjaannya, tapi setiap malam ia akan ke sini memesan kopi.

Sebenarnya lokasi warung di sini bukanlah lingkungan strategis untuk berjualan. Warung kecil dengan tenda empat tiang sebagai atap yang kerap panas saat siang dan basah saat hujan ini hanya memiliki satu etalase tempat memamerkan kopi, teh, susu, gelas-gelas, sendok dan piring. Di depan warung terdapat jalan raya besar Medan-Belawan yang menyuguhkan pemandangan berbagai kendaraan hilir-mudik maupun sekadar pulang-balik. Di belakang warung terdapat satu pabrik kertas yang telah bangkrut. Kau dapat melihat sebuah papan bertuliskan “Tanah dan gedung ini dijual” di depan pagarnya. Pernah kuusulkan pada ayah untuk pindah tempat, tetapi cuma tempat ini yang kami dapat.

Aku masih ingat kali pertama berjualan, pengunjung pertamaku adalah orang gila yang kerap lewat. Kota yang telah sesak dan ikut-ikutan macet ini juga banyak menelantarkan orang-orang gila. Ayah bilang, berikan saja ia kopi, mana tahu darinya terbuka pintu rezeki. Setelah itu beberapa tukang becak menjadikan warung kecil kami sebagai basecamp mereka menunggu penumpang. Sisanya terkadang beberapa orang yang berteduh, memesan kopi, menghangatkan badan sambil menunggu hujan reda atau sekadar menghabiskan waktu tanpa tujuan. Hampir genap satu tahun aku berjualan. Hanya aku, Ayah sesekali datang membawa belanjaan atau kopi merek baru dan setelah itu pergi berladang.

"Sudah jam sebelas, belum tutup kau, Kiran?" Tanya Pak Satimin yang sepertinya hendak beranjak.

"Belum, Pak, sebentar lagi, langitnya cerah malam ini." Langit cerah malam ini adalah alasan yang kubuat-buat untuk sesuatu yang tak mungkin kuutarakan pada Pak Satimin, apalagi harus didengar Pak Candra. Untuk sesuatu itu pula aku mengenakan T-Shirt merah lengan panjang dan rok circle motif polos yang baru kubeli kemarin.

            "Kau ini memang berani, tapi tetap harus hati-hati. Yasudah, Bapak duluan ya..." Pak Satimin pergi membawa becak motornya, diikuti Pak Candra yang menumpang pulang.

            Aku mengangguk menerima nasihatnya. Dalam batin aku pun masih tak mengerti bisa jadi seberani itu. Seorang perempuan berjualan kopi sendirian di lokasi sepi. Padahal sebelum ibu meninggal, aku adalah anak yang paling penakut. Aku masih mengenang bagaimana waktu kecil begitu takut jika ke kamar mandi sendirian. Jarak dari kamar ke kamar mandi hanya dipisah oleh ruang tamu menuju dapur. Seolah gelap membuat jalan singkat itu berubah menjadi lorong panjang tak berujung. Aku takut kalau-kalau Kuntilanak, Tuyul, atau Genderuwo (Gederuwo yang paling kutakuti) akan membuntutiku dari belakang. Aku tak pernah berani ke kamar mandi sendirian. Tapi Ibu kerap berkata, ketakutanmu untuk kau hadapi bukan untuk kau patuhi. Kelak kalimat itu akan memberi dampak besar dalam hidupku.

            Namun di malam hari apa pun bisa terjadi. Perampok misalnya, seseorang berpura-pura membeli kopi lalu sejurus kemudian mengarahkan pisau kepadaku. Aku selalu siap siaga di dekat dandang berisi air panas. Bila nanti aku terpojok, maka tak ada pilihan lain selain menggunakan air mendidih itu sebagai senjata pertahanan. Aku telah bersiap untuk segala kemungkinan.

            Sampai malam yang ganjil itu datang.

            Cukup ganjil untuk membuat udara menjadi lebih dingin dari biasanya. Suasana menjadi lebih sunyi dari yang seharusnya. Bintang-bintang seperti raib dicuri. Angin berkata-kata, seolah memintaku berwaspada. Tahu-tahu aku merasa ingin segera pulang. Lalu seseorang datang memesan kopi. Kutepis perasaan aneh tersebut. Kupikir aku terlalu kelelahan bekerja.

            “Sudah lama jualan di sini, dek?” Pria itu bertanya dengan tatapan sayu.

            Kujawab pertanyaannya dengan anggukan kepala. Selanjutnya begitu cepat. Dia menarik lenganku, membawaku ke sudut etalase. Keterkejutan membuat gelas yang kupegang jatuh. Di bagian perut sebelah kiriku, pria tambun berkumis dengan kepala nyaris botak itu menempelkan pisau. Kegugupan menyebabkan lenganku gemetar. Hari itu datang juga, hari ketika aku mesti bersiap dengan segala kemungkinan. Mataku melirik ke arah dandang di atas kompor. Api kompor itu menyala sedang. Perkiraanku air di dalamnya tak begitu banyak. Ketakutan menyebabkan aku tak sempat bersiasat.

            “Mana kunci laci?” sedikit membentak, pelangganku yang baru saja berubah menjadi perampok itu melotot. Putih bola matanya telah merah. Seolah dua bola mata keruh itu hendak keluar dari tempatnya. Mulutnya mengeluarkan bau tuak. Dia setengah mabuk.

            Dengan lengan gemetar aku mengambil kunci dari kantong celanaku. Dia tak sabar, kunci itu dirampasnya dariku. Tergesa, dia membuka laci. Ada beberapa lembar uang. Aku kesal menyaksikan hasil jerih payahku berjualan berada di tangannya. Tak dapat kubiarkan hal itu terjadi. Kudorong perampok itu, pisau yang berada di perutku bergeser sedikit menyebabkan bajuku sobek. Segera aku bergerak ke arah dandang. Dipikiranku hanyalah bagaimana cara agar air dalam dandang itu dapat kusiramkan pada perampok bau tuak yang kini tersungkur di kakiku. Satu langkah aku bergerak, kakinya menendang kakiku hingga aku jatuh. Dandang yang berhasil kuraih pun jatuh. Sedikit tumpahan airnya mengenai lenganku. Selanjutnya begitu cepat. Aku bahkan bingung apa yang terjadi. Hanya terasa mataku berair, aku menangis tanpa suara. Perampok itu tergeletak di hadapanku.

            Seseorang menarik lenganku keluar dari sudut etalase. Dia, pria baru yang membuka bengkel di sebrang jalan. Kini terdengar tangisanku yang bersuara.

***



Di langit, bulan sabit.

         
              “Masih ada kopinya?”

            Aku menoleh mencari asal suara. “Masih...”

            Seseorang yang tak pernah kulihat, pria itu mencari tempat duduk, persis di tempat biasa Pak Satimin sering duduk. Segera kunyalakan kompor, merebus air, menyiapkan kopi, gula, dan gelas.

            “Maaf, boleh saya minta buatkan kopi ini?”

            Dari tangannya satu bungkus kopi dalam pelastik ia tunjukkan padaku. Sejenak aku termenung.

            “Maksud saya, ganti kopimu dengan kopi saya ini.”

            Kuambil bungkus kopi itu darinya. Warna kopi yang lebih pekat, saat bungkusnya kubuka tercium aroma kopi yang lebih kuat, dengan penuh keheranan kopi itu kubuatkan.

            “Ke warung ini, cuma minta saya menyeduh kopi?”

            Pria itu mengangguk, “memang itu kan pekerjaanmu?” dia tersenyum. “Di bengkel tak ada air panas. Dispenser saya rusak, juga tak ada kompor buat masak air.”

            Aku baru ingat, sejak tiga hari yang lalu sebuah bengkel baru dibuka di sebrang jalan. Sejak tiga hari itu juga aku melihat pria itu dari jauh. Sekarang ia menjadi begitu berbeda saat dilihat dari dekat. Setiap kali membuat kopi, aku akan melihat ia berkutat dengan Trafo, kawat las, besi-besi, dan segala kebisingan sebuah bengkel. Kadang suara palu menghantam besi, kadang mesin grenda yang berputar, dan terkadang bisa senyap tanpa suara. Aku jadi tahu bagaimana cara menyatukan bagian-bagian besi sehingga berubah menjadi bentuk tertentu. Jerjak jendela, Pintu klasik, pagar, bahkan kanopi. Pria itu telah piawai mengerjakannya. Kuyakini sebelum membuka bengkel di sebrang jalan itu, ia pun telah lama bekerja dengan kawat las, mesin dan besi, juga sinar yang keluar saat kawat las menyentuh logam yang hendak disatukan. Sinar itu sungguh tajam, jika memandangnya terlalu lama matamu akan merasa tak nyaman.

            Kopi yang ia pesan telah siap. Perlahan kubawa kepadanya. Kelak, ia akan sering datang ke warung dengan membawa kopi yang sama. Kelak, sebab itu pula ia akan menolongku dari serangan seorang perampok mabuk, di jam hampir tengah malam.

***



Lagu dari radio mengalun pelan. Radio yang usianya lebih tua dariku itu cuma bisa menyiarkan satu saluran, sebab telah banyak dari tombolnya yang lepas, karat juga terdapat hampir di seluruh permukaannya. Tidak ada televisi, hanya satu radio tua milik Ayah yang menjadi alat hiburan di warung. Dari kaca etalase; pemandangan jalan raya, kendaraan-kendaraan, dan bengkel di sebrang jalan itu dapat leluasa kuamati. Sebab insiden perampokan itu, sempat seminggu aku tak berjualan. Ayah jadi lebih sering ke warung. Ayah bahkan menyarankan aku untuk berhenti berjualan. Tapi aku menolak. Aku tak bisa jadi lemah, dengan terus-terusan memikirkan kejadian itu dan bersikap pengecut sampai tak berani keluar rumah. Ketakutanmu untuk kau hadapi bukan untuk kau patuhi.

Seseorang tiba dengan sepeda motornya. Pria itu selalu datang membawa alat-alat perkakas kerja, kadang dengan bahan-bahan baru. Bahkan dari jauh, dia terlihat tinggi. Tampilannya rapi. Postur kakinya selaras dengan sepatu boot hitam bertapak tebal seperti yang sering dipakai tentara, celana jeans yang tersobek di bagian lutut sebelah kiri, dan kemeja lengan pendek. Di beberapa kesempatan, ia memakai celana kain yang memperlihatkan lipatan rapi sehabis digosok. Kadang, hanya kaos berkerah dan celana cargo, pernah pula ia datang ke bengkel dengan celana chino dan sepatu sport biru. Namun, begitu akan bekerja, ia menanggalkan semua pakaian yang ia kenakan, menggantinya dengan kaos oblong dan celana pendek selutut, serta sandal jepit usang. Kendati begitu, ia tetap tampak menarik. Pernah sekali waktu jika telah selesai bekerja, ia akan menaggalkan kaos oblongnya yang telah penuh noda besi. Kegiatan mengangkat besi dan logam-logam berat itu membentuk tubuhnya menjadi bugar. Kerap, aku akan memikarkan sesuatu yang memalukan karenanya.

            Mendadak suara radio menjadi sumbang, seperti biasa kabel antena radio tua itu pasti kembali bermasalah. Kuabaikan suara radio yang kian parau, perhatianku masih diambil pria yang sedang mengangkat beberapa batang besi itu ke depan halaman bengkel. Segala detak, detik, menit, jam milikku seolah tercuri tanpa kusadari. Mendadak aku teringat kali kedua pria itu datang, saat itu suara radioku pun sedang sumbang.

***





“Kenapa masih digunakan Radio soak itu?”

“Enak saja soak, ini radio bersejarah, milik ayah saya.”

Mendengar ucapanku pria itu malah tertawa. “Aneh, ternyata masih ada perempuan macam kau.”

“Macam saya? Memangnya saya perempuan macam apa?”

Ia diam, malah sekarang sibuk dengan kopinya. Beberapa sesapan dan ia kini tersenyum. Entah mengapa senyumnya mengganggu, bukan mengganggu dalam arti buruk, hanya.... ya, mengganggu.

“Saya mau bertanya,” ucapku.

“Tanyalah...”

“Kopi yang selalu kau minta saya menyeduhnya, itu kopi apa? Mengapa warna dan harumnya berbeda dari kopi yang saya jual?” pertanyaan ini adalah pertanyaan yang telah lama kusimpan.

Sejenak ia pandangi gelas kopinya yang sudah habis setengah. “Ini kopi dari tempat kelahiran saya, Sidikalang. Tiap bulan saya dapat kiriman kopi dari bapak di kampung.”

Sekarang aku paham. Ternyata kopi Sidikalang. Jelas itu jenis kopi yang berbeda dari kopi yang kujual. Kopi yang kujual adalah kopi biasa yang bisa kau beli di kedai-kedai dengan harga murah. Atau kopi saset dengan berbagai merek aneka rasa, kadang malah bukan rasa kopi.

Di pikiranku ketika mendengar kata Sidikalang adalah sebuah tempat yang penuh pegunungan juga perbukitan. Pertanian adalah mata pencarian utama bagi masyarakatnya. Area yang memiliki musim unik, sebentar bisa hujan sebentar kemudian akan panas kembali. Iklim yang dingin kendati matahari begitu terik. Kau tidak perlu es untuk membuat minuman sirup, sebab airnya cukup dingin untuk membuatmu gigil. Dari sana kopi ini berasal, tempat yang memerlukan waktu  lebih dari empat jam menuju kota Medan. Menuju padaku.

“Kau mau coba?” ia bertanya serius.

“E-h, ngak usah,” jawabku singkat.

“Sesekali cobain, saya memang tidak biasa minum kopi selain kopi ini.”

Aku berlagak pilon, padahal telah berkali-kali kopi itu kucicipi. Setiap kali ia datang memintaku menyeduhkannya kopi, aku akan megambil sebagian serbuk hitama harum itu untuk kuminum diam-diam. Aku bukan mencuri, itu adalah balas jasanya sebab meminta air panasku secara gratis.

“Sesekali cobain juga kopi saya,” sergahku bercanda. “Sejak kapan kau bekerja jadi tukang las?” pertanyaan itu asal kutanyakan.

Ia berpikir sejenak, “persisnya kapan sudah tak ingat, tapi sudah lama, sejak saya tamat sekolah.”

Aku hanya diam, kusibukkan diriku dengan aktivitas di etalase. Mencuci gelas, merapikan barang-barang, juga tak lupa merebus air kembali.

“Kau sendiri, sejak kapan, jualan kopi?” tanyanya tiba-tiba.

“Hhmm, sama seperti kau, sejak tamat sekolah.”

“Kenapa tidak melanjutkan sekolah?”

Sejenak kuperhatikan ekspresinya saat bertanya, itu seperti hanya pertanyaan untuk mengisi percakapan, tak kutemukan maksud yang lain. “Saya sempat kuliah sampai semester tiga, tapi ayah tak punya cukup uang. Maknya saya berhenti, berjualan untuk sewa rumah dan sekolah adik saya. Kau sendiri?”

Ia melirik padaku, merasa aneh saat aku melempar kembali pertanyaanya. “Hhmmm, sama seperti kau.” Jawabnya singkat.

“Mirip seniman.” Kataku sembari menatap air yang mulai mendidih dalam dandang.

“Maksudmu?”

“Iya, kau mirip seniman. Setiap hari kau bekerja dengan mesin-mesin berbahaya, dengan logam-logam berat juga kotor. Tapi besi-besi itu dapat kau ubah menjadi sesuatu yang lain. Menjadi sesuatu yang bagus.” Pandanganku kini beralih ke padanya. Padaku ada yang mendidih selain air rebusan di dandang.

Mendengar pernyataanku, ia tertawa, tawa yang menganggu, bukan dalam artian mengganggu yang buruk, hanya saja.... ya, aku mulai terganggu.

“Kau juga seniman, hhmm, maksudku, barista kafe-kafe mahal.”

Mendadak, aku yang gantian tertawa, “barista kafe-kafe mahal? Kau nggak sadar, aku pedagang kopi pinggir jalan?” kupadamkan api kompor, sedang tawaku semakin keras.

“Ya, sama saja, cuma beda skala. Kau meracik kopimu sendiri, di warung yang kau olah sendiri, bukankah itu hebat?”

Kupikir dia berusaha menghiburku, atau sedang bercanda padaku. Sejenak aku merasa lucu, kami saling melempar pertanyaan, juga saling melempar pujian, mungkin untuk sesuatu yang tak begitu berarti, tahu-tahu aku jadi menyukai keadaan ini.

“Besok saya akan ke sini, bawa peralatan untuk perbaiki radio pusaka ayahmu.” Ia menawarkan.

Aku tersanjung atas tawarannya. Sejujurnya tawaran itu seperti bermakna sesuatu. Tiba-tiba aku merasa malu, malu dengan perasangka dan kesimpulan yang kuterka sendiri. Dia hanya ingin menolong, tak lebih.

***



“Beli airnya ya...”

Uang dua ribu rupiah itu kuberikan pada Ail, anak laki-laki berusia sekitar belasan tahun. Ia memang biasa duduk di pintu belakang sambil bermain sesuatu yang tak kumengerti. Tangannya berulang kali menepuk lantai, ia bangkit, meracau-racau, membawa uang dua ribu rupiahku, kemudian kembali duduk di pintu belakang—menepuk-nepuk lantai, kembali bermain sesuatu yang tak kumengerti.

            Emberku hampir penuh, keran air kumatikan. “Ail udah makan?”

            Ia menggelang, kendati mentalnya tertinggal jauh dengan tubuh dan usianya yang terus bertumbuh. Namun, ia tetap bisa menajawab pertanyaan “siapa namamu?” atau memberi respon mengangguk dan menggeleng untuk pertanyaan yang memerlukan jawaban iya atau tidak. Lihatlah, betapa nasib seolah pilih kasih. Seorang terus hidup menghabiskan waktu di pintu belakang. Dunianya hanya seukuran pintu, sedang di luar sesuatu terjadi penemuan teknologi baru, bom jatuh di area konflik. Ia tak pernah tahu hal itu, harinya berlalu memperhatikan orang-orang dan menerima uang dari mereka yang membeli air dari kerannya.

            Kuikat rambut panjangku yang tergerai. Dengan sepeda, ember berisi air itu kubawa menuju warung. Di perjalanan aku mengingat pria bengkel itu. Kau juga seniman, hhmm, maksudku, barista kafe-kafe mahal. Ia tak jadi datang tadi malam. Padahal aku sudah menunggunya hingga hampir tengah malam. Padahal ia telah berjanji akan meperbaiki radioku yang rusak. Tetapi, ia tidak datang.

            Segera kutuang air yang kubawa ke dalam dandang, menghidupkan kompor untuk merebus air. Dari kaca etalase, aku mengamati bengkel di sebrang jalan itu. Kau juga seniman, hhmm, maksudku, barista kafe-kafe mahal. Kuambil sebungkus kopi dari dalam laci. Kopi miliknya yang diam-diam kusembunyikan. Kuambil gelas yang sering kujadikan wadah kopi pria itu. Kutakar dua sendok gula dan satu sendok kopi ke dalamnya, dengan air mendidih kopi dan gula itu tercampur. Air yang sebelumnya bening menjadi hitam pekat, harum manis juga pahit kopi membentuk rasa yang lain. Seperti malam, begitukah kopi diciptakan? Perlahan-lahan kopi itu kuminum. Satu tegukan, dua tegukan, tiga....hingga habis tak bersisa. Aku kembali bertanya-tanya, mengapa tadi malam ia tidak datang.





Seterusnya, pria itu tak juga datang. Bengkelnya tetap tertutup tanpa ada lagi yang berkunjung. Kupikir, ia tak terlalu berhasil membuka usaha lasnya di lokasi sepi ini. Tapi ke mana ia, apa ia kembali ke kampunya, memilih bertani kopi? Atau jangan-jangan ia menjual kopi sepertiku di sana? Setiap ada kesempatan, aku akan mengamati bengkel di sebrang jalan itu lebih lama. Mengharapkan seseorang akan keluar dari sana.

            Hingga saat itu, malam saat bengkel itu terbakar. Aku sendiri tak mengerti dari mana api berasal. Orang-orang telah ramai memenuhi lokasi. Kendaraan yang berhenti melihat kebakaran itu menyebabkan jalan raya macet parah. Aku hanya terdiam di warung, memandangi api menghanguskan setiap bagian dari bengkel itu. Tak lama pemadam kebakaran datang. Dibantu warga, kobaran api itu mereda. Sekilas cerita dari beberapa tukang becak di warung, bengkel itu terbakar akibat arus listrik di dalam bengkel bermasalah. Bahkan ada yang menyangka, bengkel itu sengaja di bakar. Aku menatap dengan murung bangunan bengkel yang telah hangus itu. Di mana dia? Apa yang sedang pria itu lakukan? Apa ia tak tahu jika bengkelnya terbakar?

            Kubuka laci etalase. Kuambil bungkus pelastik berisi kopi milik pria itu. Hanya sisa satu sendok. Aku menyeduhnya dengan sedikit gula. Tapi ini akan jadi kopi terakhirku. Aku tak tahu kapan akan bisa meminumnya lagi. Kopi Sidikalang. Sesekali cobain, saya memang tidak biasa minum kopi selain kopi ini. Sesuatu seperti ombak bergulung-gulung dalam dadaku. Kuambil ember di dekat kompor, berlari membawa ember kosong itu ke tempat Ail. Begitu sampai keran itu kuputar. Airnya mengucur keluar mengisi ember, bersamaan dengan air yang keluar dari mataku. Di hadapan Ail, aku menangis. Tak kumengerti apa alasanku menangais. Aku menangis untuk sesuatu yang tak dapat kujelaskan. Apakah aku menangis sebab tak lagi bisa meminum kopi Sidikalang itu? Atau apakah aku menangis sebab tak akan lagi aku bertemu dengan pria itu?

            Air keran telah memenuhi emberku, sampai melimpah hingga tumpah.[*]

6 komentar:

  1. seperti malam, yang kadang sendu, yang kadang mendebarkan.
    seperti aroma kopi, yang mengantarkan engkau kepada yang kaucari atau kepada entah di seberang sana.

    BalasHapus
  2. bukan pecinta kopi tp bolehlah dicoba

    BalasHapus
  3. Jika kopi diciptakan layaknya malam, benarkah ia sekelam itu? Lantas bagaimana dengan hidupku?

    BalasHapus

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran