14 Agustus 2013

Pertanyaan

Selesai.

Rangkaian gagasan berbentuk prosa itu selesai Dia ketik hingga paragraf akhir. Waktunya menyudahi semua, para pengurus perpustakaan di sini pun sudah bersiap-siap merapikan buku, mengembalikan buku-buku itu ke “rumahnya” masing-masing. Sikap-sikap macam itu bagi Dia seperti tindak pengusiran. Para petugas seolah berbahasa dalam tindakan, “ Segeralah angkat kaki, tidak lihat sudah jam tiga sore, perpustakaan akan ditutup!” Begitulah imajinasi Dia berkata.

Dia membereskan laptop, memilih beberapa buku yang harus Dia pinjam. Berjalan santai menuruni tangga menuju tempat peminjaman buku, selepas itu pergi menyambagi tempat penitipan tas, memberikan kartu nomor peletakan tas, dan berjalan menuju pintu keluar. Di luar, hawa yang Dia rasakan langsung berganti, yang tadinya sejuk karena AC menjadi panas karena sengatan cahaya matahari 31° Celcius.

Panas ini membuat imajinasi Dia kembali berujar. “Apa kabar Kamu?” Pertanyaan itu memberi saput pada pikiran Dia. Sudah tiga hari aktivitas kuliah Dia lalui setelah tiga minggu lamanya libur, tapi Kamu… belum Dia lihat wujudnya, belum  Dia dengar suaranya, dan belum Dia dapatkan ucapan salam dari Kamu. Dia hanya melihat beberapa setatus dari Kamu singgah di beranda laman sosial, sepertinya Kamu tengah dalam keadaan baik. Dia menduga.

Dia sering berpikir, mengapa harus Dia sisihkan waktu untuk memikirkan Kamu? Haruskah ada rasa khawatir untuk orang lain dan melupakan rasa khawatir untuk diri sendiri? Dia juga sering berkelakar, Kamu hanya kakak bagi Dia, tidak lebih. Kamu hanya untuk dijadikan panutan dan Dia tak ingin berharap terlalu jauh serta berlebih-lebihan.

Pertanyaan dan pernyataan semacam itu bertebaran di udara, sesekali terhirup oleh paru-paru Dia. Membuatnya kelagapan, megap-megap tak karuan. Tidak ada yang benar-benar tahu, tidak ada yang bisa secara keseluruhan memahami setiap inci dari hati. Bahkan untuk Dia sendiri, Dia tak benar-benar mengerti. Dia masih mencari-cari. Rasa itu…rasa macam apa?

Tiap relasi akan mengandung nilai-nilai perilaku, tetapi tidak semua prilaku akan menghasilkan relasi. Setidaknya itu yang Dia pegang hingga saat ini. Bersama langkahnya yang terburu-burur menghindari sinar matahari yang terasa menggigiti kulitnya.

Tersentak! Langkah Dia dibuat terhenti, karena sorot mata Dia mendapati Kamu berjalan menyusuri koridor. Dia merasa campur aduk, secepat waktu kamu tak ada di sisi, secepat itu rindu berserakan di sana dan di sini. Dia tersenyum. Dan lagi-lagi Kamu menjadi alasan senyum itu menyembur keluar.

Tunggu! Ada yang mengganjal di hati Dia. Langkah Kamu tak seperti biasanya, ada ayunan kaki yang seperti dipaksakan melangkah. Ada gerakan yang seharusnya tak kamu ciptakan saat berjalan. Wajah itu syarat akan kelelahan. Pucat, lesu, seolah waktu delapan jam untuk beristirahat tak sepenuhnya Kamu dapatkan.

Diam-diam Dia mendekati Kamu, mengamati Kamu dari jarak yang Dia anggap tidak Kamu tahu. Mata Dia menangkap ada luka memar di antara tangan kanan dan kaki kanan Kamu. Ada luka yang mengoyakkan kulit di sana, luka terseret aspal? Apa Kamu habis kecelakaan? Airmuka Dia mengespresikan kekhawatiran.

Kamu terus berjalan. Tertatih. Dan Dia terus membuntuti, hatinya ikut tertatih. Seandainya Dia dapat mencipta keajaiban atau melakukan sihir dengan tongkat ajaib, pastilah Dia akan mengucapkan mantra untuk menyembuhkan Kamu dari luka-luka itu. Jika pun tidak bisa, Dia ingin mengunakan sihir terlarang agar dapat memindahkan luka-luka dari tubuh Kamu berpindah pada Dia. Dia tak peduli, Dia hanya tak ingin Kamu tersakiti. Namun khayalan tetaplah khayalan. Sekedar untuk memanipuasi angan dan membuat Dia menjemput kegugupan dan hasilnya… Dia kelagapan.

Dalam teori tentang interaksi, selalu ada pembahasan tentang aksi dan reaksi. Sebuah aksi, walau selalu menimbulkan reaksi, tetapi tidak selalu akan menghasilkan interaksi. Adanya itu yang Dia rasa. Tak pernah ada interaksi yang begitu berarti. Walau semua yang Dia aksikan selalu memunculkan reaksi yang kadang penyebab Dia kewalahan. Kewalahan menahan reaksi itu, reaksi yang hanya di hati saja dapat Dia rasakan dampaknya.
Dia masih terus memperhatikan, dari jarak yang Kamu masih tidak ketahui. Masih terus seperti itu, tetap tidak ada interaksi. Bukan karena tak ada keberanian, tapi karena terlampau pekat absurditas yang memberi batas… kepada aplikasi substansi berjudul ‘cinta’?

Sayangnya semua itu hanya bermuara pada pertanyaan dan Dia tak pernah pasti mendapatkan jawaban.

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran