Selesai.
Rangkaian gagasan berbentuk prosa itu selesai
Dia ketik hingga paragraf akhir. Waktunya menyudahi semua, para pengurus
perpustakaan di sini pun sudah bersiap-siap merapikan buku,
mengembalikan buku-buku itu ke “rumahnya” masing-masing. Sikap-sikap
macam itu bagi Dia seperti tindak pengusiran. Para petugas seolah
berbahasa dalam tindakan, “ Segeralah angkat kaki, tidak lihat sudah jam tiga sore, perpustakaan akan ditutup!” Begitulah imajinasi Dia berkata.
Dia
membereskan laptop, memilih beberapa buku yang harus Dia pinjam.
Berjalan santai menuruni tangga menuju tempat peminjaman buku, selepas
itu pergi menyambagi tempat penitipan tas, memberikan kartu nomor
peletakan tas, dan berjalan menuju pintu keluar. Di luar, hawa yang Dia
rasakan langsung berganti, yang tadinya sejuk karena AC menjadi panas
karena sengatan cahaya matahari 31° Celcius.
Panas ini membuat imajinasi Dia kembali berujar. “Apa kabar Kamu?”
Pertanyaan itu memberi saput pada pikiran Dia. Sudah tiga hari
aktivitas kuliah Dia lalui setelah tiga minggu lamanya libur, tapi Kamu…
belum Dia lihat wujudnya, belum Dia dengar suaranya, dan belum Dia
dapatkan ucapan salam dari Kamu. Dia hanya melihat beberapa setatus dari
Kamu singgah di beranda laman sosial, sepertinya Kamu tengah dalam
keadaan baik. Dia menduga.
Dia sering berpikir, mengapa
harus Dia sisihkan waktu untuk memikirkan Kamu? Haruskah ada rasa
khawatir untuk orang lain dan melupakan rasa khawatir untuk diri
sendiri? Dia juga sering berkelakar, Kamu hanya kakak bagi Dia, tidak
lebih. Kamu hanya untuk dijadikan panutan dan Dia tak ingin berharap
terlalu jauh serta berlebih-lebihan.
Pertanyaan dan
pernyataan semacam itu bertebaran di udara, sesekali terhirup oleh
paru-paru Dia. Membuatnya kelagapan, megap-megap tak karuan. Tidak ada
yang benar-benar tahu, tidak ada yang bisa secara keseluruhan memahami
setiap inci dari hati. Bahkan untuk Dia sendiri, Dia tak benar-benar
mengerti. Dia masih mencari-cari. Rasa itu…rasa macam apa?
Tiap
relasi akan mengandung nilai-nilai perilaku, tetapi tidak semua prilaku
akan menghasilkan relasi. Setidaknya itu yang Dia pegang hingga saat
ini. Bersama langkahnya yang terburu-burur menghindari sinar matahari
yang terasa menggigiti kulitnya.
Tersentak! Langkah Dia
dibuat terhenti, karena sorot mata Dia mendapati Kamu berjalan menyusuri
koridor. Dia merasa campur aduk, secepat waktu kamu tak ada di sisi,
secepat itu rindu berserakan di sana dan di sini. Dia tersenyum. Dan
lagi-lagi Kamu menjadi alasan senyum itu menyembur keluar.
Tunggu!
Ada yang mengganjal di hati Dia. Langkah Kamu tak seperti biasanya, ada
ayunan kaki yang seperti dipaksakan melangkah. Ada gerakan yang
seharusnya tak kamu ciptakan saat berjalan. Wajah itu syarat akan
kelelahan. Pucat, lesu, seolah waktu delapan jam untuk beristirahat tak
sepenuhnya Kamu dapatkan.
Diam-diam Dia mendekati Kamu,
mengamati Kamu dari jarak yang Dia anggap tidak Kamu tahu. Mata Dia
menangkap ada luka memar di antara tangan kanan dan kaki kanan Kamu. Ada
luka yang mengoyakkan kulit di sana, luka terseret aspal? Apa Kamu
habis kecelakaan? Airmuka Dia mengespresikan kekhawatiran.
Kamu
terus berjalan. Tertatih. Dan Dia terus membuntuti, hatinya ikut
tertatih. Seandainya Dia dapat mencipta keajaiban atau melakukan sihir
dengan tongkat ajaib, pastilah Dia akan mengucapkan mantra untuk
menyembuhkan Kamu dari luka-luka itu. Jika pun tidak bisa, Dia ingin
mengunakan sihir terlarang agar dapat memindahkan luka-luka dari tubuh
Kamu berpindah pada Dia. Dia tak peduli, Dia hanya tak ingin Kamu
tersakiti. Namun khayalan tetaplah khayalan. Sekedar untuk memanipuasi
angan dan membuat Dia menjemput kegugupan dan hasilnya… Dia kelagapan.
Dalam
teori tentang interaksi, selalu ada pembahasan tentang aksi dan reaksi.
Sebuah aksi, walau selalu menimbulkan reaksi, tetapi tidak selalu akan
menghasilkan interaksi. Adanya itu yang Dia rasa. Tak pernah ada
interaksi yang begitu berarti. Walau semua yang Dia aksikan selalu
memunculkan reaksi yang kadang penyebab Dia kewalahan. Kewalahan menahan
reaksi itu, reaksi yang hanya di hati saja dapat Dia rasakan dampaknya.
Dia
masih terus memperhatikan, dari jarak yang Kamu masih tidak ketahui.
Masih terus seperti itu, tetap tidak ada interaksi. Bukan karena tak ada
keberanian, tapi karena terlampau pekat absurditas yang memberi batas…
kepada aplikasi substansi berjudul ‘cinta’?
Sayangnya semua itu hanya bermuara pada pertanyaan dan Dia tak pernah pasti mendapatkan jawaban.