“Apa
warna cuacamu hari ini?” Itu pertanyaanku yang pertama. Tak perlu buru-buru
dijawab, toh itu hanya sekedar pertanyaan basa-basi, pembuka paragraf yang aku
bingung harus memulai dari kata apa. Begitulah hari-hariku berjalan, kuawali
dengan sebuah pengamatan, berbuah pertanyaan, diselingi dengan renungan yang
efeknya membuat aku melamun kelamaan. Mengamati adalah aktivitas manusiawi.
Dengan dua mata ini, aku seolah menjelma menjadi pemerhati dunia yang begitu besar dengan hanya menggunakan
sebuah mikroskop, hasilnya macam-macam: ada jalan yang berluang, seruan-seruan
kampanye partai dunia, negara, sampai kampus, tugu-tugu usang tak terawat,
angkutan umum yang mengulur waktu keberangkatan demi mendapat penumpang lebih
banyak, para pedagang yang berserakan di mana-mana, dan tentunya...berbagai
macam manusia. Lautan manusia.
Pengamatanku kali ini, sewaktu senja
menampakkan kemegahannya. Ada gurat jingga menyembur bersama angin yang seolah
mengajakku tidur. Mana bisa aku tidur di kala matahari sedang ranum-ranumnya
begini. Kupandangi langit berwarna biru itu, yang kutahu langit tak sejujurnya
biru. Ada banyak spektrum warna yang mata ini tak dapat menjangkaunya. Seketika
aku disergap oleh rasa tak bernama. Tentram, kupikir itu diksi untuk sore ini.
Kita atau lebih tepatnya aku, berulang
kali terkagum-kagum pada “hidup”. Ada banyak hal dalam hidup ini yang dengan
kuasa-Nya dapat membuat kita jatuh cinta. Berkali-kali, kadang kadarnya tak
dapat kita bendung, seringnya tumpah ruah melebihi ambang batasnya. Seperti
kamatian yang terjadi berulangkali bersama kelahiran yang tumbuh berkali-kali. Berkutat
pada proses sinkronisitas tanpa batas dan hal-hal muskil semisal dejavu yang menjadi bumbu pelengkap bagi
kita menikmati esensial rasa. Menciptakan makna. Dan menentukan pilihan.
Cukup
pejamkan matamu.
Mentari
kan segera tenggelam.
Di
dunia ini kau akan baik-baik saja.
Tak
ada satu, dua, atau tiga dan seterusnya mampu sakitimu.
Sampai
cahaya pagi tiba.
Kita
akan jauh dari mara bahaya.
Tentu peran kita di kehidupan tak
semudah aksara di atas. Hidup berupa gerakan antistatis.
Ada kalanya kaubutuh sudut pandang berbeda agar yang sebelumnya kauanggap rumit
bisa menjadi sederhana. Yang menjadi tantangannya adalah cara pandang kita pada
setiap substansi untuk kita teliti ikatan keseimbangan antara intuisi individu
dan konsensus sosial. Ada masanya sukar bagi kita untuk menentukan dasar ukuran
timbangan yang mensponsori segala pertimbangan kita mengenai hidup: apakah ini
disebut salah dan benar, atau sebetulnya cocok dan tak cocok? Jika kita berkutat pada salah dan benar, kebanyakan kita
terjebak dalam debat kusir karena setiap orang akan merasa yang paling benar.
Jika cocok dan tak cocok, masalah akan lebih cepat selesai. Apa yang saya
anggap cocok, tak berarti Anda anggap cocok, dan sebaliknya. Tapi dalam
kebanyakan kasus yang kualami dan rasakan, kita seringnya terjebak dalam
perdebatan kusir antara benar dan salah. Dan itu tak kunjung selesai.
Jika terus seperti itu maka yang ada
hanyalah Nafsu. Coba renungkan, bahwa di inti sebuah konsep besar bernama
bangsa, suku, ras, agama, dalam kehidupan ini yang bersemayam sesungguhnya
adalah individu-individu? Dan sesungguhnya pada tiap-tiap individu tersebut,
akan kita jumpai mesin penggerak bernama nafsu? Ketika terjadi peperangan,
konflik di mana pun, atas dasar apa pun, sesungguhnya kita tengah menyaksikan
peperangan antar nafsu, antar ‘aku’ yang masing-masing merasa paling penting.
Itu baru sedikit saja dari sekelumit rumitnya “hidup”. Namun, menurutku, malah di sanalah letak
eksistensi kita berada. Justru kita dapat menyederhanakan hidup dengan menjadi
rumit. Bisa diartikan sebuah rumit yang menyederhanakan.
Mungkin segini dulu yang bisa aku
ungkapkan. Sebenarnya masih banyak lagi pertanyaan yang ingin aku lontarkan.
Lebih dari sekedar pertanyaan, “Apa warna cuacamu hari ini?” Mungkin
besok-besok akan ada pertanyaan nyeleneh bahkan abnormal yang bisa saja
sahabatku (baca: akal) pikirkan. Mungkin seperti pertanyaan, “Apa warna celana
dalammu hari ini?” Yahh, kita tidak pernah tahu kan, setiap orang kadang
menuntut perubahan, bahkan dengan beraninya
mengubah perubahan, entah perubahan yang seperti apa, sebab pada dasarnya,
kenyataannya perubahan itu tak bisa kita ubah. Kitalah yang diubah oleh
perubahan.
Jadi... Bagaimana warna cuacamu? :)
Sebuah catatan kecil penghantar sore saya menuju Maghrib.