27 Februari 2014

Taciturnus: Rasa Dalam Diam



 "Per(asa)an macam apa yang mampu memecah cinta yang telah tertatap menjadi sukar diucap?"
*** 
Ini sudah entah kali ke berapa mereka membuat janji untuk ciptakan temu, di tempat ini, tempat di mana semua tak pernah berubah, tempat pemberi sejuta harapan dari keranjang berisi sejuta janji manis. Dan benar adanya, manusia…mereka mengira dibimbing oleh apa yang mereka lihat, kenyataannya mereka didorong oleh apa yang mereka rasakan, yakni, naluri-naluri yang keberadaannya sering tak mereka sadari.
            Sudah tiga puluh menit dihabiskan Vatur untuk menunggu, ia membunuh waktu dengan cara hanyut dalam lembaran halaman buku, memang di perpustakaan pusat USU ini, yang berada tak berapa  jauh dari Fakultas Ekonomi, fakultasnya, ia tak sendiri, ada beberapa mahasiswa lain yang sibuk dengan tugas mereka pun para petugas yang sama sibuknya dengan pekerjaan mereka.
Ada sebelas cerita pendek yang bagai aliran deras sungai, sukses menghanyutkan pikiran Vatur. Kata demi kata dari buku itu ia resapi, kalimat demi kalimatnya ia teliti, halaman demi halamannya terus ia telusuri tapi yang ia nanti belum juga tunjukkan jasad diri.
Sebenarnya dalam labirin kepala Vatur, banyaktersimpan pertanyaan.Pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran, salah satunya.
Mengapa haruskulakukan hal ini?
Sontak tanpa aba-aba, tanpa berucap apa-apa, jawaban atas pertanyaannya muncul bagai tamu tak diundang yang  senang hati bersedia datang.
Inilah jalannya!
Vatur tersenyum geli bila mengingat lagi awal pertama, betapa amatirnya ia kala itu mengoleksi berita tentangnya. Tentang zat adiktif pemberi rasa candu dari gugus perasaan penyebab rasa rindu. Hal-hal semacam itu dulu dan sekarang tetap sama tak banyak berubah.
Seperti hari-hari sebelumnya, Vatur datang untuk mendengarkan cerita dari wanita bernama Rava.Ia sudah tahu bagaimana alur untuk hari ini. Pertama, Rava akandatang dengan napas tersengal-sengal, sebab berlari demi mengejar keterlambatannya atas janji menemui Vatur. Dan sebelum itu terjadi, Vatur harus melebarkan rasa sabar untuk menunggu. Kedua, Rava akan langsung bercerita tentangnya, kata demi kata yang terfokus pada satu objek; cinta pertamanya. Kekasihnya saat ini.
Cerita-cerita semacam itu sudah tiga tahun terakhir ini dikoleksi oleh Vatur.Semenjak Rava–sahabatnya tergila-gila pada sosok pria yang jelas bukan dirinya.Kadang ada cerita bahagia, kadang cerita biasa, kadang cerita nelangsa–gabungan antara rindu dan pilu.Vatur hampir gila, tak jarang cerita-cerita itu menyiksa dirinya terlebih batinnya.
Sungguh aneh, bagaimana kaubisa rela menerima sesuatu yang tak kausuka hanya demi seseorang?
Dan benar saja, sejurus kemudian Rava tiba dengan napas yang sulit diaturnya.Ia langsung mengambil posisi duduk di depan Vatur. Ada jarak tercipta di antara meja baca pun ada jeda kosong di antara mereka, kurang lebih sekitar tiga menit.Kemudian Rava melipat tangan sambil memandangi aktifitas Vatur membaca dengan tatapan sejuta arti.
“Baca buku apa?” Pertanyaan pertama membuka kebisuan yang sempat ada.
“Ini…” Vatur mengangkat buku lebi tinggi agar kornea Rava dapat menangkap sampul berwarna hijau tua dengan campuran hitam bertajukRetoverso itu.
“Wajahmu nampak sayu kausakit?” Pertanyaan ke dua dan pertanyaan ini berarti lebih baginya.
“Iya, mungkin kelelahan, begadang demi tugas. Ujian akhir semester juga nggak lama lagi.” Ujar Vatur, menjelaskan.
“Apa karena hujan-hujanan waktu itu?” Pertanyaan ke tiga, khusus pertanyaan ini Vatur tak pernah lupa.
Ia masih ingat, malam itu hujan turun sesukanya, langit memuntahkan isinya: air,kilat, gemuruh dan angin yang juga tak kalah riuh. Ketika itu dari pesan singkat yang ia terima, Rava minta dijemput di depan restoran. Vatur sebenarnya merasa heran, padahal Rava bersama kekasihnya di restoran itu, tapi mengapa ia minta dijemput?
Vatur sampai di depan restoran dalam keadaan basah kuyup, tak mengenakan jas hujan, ia terlalu terburu-buru untuk memakai jas hujan, karena yang dikhawatirkannya bukan basah kuyup di jalan, tapi Rava yang tengah menunggu sendirian. Rava selalu ia jadikan tujuan. Tujuannya bertahan.
Sampai di depan restoran, yang Vatur lihat adalah Rava yang tengah kehujanan. Setelah memarkirkan motor, setengah berlari ia menghampirinya. Rava sepertinya tidak dalam keadaan baik, wajahnya murung, dengan ke dua tangannya memeluk dirinya sendiri, tepatnya mencari hangat. Padahal ia bisa berteduh, tapi mengapa memilih hujan-hujanan sampai seluruh gaun putih yang melekat di tubuhnya yang kedinginan basah?
Walau tanpa melontarkan kalimat tanya, Vatur tahu arti raut muka itu, Vatur tahu mengapa Rava lebih memilih diguyur hujan ketimbang berteduh. Ia bahkan tahu di antara tetes air hujan, di wajah Rava ada air bening yang memenuhi pelupuk matanya. Ia tahu. Selalu tahu.
Tanpa aba-aba Rava sontak memeluknya erat, semakin lama semakin lekat. Rava menangis sejadi-jadinya menumpahkan segalanya. Ia tak menyangka secepat itu ia jatuh, jalannya sudah tak lagi lurus, meneruskan bersama berarti memilih mati. Selalu ada kadaluarsa bagi cinta yang melihat sisi fisik saja.
Dalam pelukan Vatur, Rava masih sesungukan, dibenamkan wajahnya pada dada Vatur. Menahan tangis. Menahan sesak di organ paru-parunya. Tak perlu diberi tahu Vatur mengerti apa tugasnya kala itu. Ia harus menjadi mesin penghibur, yang setia berada kapan pun Rava butuhkan.
Malam itu Vatur mengantarkan Rava pulang dalam kondisi diguyur hujan. Ia mengantar Rava sampai di depan gerbang kosnya. Sebelum itu ia meminta Rava untuk meminum minuman hangat dan jangan banyak berpikir tentang apa-apa, selepas berganti baju langsunglah tidur. Tidur menjadi sepenggal kematian yang dipinjam untuk menjaga dan memperbaharui bagian-bagian dari kehidupan yang sudah terasa haus.
Hal-hal pada malam itulah yang membuat Rava menelefon Vatur, meminta bertemu di perpustakan ini. Mungkin untuk sebuah ucapan terima kasih.
“Habis nangis?” Balas Vatur bertanya, setelah tak lama memperhatikan ada sembab di area mata Rava.
“Aku janji ini tangisan terakhir untuknya.”
“Kemarin-kemarin juga bilang begitu.”
Rava diam, terlihat seperti sedang berpikir dan kemudian merespon.
“Ya… Aku harus bagaimana?”
“Jangan tanya aku, tanya ini.” Vatur meletakkan telunjuk di dadanya.
“Semua harus kuakhiri sekarang.”
“Jadi tiga tahun, sia-sia begitu saja?Beda banget sama semangat waktu di awal dulu, kaubilang dia segalamu.”
“Aku sudah bersalah pada hati, menjatuhkannya di tempat yang tak semestinya,” nada itu terdengar sendu.
Kini kornea Rava tak lagi memandangi buku yang dibaca Vatur, tapi memandangi satu titikk di antara jejeran rak-rak buku.Pandangannya kosong di satu titik itu, seolah di titik itulah stasiun tempat tumpukan kenangan menunggu untuk di angkut keseluruh bagian tubuhnya.Terutama ruang terdalam milik organ bernama hati.
“Hati itu instrumen, Rava…ia telah dirancang secara luar biasa untuk mencari nilai serupa dengan kita, yang memegang kepercayaan serupa dengan kita, dan yang melihat dunia lebih kurang seperti kita memandang dunia.Jangan terlalu menyalahkan diri, hati saja yang belum temukan jalannya.”
Klise memang, tapi itu upaya terkeras Vatur untuk menghibur Rava, Cuma itu, ia hanya akan jadi mesin penghibur. Tak lebih.
“Ucapanmu itu seperti kautahu betul apa itu cinta?” Desah Rava, bukan karena ada rasa puas tapi rasa bernas.
Vatur tergelak, sempat diupayakannya sebisa mungkin menahan tawa, maklum mereka di perpustakaan, jelas harus pandai mengatur volume suara.
“Apa itu cinta? Itu pertanyaan zaman purba,” kembali sekuat mungkin Vatur menahan tawanya.
“Maksudmu?” Tanya Rava lagi, setelah satu menit menatap rak-rak buku di samping kanannya.
“Bagiku cinta itu ‘WIIFM’…”
“WIIFM?”
What’s in it for me?”
“Hhmm…terdengar buruk.”
“Ayolah Rava, cinta tidak benar-benar buta kan?” Vatur tak kuasa, ia kembali tertawa.
Tepatnya menertawakan dirinya sendiri.
Sebenarnya dalam hati, Vatur mengutuk sendiri ke–maha–sok–tahuannya. Jika benda absurd bernama cinta itu tidak benar-benar buta pun jika cinta itu berarti menuntut balas, untuk apa tetap ia izinkan perasaannya pada Rava bertumbuh tanpa mendapatkan itu semua? Bagian dari cinta adalah memiliki dan hakekat tertinggi dari memiliki ialah berbagi, namun untuk wanita yang berada di hadapannya saat ini, teman yang selalu ia dengar ceritanya, Vatur sudah banyak berbagi tanpa menuntut untuk memiliki. Seperti laba-laba jantan yang rela dimangsa oleh sang betina agar bisa berkembang biak. Serupa tawon yang bekerja keras mengumpulkan makanan bagi anak cucunya yang tidak akan pernah dilihatnya. Bisa dikatakan Vatur telah melampaui hakekat dari memiliki tapi lagi-lagi tanpa Rava ketahui.
Hanya di jenak semacam ini ia merasa nyaman dengan Rava, ketika semua keluh kesah dibagi bersamanya−dan dalam kebanyakan kasus, jatuh cinta bukanlah masalah hubungan cinta timbal-balik antara dua manusia. Masalah pokoknya adalah adanya keinginan untuk memiliki apa yang tidak dimiliki.
Rava tidak pernah sadar.Ia hanya sibuk dengan dunianya. Bahkan ia tak pernah tahu ada yang diam-diam menyelundupkan setengah sampai seluruh jiwa–berusaha merasukinya, membaca pikirannya, memata-matai perasaannya juga berjaga di meja baca demi menampung gurat gelisah, tetes air mata bersama senyum sumringah sesekali hadir di antara deru dan tawa, sambil merespon “oh” (pendek) atau “oh” (panjang) atas percakapan apa pun di antara mereka.
“Untuk saat ini tak usah muluk-muluk, tak perlu macam-macam. Aku yakin entah di mana pun itu pasti ada seseorang yang tulus sayang sama aku, yang pada saat aku susah atau sakit ia mau menerima aku,” suara Rava kembali bersemangat.
Benar, Rava tahu benar apa yang ia butuhkan, tahu betul apa yang ia inginkan. Tapi seringnya ia tak pernah sadar, mungkin karena ia terlalu egois. Terlalu egois untuk memisahkan antara khayalan dan kenyataan.Semestinya Rava tahu atau memang Vatur yang terlalu lemah untuk memberi tahu.Aaahh…Vatur pun tak kalah menyedihkannya. Persis orang lumpuh: canggung berujar, canggung mengungkapkan, canggung bergerak, canggung bertindak.Pemendaman mendalamnya tak jarang timbulkan kebahagian yang paling jitu dalam hal melumpuhkan.Melumpuhkan perasaannya sendiri.
Rava masih bercerita, Vatur masih mendengarkan.Kumpulan cerita pendek Retoversoia letakkan di atas meja baca. Terhanyut mendengar kisah Rava atau lebih tepatnya terhanyut dalam zona ketidak berdayaan dirinya menunjukkan rasa.Mungkin benar adanya, dunia menjadi komedi bagi mereka yang menggunakan pikiran namun menjadi tragedi untuk mereka yang menggunakan perasaan.
Jika hanya melihat Rava, menikmati lengkung senyum dan bias cahaya mata itu, selalu ada di jenak Rava membutuhkannya.Biarpun ada plosif dalam mulut Vatur, semacam fonem yang direalisasikan dengan menggunakan letupan udara, karena dihambat lidah pada tempat-tempat artikulasi dalam mulutnya, hingga membuat dirinya sulit berkata tentang empat huruf perusak logika; rasa.
Seumpama cerita yang Rava lontarkan. Tentang harapan-harapan yang setia ia tunggu. Ia sibuk menunggu harapan jadi nyata dari ke jauhan sana, sampai tak ia sadari, harapan itu sebenarnya sudah ada di depan matanya. Sayangnya...
Vatur tahu.
Rava tidak tahu.
Ada rasa dalam diamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran