"Per(asa)an
macam apa yang mampu memecah cinta yang telah tertatap menjadi sukar diucap?"
***
***
Ini
sudah entah kali ke berapa mereka membuat janji untuk ciptakan temu, di tempat
ini, tempat di mana semua tak pernah berubah, tempat pemberi sejuta harapan
dari keranjang berisi sejuta janji manis. Dan benar adanya, manusia…mereka
mengira dibimbing oleh apa yang mereka lihat, kenyataannya mereka didorong oleh
apa yang mereka rasakan, yakni, naluri-naluri yang keberadaannya sering tak
mereka sadari.
Sudah tiga puluh menit dihabiskan
Vatur untuk menunggu, ia membunuh waktu dengan cara hanyut dalam lembaran
halaman buku, memang di perpustakaan pusat USU ini, yang berada tak berapa jauh dari Fakultas Ekonomi, fakultasnya, ia
tak sendiri, ada beberapa mahasiswa lain yang sibuk dengan tugas mereka pun
para petugas yang sama sibuknya dengan pekerjaan mereka.
Ada sebelas cerita pendek yang bagai
aliran deras sungai,
sukses menghanyutkan pikiran Vatur. Kata demi kata dari buku itu ia resapi,
kalimat demi kalimatnya ia teliti, halaman demi halamannya terus ia telusuri
tapi yang ia nanti belum juga tunjukkan jasad diri.
Sebenarnya
dalam labirin kepala Vatur, banyaktersimpan pertanyaan.Pertanyaan yang
berkecamuk dalam pikiran, salah satunya.
Mengapa haruskulakukan hal ini?
Sontak
tanpa aba-aba, tanpa berucap apa-apa, jawaban atas pertanyaannya muncul bagai
tamu tak diundang yang senang hati
bersedia datang.
Inilah jalannya!
Vatur
tersenyum geli bila mengingat lagi awal pertama, betapa amatirnya ia kala itu
mengoleksi berita tentangnya. Tentang zat adiktif pemberi rasa candu dari gugus
perasaan penyebab rasa rindu. Hal-hal semacam itu dulu dan sekarang tetap sama
tak banyak berubah.
Seperti
hari-hari sebelumnya, Vatur datang untuk mendengarkan cerita dari wanita
bernama Rava.Ia sudah tahu bagaimana alur untuk hari ini. Pertama, Rava
akandatang dengan napas tersengal-sengal, sebab berlari demi mengejar
keterlambatannya atas janji menemui Vatur. Dan sebelum itu terjadi, Vatur harus
melebarkan rasa sabar untuk menunggu. Kedua, Rava akan langsung bercerita
tentangnya, kata demi kata yang terfokus pada satu objek; cinta pertamanya.
Kekasihnya saat ini.
Cerita-cerita
semacam itu sudah tiga tahun terakhir ini dikoleksi oleh Vatur.Semenjak
Rava–sahabatnya tergila-gila pada sosok pria yang jelas bukan dirinya.Kadang
ada cerita bahagia, kadang cerita biasa, kadang cerita nelangsa–gabungan antara rindu dan pilu.Vatur hampir
gila, tak jarang cerita-cerita itu menyiksa dirinya terlebih batinnya.
Sungguh
aneh, bagaimana kaubisa rela menerima sesuatu yang tak kausuka hanya demi
seseorang?
Dan
benar saja, sejurus kemudian Rava tiba dengan napas yang sulit diaturnya.Ia
langsung mengambil posisi duduk di depan Vatur. Ada jarak tercipta di antara
meja baca pun ada jeda kosong di antara mereka, kurang lebih sekitar tiga
menit.Kemudian Rava melipat tangan sambil memandangi aktifitas Vatur membaca
dengan tatapan sejuta arti.
“Baca
buku apa?” Pertanyaan pertama membuka kebisuan yang sempat ada.
“Ini…”
Vatur mengangkat buku lebi tinggi agar kornea Rava dapat menangkap sampul
berwarna hijau tua dengan
campuran hitam bertajukRetoverso
itu.
“Wajahmu nampak sayu kausakit?” Pertanyaan ke dua dan
pertanyaan ini berarti lebih baginya.
“Iya, mungkin kelelahan, begadang demi tugas. Ujian akhir
semester juga nggak lama lagi.” Ujar Vatur, menjelaskan.
“Apa karena hujan-hujanan waktu itu?” Pertanyaan ke tiga,
khusus pertanyaan ini Vatur tak pernah lupa.
Ia masih ingat, malam itu hujan turun sesukanya, langit memuntahkan
isinya: air,kilat, gemuruh dan angin yang juga tak kalah riuh. Ketika itu dari
pesan singkat yang ia terima, Rava minta
dijemput di depan restoran. Vatur sebenarnya merasa heran, padahal Rava bersama
kekasihnya di restoran itu, tapi mengapa ia minta dijemput?
Vatur sampai di depan restoran dalam keadaan basah kuyup,
tak mengenakan jas hujan, ia terlalu terburu-buru untuk memakai jas hujan,
karena yang dikhawatirkannya bukan basah kuyup di jalan, tapi Rava yang tengah
menunggu sendirian. Rava selalu ia jadikan tujuan. Tujuannya bertahan.
Sampai di depan restoran, yang Vatur lihat adalah Rava
yang tengah kehujanan. Setelah memarkirkan motor, setengah berlari ia
menghampirinya. Rava sepertinya tidak dalam keadaan baik, wajahnya murung,
dengan ke dua tangannya memeluk dirinya sendiri, tepatnya mencari hangat.
Padahal ia bisa berteduh, tapi mengapa memilih hujan-hujanan sampai seluruh gaun putih yang melekat
di tubuhnya yang kedinginan basah?
Walau tanpa melontarkan kalimat tanya, Vatur tahu arti
raut muka itu, Vatur tahu mengapa Rava lebih memilih diguyur hujan ketimbang
berteduh. Ia bahkan tahu di antara tetes air hujan, di wajah Rava ada air bening
yang memenuhi pelupuk matanya. Ia tahu. Selalu tahu.
Tanpa aba-aba Rava sontak memeluknya erat, semakin lama
semakin lekat. Rava menangis sejadi-jadinya menumpahkan segalanya. Ia tak
menyangka secepat itu ia jatuh, jalannya sudah tak lagi lurus, meneruskan
bersama berarti memilih mati. Selalu ada kadaluarsa bagi cinta yang melihat
sisi fisik saja.
Dalam pelukan Vatur, Rava masih sesungukan, dibenamkan
wajahnya pada dada Vatur. Menahan tangis. Menahan sesak di organ paru-parunya.
Tak perlu diberi tahu Vatur mengerti apa tugasnya kala itu. Ia harus menjadi
mesin penghibur, yang setia berada kapan pun Rava butuhkan.
Malam itu Vatur mengantarkan Rava pulang dalam kondisi
diguyur hujan. Ia mengantar Rava sampai di depan gerbang kosnya. Sebelum itu ia
meminta Rava untuk meminum minuman hangat dan jangan
banyak berpikir tentang apa-apa, selepas berganti baju langsunglah tidur. Tidur
menjadi sepenggal kematian yang dipinjam untuk menjaga dan memperbaharui
bagian-bagian dari kehidupan yang sudah terasa haus.
Hal-hal pada malam itulah yang membuat Rava menelefon
Vatur, meminta bertemu di perpustakan ini. Mungkin untuk sebuah ucapan terima
kasih.
“Habis nangis?” Balas Vatur bertanya, setelah tak lama
memperhatikan ada sembab di area mata Rava.
“Aku
janji ini tangisan terakhir untuknya.”
“Kemarin-kemarin
juga bilang begitu.”
Rava
diam, terlihat seperti sedang berpikir dan kemudian merespon.
“Ya…
Aku harus bagaimana?”
“Jangan
tanya aku, tanya ini.” Vatur meletakkan telunjuk di dadanya.
“Semua
harus kuakhiri sekarang.”
“Jadi
tiga tahun, sia-sia begitu saja?Beda banget sama semangat waktu di awal dulu,
kaubilang dia segalamu.”
“Aku
sudah bersalah pada hati, menjatuhkannya di tempat yang tak semestinya,” nada
itu terdengar sendu.
Kini
kornea Rava tak lagi memandangi buku yang dibaca Vatur, tapi memandangi satu
titikk di antara jejeran rak-rak buku.Pandangannya kosong di satu titik itu,
seolah di titik itulah stasiun tempat tumpukan kenangan menunggu untuk di angkut
keseluruh bagian tubuhnya.Terutama ruang terdalam milik organ bernama hati.
“Hati
itu instrumen, Rava…ia telah dirancang secara luar biasa untuk mencari nilai
serupa dengan kita, yang memegang kepercayaan serupa dengan kita, dan yang
melihat dunia lebih kurang seperti kita memandang dunia.Jangan terlalu menyalahkan
diri, hati saja yang belum temukan jalannya.”
Klise
memang, tapi itu upaya terkeras Vatur untuk menghibur Rava, Cuma itu, ia hanya
akan jadi mesin penghibur. Tak lebih.
“Ucapanmu
itu seperti kautahu betul apa itu cinta?” Desah Rava, bukan karena ada rasa
puas tapi rasa bernas.
Vatur
tergelak, sempat diupayakannya sebisa mungkin menahan tawa, maklum mereka di
perpustakaan, jelas harus pandai mengatur volume suara.
“Apa
itu cinta? Itu pertanyaan zaman purba,” kembali sekuat mungkin Vatur menahan
tawanya.
“Maksudmu?” Tanya
Rava lagi, setelah satu menit menatap rak-rak buku di samping kanannya.
“Bagiku
cinta itu ‘WIIFM’…”
“WIIFM?”
“What’s in it for me?”
“Hhmm…terdengar
buruk.”
“Ayolah
Rava, cinta tidak benar-benar buta kan?” Vatur tak kuasa, ia kembali tertawa.
Tepatnya
menertawakan dirinya sendiri.
Sebenarnya
dalam hati, Vatur mengutuk sendiri ke–maha–sok–tahuannya. Jika benda absurd bernama cinta itu tidak
benar-benar buta pun jika cinta itu berarti menuntut balas, untuk apa tetap ia
izinkan perasaannya pada Rava bertumbuh tanpa mendapatkan itu semua? Bagian
dari cinta adalah memiliki dan hakekat tertinggi dari memiliki ialah berbagi,
namun untuk wanita yang berada di hadapannya saat ini, teman yang selalu ia
dengar ceritanya, Vatur sudah banyak berbagi tanpa menuntut untuk memiliki.
Seperti laba-laba jantan yang rela dimangsa oleh sang betina agar bisa
berkembang biak. Serupa tawon yang bekerja keras mengumpulkan makanan bagi anak
cucunya yang tidak akan pernah dilihatnya. Bisa dikatakan Vatur telah melampaui
hakekat dari memiliki tapi lagi-lagi tanpa Rava ketahui.
Hanya
di jenak semacam ini ia merasa nyaman dengan Rava, ketika semua keluh kesah
dibagi bersamanya−dan dalam kebanyakan kasus, jatuh cinta bukanlah masalah
hubungan cinta timbal-balik antara dua manusia. Masalah pokoknya adalah adanya
keinginan untuk memiliki apa yang tidak dimiliki.
Rava
tidak pernah sadar.Ia hanya sibuk dengan dunianya. Bahkan ia tak pernah tahu
ada yang diam-diam menyelundupkan setengah sampai seluruh jiwa–berusaha
merasukinya, membaca pikirannya, memata-matai perasaannya juga berjaga di meja
baca demi menampung gurat gelisah, tetes air mata bersama senyum sumringah
sesekali hadir di antara deru dan tawa, sambil merespon “oh” (pendek) atau “oh”
(panjang) atas percakapan apa pun di antara mereka.
“Untuk
saat ini tak usah muluk-muluk, tak perlu macam-macam. Aku yakin entah di mana
pun itu pasti ada seseorang yang tulus sayang sama aku, yang pada saat aku
susah atau sakit ia mau menerima aku,” suara
Rava kembali bersemangat.
Benar,
Rava tahu benar apa yang ia butuhkan, tahu betul apa yang ia inginkan. Tapi
seringnya ia tak pernah sadar, mungkin karena ia terlalu egois. Terlalu egois
untuk memisahkan antara khayalan dan kenyataan.Semestinya Rava tahu atau memang
Vatur yang terlalu lemah untuk memberi tahu.Aaahh…Vatur pun tak kalah
menyedihkannya. Persis orang lumpuh: canggung berujar, canggung mengungkapkan,
canggung bergerak, canggung bertindak.Pemendaman mendalamnya tak jarang
timbulkan kebahagian yang paling jitu dalam hal melumpuhkan.Melumpuhkan
perasaannya sendiri.
Rava
masih bercerita, Vatur masih mendengarkan.Kumpulan
cerita pendek Retoversoia letakkan di
atas meja baca. Terhanyut mendengar kisah Rava atau lebih tepatnya terhanyut
dalam zona ketidak berdayaan dirinya menunjukkan rasa.Mungkin benar adanya,
dunia menjadi komedi bagi mereka yang menggunakan pikiran namun menjadi tragedi
untuk mereka yang menggunakan perasaan.
Jika
hanya melihat Rava, menikmati lengkung senyum dan bias cahaya mata itu, selalu
ada di jenak Rava membutuhkannya.Biarpun ada plosif dalam mulut
Vatur,
semacam fonem yang direalisasikan dengan menggunakan letupan udara, karena
dihambat lidah pada tempat-tempat artikulasi dalam mulutnya, hingga membuat
dirinya sulit berkata tentang empat huruf perusak logika; rasa.
Seumpama cerita yang Rava lontarkan. Tentang
harapan-harapan yang setia ia tunggu. Ia sibuk menunggu harapan jadi nyata dari
ke jauhan sana, sampai tak ia sadari, harapan itu sebenarnya sudah ada di depan
matanya. Sayangnya...
Vatur tahu.
Rava tidak tahu.
Ada rasa dalam diamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar