26 Februari 2014

Sang Pengarang


             Bahasa seperti apa yang mampu mengungkapkan dengan baik tentang getar jiwa secara tepat dan akurat? Bahasa seperti itu, kemungkinan besar tidak pernah ada, baik dalam lisan atau tulisan. Namun, aku percaya ada satu bahasa magis yang tak diucapkan, tidak berwujud dalam lambang ataupun tanda, tidak juga huruf-huruf yang dirangkai menjadi kata kemudian dirangkai menjadi kalimat lalu disusun lagi menjadi paragraf, seterusnya dikumpulkan sampai membentuk kisah. Meskipun begitu, bahasa itu dapat diselami, dimengerti pun dimaklumi oleh siapa saja yang memiliki perasaan, dan bahasa semacam itu dapat diterima seutuhnya karena tak akan dijumpai ‘dusta’ di dalamnya.
Bahasa itu adalah bahasa matahati yang suci dan bersih, cerminan dari jiwa juga hati yang cerah. Tapi siapa kau? Manusia macam apa kau? Yang mendoktrin diri mampu menggunakan bahasa itu. Memangnya sudah berapa luka, rasa getir, nelangsa, manis dan pahitnya hidup yang kau dapat? Sehingga bisa kaudiskripsikan bahasa itu dengan dalil-dalil absurd ciptaanmu sendiri. Jangan dikira semudah itu menerka-nerka segalanya.
Hal-hal di atas, hanyalah segelintir dari pemikiran-pemikiranku tentang bagaimana membentuk keberanian menjadi seorang pengarang. Kuberi tahu, entah sudah berapa penolakan yang kudapatkan dari berbagai penerbit, entah sudah berapa kritikan pedas yang tertuju pada karya-karyaku, dan entah sudah berapa dinding yang menjadi tempat kepala ini kuhantukkan! Tapi…tak semua pengalamanku sebagai seorang penulis (pemula) berkisah sedih. Berkat kegigihan, rasa percaya, dan terus mau belajar, akhirnya kudapatkan gelar sebagai ‘sang pengarang’ itu. Alhamdulillah, beberapa  karya tanganku berhasil kupublikasikan.
            Perihal kritikan pedas, aku pernah mendapat ‘tamparan’ kuat tentang cita-citaku menjadi penulis. Kira-kira seperti ini ujaran yang sangat ‘menampar’ itu:
 “Di dalam pikiranku, pengarang hanyalah orang yang terlalu gemar menggunakan gaya bahasa hiperbola, membesar-besarkan sesuatu, melebih-lebihkan omongannya, agar cerita yang ia buat terkesan lebih indah. Seorang pengarang hanyalah makhluk bebal juga egois, sibuk dengan obsesinya sendiri, dan tak memerdulikan perasaan orang lain, memelintir segalanya termasuk pristiwa agar dilihat paling hebat! Dan kau? Ingin jadi pengarang?! Mimpi macam apa itu? Pekerjaanmu hanya menistakan orang yang menistakan kau!” rasanya seolah jantung ini disayat-sayat dengan cutter tajam, kemudian sayatan-sayatan itu dilumuri dengan cuka dan garam, ketika kusadari yang berkata seperti itu berasal dari dalam lingkungan keluargaku sendiri.
Tapi hidup selalu memberi pilihan, dan jika kauingin mendapat kenikmatan maka kau harus bersedia memberikan pengorbanan. Sepedas apa pun kritikan itu hanya akan kujadikan sandaran motivasi, sebab jika  aku percaya pada mimpiku maka mimpiku pun akan percaya padaku. Dan tentang semua yang kutulis bukan semata-mata kebohongan belaka. Aku memaknainya dari kehidupanku, mengambil pelajaran dari sana, dan menuli adalah caraku membagikannya, serta membaca adalah cara seseorang itu mendapatkannya. Membaca adalah cara bagaimana kau dapat merasakan pristiwa tanpa harus melaluinya, membaca juga merupakan kegiatan berjalan-jalan tetapi tidak menggunakan kaki melainkan imajinasi.
Setidaknya manusia itu dinilai dari hasil karyanya kan? Dan sebaik-baiknya manusia adalah dia yang berguna bagi orang lain kan? Sebagai manusia aku punya pemikiran, punya sudut pandang, opini yang bisa tiba-tiba datang sebab aku adalah manusia. Dan menulis adalah caraku berbagi, caraku menghidupkan opini-opini itu.
Aku pernah menerima pesan singkat yang tak kuketahui siapa pengirimnya, isi pesan itu seperti ini:
“Hey! Tuan pengarang, benarkah jika cinta hanya jadi bahan daganganmu saja?”
Tanpa banyak berpikir, aku langsung membalas pesan dari nomor asing itu.
“Cinta bukan bahan daganganku. Cinta hanya benda unik yang kujadikan objek kajian.”
Tak lama pesan baru muncul kembali.
“Jadi apa itu cinta? Mengapa terlalu banyak ia berada dalam tulisanmu? Tak bosan apa, membahas cinta melulu?”
Aku tertawa membaca pesan itu.
“Menurutku cinta itu proses dari kumpulan emosi tak terdefenisi menjadi sebuah eksistensi. Menjadi pilihan juga jati diri. Dan cinta adalah topik favorit bahkan topik yang dicari-cari oleh 99,9% kreator di muka bumi ini. Jadi, tak ada salahnya jika cinta pun kufavoritkan.”
“Apakah kau bisa menjamin kalau cinta itu bisa abadi?”
“Cinta adalah eugenetika yang baik. Ia akan abadi tapi bagi mereka yang mengerti azas-azas cinta itu sendiri––bagi mereka yang menghormatinya, dan bukan sekedar kata-kata bullshet semata.”
“kau tahu… kau itu penulis pemula yang aku suka. Karena kau seorang penulis, orang yang pandai memainkan kata, sekarang pakailah kata-katamu, untuk memujaku!”
Balasan pesan yang ini sedikit menyentil perasaanku.
“Huhuhuu…bagaimana aku bisa memujamu, aku bahkan tak tahu siapa kau?”
Dan pesanku itu tak pernah mendapatkan balasan sekaligus jawabannya. Siapa pun dia, hal itu masih jadi misteri yang secara tak langsung merangsangku untuk menulis…cerita ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran