Di alam relatif yang serba tidak pasti.
Aku masih rasakan tempat yang sama. Udara yang sama. Visual yang sama. Audio yang juga sama, tapi dengan jutaan rasa yang kini berbeda. Dulu kita sempat begitu sangat dekat. Dulu kita merasa serupa bagai pinang dibelah dua. Dan dulu, jarak yang berlaku untuk kita bukan sekedar jarak personal, kita bahkan sudah mencapai jarak intim. Begitu dekat, saling mengikat. Meskipun saat itu kita sadar, keyakinan yang kita punya berbeda. Semua terjalin secara alami. Tanpa rekayasa, tanpa dibuat-buat. Saat itu hubungan kita begitu jujur, begitu berwarna dengan banyak janji menghiasinya.
Aku tak bisa kelakarkan bagaimana seorang suku Melayu dengan seorang suku Batak bisa sebegitu dekat (dulu). Entah dengan aspek apa, seorang suku Melayu dan seorang suku Batak bisa cepat lenyapkan keasingan dan ciptakan keakraban yang pernah kuanggap akan kekal (dulu). Dan entah dengan aplikasi apa, seorang suku Melayu dan seorang suku Batak itu, pernah punya mimpi yang sama (dulu).
Maaf, ya...kalau terlalu banyak kata dulu. Masalahnya sekarang, seorang Melayu dan seorang Batak itu sudah berjarak. Dipisahkan oleh saput pemberi batas berupa absurditas. Seperti hari-hari yang lalu, kita dalam satu ruangan, dalam lingkup yang sama serta kondisi yang tak banyak perbedaan. Tapi, kosong tak berisi rasa lagi. Kita sekedar dalam satu ruangan, sekedar dalam kondisi serupa, sekedar bertatap muka. Sekedar saja. Esensi yang dulu tercipta seolah tak pernah ada, bahkan dianggap sebagai mitos yang sempat membodohi kita.
Ada jurang lebar yang kian melebar di tengah kelusuhanku.
Ada rimbunan pohon bambu menjelma jadi benalu di sela-sela sempit dadaku.
Sel otak dan hati harus lebih giat mencerna dari sebelumnya
karena yang kita rasa kini tak lagi sama.
Serupa jaringan internet pada satelit yang saling membelit.
Bagai jendela dengan carik-carik fragmen di dalamnya
berisi jutaan entri yang siap untuk diisi;
daftar pernyataan tentang alasan intuitif—gerak hati.
Kemana bisa kuhindari kalau palung-palung di sana acapkali berisikan kau;
dan berulang kali kau lagi.
Jarak menjadi satu-satunya yang senang diajak kompromi
dengannya aku bisa bekerja sama, memperhatikan kau lebih teliti lagi
Hanya untuk substansi apa? mengapa? dan kok bisa?
Artifisial dari non-verbal jawabannya kudapatkan.
Relasi kita makin rumit.
Bahkan tak tahu sebab apa, aku harus tersangkut dalam gemerlapnya kita
yang melingkari kau dan aku di dalamnya.
Hari berhujan itu pun tiba. Sadar atau tidak hari itu kita sama-sama di dera, cuma dengan label berbeda. Kau seharusnya tak memandang semua dari satu persepsi saja. Jangan anggap dirimu yang paling terluka, nelangsa pun kecewa. Jangan pernah berpikir jika gelagatku hanya menyalahkanmu, tanpa memperhatikan kesalahanku sendiri. Salah dan benar bukan jadi persoalan di sini. Semua perdebatan, gesture yang seolah saling mencaci, dan tatapan dari sorot mata kita yang tak sama lagi adalah hal yang seharusnya makin mendewakan diri. Bukan hanya aku tapi kau juga.
Sebenarnya aku tak bisa detailkan bagaimana kedekatan yang dulu tercipta kini menjelma jadi keterasingan yang paling menyiksa. Masa lampau selalu memberi jejak. Dan masa depan selalu jadi misteri yang paling sering diantisipasi.
Jujur, tidak ada yang aku sesali. Dan kuharap kau juga begitu. Tak ada cara yang instan untuk kelakarkan ini semua. Dan semoga kau bisa mengerti dan mengambil pelajaran dari jalan kita yang sekarang sudah tak lagi bersinggungan. Semoga.
Biarlah semua berprosesi sesuai alur yang semestinya. Karena yang harus kita cermati bukan lagi masa lampau yang dulu sempat menyamarkan kita. Bukan juga masa depan yang masih abstrak dalam balutan bilurnya. Yang layak menjadi fokus adalah saat ini. Sebab hanya dengan merasakan saat ini kita mampu bercermin pada masa lalu dan mewujudkan masa depan.
Tertanda, sang Solar Plexus yang hanya bisa berpura-pura mati rasa.