Aku sadar suratku ini tak akan pernah sampai kepadamu. Begitu pula dengan surat-surat terdahulu. kertas-kertas yang berserakan, dengan isi tulisan menggelikkan di dalamnya. Bolehkan kalau di surat kali ini pun ingin kuucap banyak terima kasih? Terima kasih karena kita telah bertemu. Terima kasih karena pernah kurasakan estetikmu. Terima kasih untuk rasa tak terdefenisi yang ditimbulkan senyum-senyum itu. Terima kasih karena pernah ada. Terima kasih pernah kauujar sapaan manis nan magis. Terima kasih.
Pada setiap 'pernah' yang terlaksana, kau harus tahu, meski dulu pernah dan kini tak lagi. Dulu separuh bagian dari diri ini inginkan kamu datang, benciku, hingga muak sebagian diri hampir gila. Sering mentertawakan kebodohan dan keluguannya. Menyesali ajaib pada setiap perjumpaan yang pernah ada. Selalu, bahkan sampai kini, selalu ada batas transparan melindungi dirimu, batas itu tak mampu kujamah. Semacam ada arena pelindung dan aku tak mampu ikut serta masuk ke dalamnya. Aku tak menyalahkanmu, atas hal-hal mistis macam itu. Bukan salahmu juga jika ada yang harus diselesaikan antara kita. Aku pun tak ingin menyalahkan diri sendiri, bukan salahku juga jika menyerah, tak melanjutkan getar pertama yang singgah dan kunikmati sendiri, mungkin. Aku sadar sesuatu, ini semua cara semesta memberitahuku bahwa ada yang perlu direvisi ulang; bahwa ada yang mesti dipikir lagi; bahwa harus ada yang diubah. Mungkin caraku menaruh perasaan padamu.
Intinya, aku ingin undur diri, menyudahi kerja hati yang makin parah kondisinya jika terus dibiarkan begini. Meski sering datang pretensi-pretensi, agar tetap menunggu kamu datang. Untuk kali kesekian mendamba lagi, jatuh cinta lagi, segila-gilanya, sejadi-jadinya. Sampai kita rasakan batas waras-normal pupus, menyaru bersama kesadaran tulus akan cinta. Tapi aku tahu, bahwa hidup kita bergerak, tidak stagnan pada satu tempat. Dan tendensi ini harus kupindahkan sebelum membusuk dan terbuang percuma sebab tak kamu anggap ada.
Aku undur diri, aku paham kini bahwa pengalaman ini adalah bagian dari hubungan meski hanya satu yang merasa diikat perasaan mutual. Aku undur diri, kutemukan pemahaman baru, bahwa cinta adalah sama-sama saling mengamini; bahwa cinta bukan cuma rasa saja; bahwa cinta adalah intraksi, hubungan seperti berjalan beriringan dan sama-sama saling genggam-menggenggam; bahwa cinta tak hanya kesadaran pikiran pun sebatas kenangan; bahwa cinta adalah mengalami. Cinta hidup, bergerak, bukan patung untuk dipuja-puja. Disembah sujud berulang-ulang.
Aku undur diri, maaf karena tak mampu kuulur waktu agar dapat bertahan lebih lama. Namun kau pun harus mengerti bahwa betapa sukarnya perpisahan yang dilakukan sendirian. Hal-hal pahit harus dicicipi lebih dulu, sebelum tahu bagaimana rasa manis sebenarnya. Mungkin nanti, setelah kenangan usai dengan riuh beserta lukanya yang melepuh. Maka akan ada yang lebih terlatih untuk ikhlas, dan dari keikhlasan itu lahir kuasa ajaib yang menjernihkan kekeruhan ini. Membawa segala alat penujuk arah, kompas, peta, atau lampu mercusuar yang pada akhirnya akan menuntunmu....menjumpai aku.
Aku yang bermimpi menjadi apa yang kau rasakan. Yang mendamba ingin menjelma jadi isi hatimu terdalam. Aku yang harapkan bahwa cinta memang harus mengalami. Mohon terima surat pengunduran diriku ini. Aku berhenti. Dan mungkin setelah gemuruh ini pergi, akan kulanjut langkah mencari esensi lain untuk disinggahi.
Dari yang kini belajar melangkah menjauhimu...