Beberapa bulan terakhir saya
banyak berurusan dengan soal kebenaran. Kebenaran dari berbagai sisi, yang
paling sering pada argumen dalam fenomena sosial selama hidup saya ini
telah saya alami. Dan saya dapatkan satu perenungan dari sana, yang sekarang
saya rangkai dalam beberapa paragraf di sini.
Ketika seorang teman memberi
tahu saya bahwa ada nasi + telur + sayur + minumnya seharga lima ribu rupiah di
pojokan kampus, setengah mati saya tak memercayainya. Lengkap dengan berbagai
argumentasi saya soal harga sembako yang selangit, ekonomi liberal yang
membuatnya tak mungkin, dan seterusnya, dan sebagainya, dan lain-lain. Tapi
dasar saya belum mengalaminya, belum memasuki realitasnya, ketika si teman
mengajak saya kesana, membuktikannya, seluruh argumentasi saya runtuh. Seluruh
penolakan saya tak beralasan. Seluruh ketidakpercayaan saya ternyata sia-sia
belaka. Dan pada akhirnya, saya menjadi pecandupaket nasi lengkap seharga lima
ribu rupiah tadi.
Pada kesempatan lain. Sering
saya berkecimpung dalam sebuah forum keagamaan yang tentu saja kadang panas
oleh perdebatan masing-masing. Mereka melihat sebuah fenomena dari kacamata dan
kacahati mereka masing-masing, kadang dengan ego menganggap pandangan merekalah
yang di sana paling benar. Terjadilah hal yang semestinya tak harus ada. Banyak
dari mereka yang tak sepaham malah saling sikut dan menjatuhkan. Saya hanya bisa
bersikap jadi middleman, penengah, atau pendamai. Namun karena itu pula
banyak kritikan malah menuju ke saya. Suasana malah tambah kacau. Hal itu sampai
membuat saya kecewa pada beberapa member forum yang saya jadikan panutan.
Di kesempatan berikutnya. Beberapa
hari yang lalu, saya ikut mengeluarkan pendapat pada tayangan debat capres yang
saya tonton. Dengan segala sudut pandang, saya keluarkan pendapat-pendapat saya
di media sosial. Sebagai penerima reaksi, banyak reaksi yang saya dapatkan.
Mulai dari kolom komentar, mention, bahkan sampai ada yang mengirim pesan lewat
obrolan kepada saya. Beberapa di antaranya bisa saya terima dan saya pedulikan.
Namun makin lama, saya dapati kejutan. Ketika saya sudah disalahmengerti,
dihakimi, dianggap melakukan penyalahan, malah ada yang menyinggung-nyinggung
pemikiran saya sebagai mahasiswa tidak logis. Mahasiswa kurang baca. Mahasiswa
yang tak paham sejarah. Sebagai sebuah ‘keberadaan’ saya merasakan kecewa, gemas, bahkan marah. Nyatanya,
pendapat mereka yang saya dapatkan tidaknya logis, tidak juga dapat digolongkan
seperti orang yang sering membaca, terlebih paham sejarah. Saya dongkol
sendiri.
Di hari berikutnya. Lebih mencengangkan
lagi. Di saat saya sibuk berada pada lini masa di twitter. Saya dapati seorang
penulis, yang cukup tenar dengan kegalauriaannya di timeline, malah menjelek-jelekkan
pemikiran penulis lain, karena menganggap apa yang ada dalam pikirannyalah yang
benar. Saya tercenung di sana.
Timbul satu pertanyaan dalam
hati saya.
Seberapa benar yang disebut benar itu?
Saya jadi berpikir seperti ini;
1. Sangat masuk akal jika suatu keyakinan bisa amat bermanfaat namun tidak benar. Contohnya, banyak sekali para perokok yang hidupnya akan diuntungkan jika para perokok itu percaya bahwa sekali lagi mereka menghirup nikotin, maka mereka akan mati, tetapi tetap saja hal tersebut tidak kemudian membuat keyakinan tersebut dianggap benar. Para perokok tetap jadi perokok. Atau para pemabuk tetap meminum alkohol.
2. Meskipun keyakinan yang benar biasanya berguna, hal ini biasanya terjadi karena terlebih dahulu benar kan? Misalnya, akan ada manfaatnya jika saya percaya bahwa akan ada mobil yang datang saat saya menyebrang jalan, jika memang benar, jika saya tidak meyakininya, saya bisa tergilas oleh mobil itu, tetapi keyakinan itu akan benar-benar berguna jika mobilnya memang ada, sebab terlebih dahulu keyakinan tersebut benar.
3. Ada kalanya, yang berguna buat seseorang, belum tentu berguna bagi orang lain. Dan yang berguna bagi orang itu pada suatu waktu mungkin saja tidak akan berguna di waktu yang lain. Apakah jika sesuatu itu tidak berguna lagi, selalu berarti bahwa sesuatu itu tidak benar? Atau apakah kebenaran itu hanya untuk satu orang dan tidak untuk yang lain? Makin ke sini, makin banyak pertanyaan nyangkut di kepala saya. Seperti, suatu kebenaran bahwa Tuhan adalah Mahasegalanya. Dan apakah itu sama dengan gagasan bahwa Tuhan juga tidak Mahasegalanya, jika kita pandang gagasan itu dari kebenaran bahwa Tuhan adalah Mahasegalanya?
1. Sangat masuk akal jika suatu keyakinan bisa amat bermanfaat namun tidak benar. Contohnya, banyak sekali para perokok yang hidupnya akan diuntungkan jika para perokok itu percaya bahwa sekali lagi mereka menghirup nikotin, maka mereka akan mati, tetapi tetap saja hal tersebut tidak kemudian membuat keyakinan tersebut dianggap benar. Para perokok tetap jadi perokok. Atau para pemabuk tetap meminum alkohol.
2. Meskipun keyakinan yang benar biasanya berguna, hal ini biasanya terjadi karena terlebih dahulu benar kan? Misalnya, akan ada manfaatnya jika saya percaya bahwa akan ada mobil yang datang saat saya menyebrang jalan, jika memang benar, jika saya tidak meyakininya, saya bisa tergilas oleh mobil itu, tetapi keyakinan itu akan benar-benar berguna jika mobilnya memang ada, sebab terlebih dahulu keyakinan tersebut benar.
3. Ada kalanya, yang berguna buat seseorang, belum tentu berguna bagi orang lain. Dan yang berguna bagi orang itu pada suatu waktu mungkin saja tidak akan berguna di waktu yang lain. Apakah jika sesuatu itu tidak berguna lagi, selalu berarti bahwa sesuatu itu tidak benar? Atau apakah kebenaran itu hanya untuk satu orang dan tidak untuk yang lain? Makin ke sini, makin banyak pertanyaan nyangkut di kepala saya. Seperti, suatu kebenaran bahwa Tuhan adalah Mahasegalanya. Dan apakah itu sama dengan gagasan bahwa Tuhan juga tidak Mahasegalanya, jika kita pandang gagasan itu dari kebenaran bahwa Tuhan adalah Mahasegalanya?
Baiklah, mari tinggalkan
pertanyaan-pertanyaan itu. Kini kita kembali pada pertanyaan utama; Seberapa benar yang disebut benar itu?
Jika sebuah proposis memang
benar, seharusnya proposisi itu pasti dianggap benar oleh semua orang, dan
tidak cuma benar bagi sebagian orang saja—bisa dikatakan yang mendapat manfaat
dari kebenaran itu. Dan kebenaran itu menjadi salah bagi sebagain yang lain
karena tidak mendapat dan merasakan manfaat dari kebenaran itu. Jadi apa
kebenaran itu? Di mana letaknya? Saya jadi berpikir bahwa yang dianggap
kebenaran suatu keyakinan tergantung pada keterkaitannya dengan sesuatu yang
objektif, bukan sekedar pada fungsinya sebagai keyakinan atau kebenaran itu
sendiri.
Maka menjadi sinkronlah dengan
apa yang pernah saya baca: alegori gua Plato tentang hierarki realitas. Pertama-tama
kita bayangkan sekelompok orang yang ditawan sejak lahir. Orang-orang ini sejak
kecil dirantai dalam gua. Tangan, kepala, dan kaki mereka diikat secara ketat,
sedemikian hingga seumur hidup cuma bisa menatap dinding di depan mereka.
Di belakang mereka terdapat api
unggun besar. Apabila ada orang atau binatang lewat, maka bayangannya akan
terpantul ke dinding di depan para tawanan. Setiap kali orang atau binatang itu
bersuara, suaranya akan bergema sampai ke telinga para tawanan.
Karena seumur hidup cuma melihat
pantulan di dinding, para tawanan mengira bayangan dan gema itu sebagai
“kenyataan sebenarnya”. Mereka tidak menyadari bahwa semua itu sekadar pantulan
dari benda di belakang mereka.
Akan tetapi, bagaimana kalau kita lepaskan satu
orang dari tawanan tersebut? Apabila ia kita seret keluar gua maka ia akan
merasa kesakitan. Badannya yang seumur hidup dirantai tak biasa bergerak.
Matanya akan perih menatap cahaya terang dunia luar. Orang ini akan mengalami
kesakitan yang luar biasa.
Meskipun begitu, setelah beberapa waktu, dia akan
beradaptasi. Matanya menyesuaikan diri; demikian pula dengan badannya. Dia
menyadari bahwa ada kenyataan yang melampaui bayangan dalam gua.
Dalam sekejap pengetahuannya bertambah — ia tidak
lagi menjadi “orang gua” yang naif.
Ketika melihat kembali ke dalam gua, orang ini
akan menyadari bahwa kenyataan yang dipercaya selama ini salah. Semua yang ia
lihat dan dengar itu bukan kenyataan sebenarnya — melainkan, sekadar refleksi
dari kenyataan yang lebih tinggi.
Seandainya orang ini — yang sudah pernah bebas —
kembali ke dalam gua menemui teman-temannya. Apa yang akan terjadi?
Ada kemungkinan ia akan dikucilkan karena
pandangannya tentang kenyataan berbeda dengan mereka. Ada kemungkinan bahwa —
apabila hendak membebaskan teman-temannya — ia akan dibenci karena menimbulkan
rasa sakit yang luar biasa. Ada juga kemungkinan bahwa ia akan dipandang
rendah. Karena matanya sudah beradaptasi dengan dunia luar, ia tidak lagi
pandai mengamati bayangan di dinding.
Pada akhirnya, di mata orang-orang yang belum
tercerahkan, persinggungan Si Orang Bebas dengan dunia luar tidak ada bagusnya.
Boleh jadi ia akan dianggap sebagai orang linglung atau sakit jiwa. Sementara
di sisi lain: justru orang-orang dalam gua itu yang sebenarnya naif.
Rumi mencontohkannya dengan lebih jenius. “Bila kau memberitahu pada bayi dalam rahim bahwa di luar sana ada gunung, langit, dan benda-benda, ia tak akan memercayainya.” Kata Rumi. “Sebab baginya ‘dunia’ adalah janin yang sedang ia tempati. Dunia adalah tempat yang diluputi darah.” Sekuat apa pun seseorang memberitahunya, si bayi tak memercayainya. Maka, ketika si bayi terlahir ke dunia, ia menangis. Sesungguhnya si bayi sedang menyesal mengapa ia tak memercayainya dari dulu. Tapi itulah hierarki realitas, setiap orang memiliki ruang kesadaran masing-masing. Mungkin, sama halnya ketika kita berbicara soal ‘jatuh cinta’ atau ‘sakit hati’ kepada orang lain, orang itu tidak lantas langsung dapat memahaminya, sebelum dia benar-benar merasakannya.
Kesimpulannya.... saya anggap tak ada kebenaran mutlak. Semua relatif,
segalanya tetap pada kacamata, kacahati. Termasuk/terlepas apakah kebanaran itu dianggap
benar karena menguntungkan atau dianggap salah karena merugikan.