Selamat menjelang tengah malam! Maaf jika sapaanku kurang pas, sedikit rancu untuk menggambaran keadaan pukul 23:25 malam ini, dengan ucapan sapaan seperti ketika kaumengucap selamat pagi atau salam. Sedikit informasi, sekarang aku sibuk menerka-nerka kamu dan rencana-rencana jahilmu yang kuharap akan berbuah manis. Samil memandangi langit-langit kamarku yang masih berwarna sama: pucat kelabu.
Menunggui detak jam dengan tariannya hingga tepat tengah malam, sudah urung sering kuberitahu--bahwa kerapkali dalam suasana sepi seperti ini, kudapati keadaan yang cukup baik untuk merefleksi diri: kesendirian. Setiap keheningan itu mampu menembus rasa kita yang terdalam, bahkan hingga merambah denyut alami hidup yang jujur namun penuh kerahasiaan. Acapkali keheningan mengembalikan lagi kenangan--sejarah yang telah lewat, yang hadir selembut raut awan namun begitu rapuh saat disentuh. Sering pula keheningan itu menerbangkan amarah, menciptakan kembali sensasi saat keberhasilan didapat juga ketika kegagalan memeberikan pelajaran. Keheningan yang hadir dari kesendirian itu menjadi cermin yang dengan ikhlas membuat kita tak ragu berkaca.
Pukul 23:50, sudah lewat duapuluh lima menit, Hhmmm, aku semakin penasaran. Apakah kamu ingat? Oke, akan kuperlama waktu menunggu. Sambil menunggu, biarkan aku bercerita mengenai lagu India yang beberapa hari ini sering kudengarkan. Tak terkecuali saat ini. Aneh, bagaimana bisa aku terus mendengarkan lirik yang arti pastinya pun aku tak tahu. Bagaimana aku bisa tersentuh, hanya dengan alunan nada dan bahasa yang jelas-jelas tak kupahami. Tapi begitulah ia, sesuatu yang tulus akan terasa begitu saja, dengan atau tanpa rupa. Seperti saat kamu memberitahu tentang bagaimnaa caranya membaca raut wajah
seseorang. Semakin cepat kita mampu memahami raut wajah sseorang itu,
semakin mudah untuk kita jatuh cinta atau benci.
Aku belajar banyak darimu. Belajar jika ketulusan selalu mendapatkan hasil setimpal. Kamu berhasil mebuatku percaya bahwa hidup kita percis selayaknya nada yang mengalun sesuai deret tangga nadaNya. Namun keyakinanku itu kini luruh, sebab tepat di pukul 00:00 ini, kamu gagal menyelesaikan--bahkan belum memulai untuk nyanyikan nada pembuka. Lihatlah jarum jam dan detik itu. Apa yang terjadi denganmu? Kamu keliru mengucapkan apa yang seharusnya kamu ucapkan dengan nada.... sepuluh menit yang lalu.
Musibah macam apa yang kini tengah menghadang rencana-rencana unikmu? Jangan bilang jika kaulinglung, sebab waktu bergerak begitu cepatnya. Jangan salah duga, aku jadi khawatir jika alasan yang akan kaubawa adalah matahari yang berubah pola geraknya. Atau badai matahari yang dikabarkan akan merusak semua sistem komunikasi, hingga ponselmu tak dapat kaugunakan untuk sekedar mencari nomor kontakku atau menekan beberapa abjad agar setidaknya--meski tak dapat kudengar langsung, sebaris kalimat itu akan kuterima dan kubaca. Asal tahu saja, lagu India yang kuputar tadi sudah berhenti sejak lima belas menit yang lalu, sejak terlambatnya kamu mengucapkan selamat ulang tahun padaku dengan nada...
Satu
Jam
Yang lalu...