Kamu... untuk kesekian
kalinya jatuh ke jurang itu. Jurang tak berdasar, jurang tak bernama, jurang
yang meski melimbungkan, namun kecanduan kamu datangi. Kendati begitu kamu tak
pernah mengeluh sebab mengalah adalah langkah yang kamu sekah. Satu hal tak
pernah kamu tepis, bahwa dirimu tidak mampu menghapus cinta dan birahi, namun
dapat kamu berdamai dengan keduanya dalam dirimu tanpa jeri dan pretensi. Meski
banyak tanya yang kamu lontarkan. Meski jawabanya tak pernah memuaskan, tetap kamu menikmati,
setiap rasa sakit terlebih sensasi menyenangkan dari jatuh ke dalam jurang itu.
Jurang yang melarungkan persaanmu. Jurang yang ada saat sosoknya di depan mata.
Beserta pengaguman sembunyi-sembunyi, riuh dalam sepi, tatapan yang setia
menuju arahnya, juga waktu yang tiba-tiba gagu saat tegur dan sapa berharap
berani kamu sampaikan dengan apa adanya.
Walaupun hanya kamu
yang mengalami, ingin hatimu juga mengajaknya jatuh bersama. Tapi kamu tak
pernah mampu. Kamu takut jika perasaan itu hanya kamu sendiri yang rasakan,
kamu khawatir jika dia tidak inginkan jatuh ke dalam jurang itu bersamamu, kamu
minder, selalau merasa buruk rupa jika di depannya. Kamu bisa apa? Kamu adalah
manusia yang ‘kelelep’ sensasi mendamba. Tenggelam dalam kehendak ingin
mengalami tetapi kerap tersemui oleh gemerlapnya dia dalam pandangan fanamu.
Dan kamu, memilih jatuh sendiri tanpa dia tahu. Kamu memilih sakit sendiri
tanpa dia tahu. Kamu memilih memendam sendiri, dan berharap dia tahu.
Sering kamu berpikir:
Kesalmu itu dapatkah dia mengerti? Jarang kamu terlalu kesal sampai membekas
berhari-hari, berbulan-bulan, hingga menahun. Semata-mata hanya karena begitu
cerkas keadaan memberi jarak dan kata ragu agar langah kalian tak saling
bersinggungan. Hidup yang cair ini, melarungkan segalanya pada arus agung yang
tulus namun penuh kerahasiaan. Andai dia bisa merasakan atau paling tidak
memahami, betapa sukarnya pemendaman yang kamu lakukan sendirian. Kamu
kehabisan rasio karenanya.
Dia boleh tertawa saat membaca ini, tak apa, tawanya adalah mortalitas bagimu. Hadiah alam yang abadi. Dia juga boleh mengejek atau berkata ini-itu tentang detik-detik yang secara acak kamu curi hanya agar kalian bisa terjebak dalam satu zona. Tak mengapa, tentang gambarnya yang sering kamu tatap lekat-lekat, tentang anganmu menjamah punggung dan helai rambutnya tanpa saru, tentang uap dan aroma tubuhnya yang berusaha kamu hapal. Tak mengapa jika dia tidak tahu. Dan memang sudah harus begitu: dia tidak perlu tahu.
Tapi ada yang harus
rela kamu terima, atas pengaguman sembunyi-sembunyi itu. Relalah berbagi sedih
dengan sepi, ketidak mampuan itu, ketidak jujuran itu, dengan setiap tegur yang
tak sanggup bibirmu ucap, dengan tatapanmu yang setia menujunya, dengan malam
yang menyerah pada pagi sebab menungguimu tertdur dan menjadi objek utama dalam
setiap adegan dalam mimpi, dengan detik-detik yang kamu sumbangkan pada diammu
atas waktu yang menggagu.