10 Agustus 2014

Jadi, Apa Artinya Linggar Jati?




Berlari!
            Hal itu yang tengah otakku pikirkan untuk selanjutnya diproses, menjadi kata perintah bagi semua indra. Napasku mulai terputus-putus dan satu-satu. Terasa kepalaku kekurangan oksigen akibat berlari terlalu kencang. Darah harus terus dipompa menuju ke dua kaki, sebab selain otak, kedua kakiku yang kali ini harus bekerja ekstra.
         Alasannya sederhana: lima menit lagi kupastikan semua siswa sudah berada di kelasnya masing-masing. Dan aku dengan beberapa siswa yang terlambat lainnya harus bersedia diberi hukuman. Entah itu mengumpulkan sampah, menyapu ruang BP, atau mengepel di toilet umum, yang baunya mampu menurunkan nafsu makan selama satu hari. Tidak! Aku tidak boleh terlambat, aku tidak mau mengumpulkan sampah, tidak mau menyapu ruang BP, terlebih mengepel di toilet!
Lariku kupacu lebih cepat, hampir beberapakali aku menabrak para pejalan kaki di jalan. Tas yang lumayan penuh dengan buku paket jadi tantangan khusus untuk keadaan macam ini. Alhasil, aku tak berhasil. Aku terlambat.
“Yang terlambat, baris di dekat pagar,” perintah Pak Rubino, guru Matematika di sekolahku. Tepat saat dia mengatakan itu, aku sampai di depan gerbang dengan napas nyaris putus.
“Linggar Jati...terlambat lagi..” Tidak bisa kupastikan itu kalimat pernyataan atau lontaran pertanyaan. Pak Rubino mengatakannya dengan ekspresi wajah nyaris datar. Jadi, aku cuma bisa mengangguk juga menggeleng.
“Baru jam tujuh lewat dua puluh Pak, saya cuma terlambat beberapa menit,” sangkalku.
“Lebih baik datang tiga jam lebih cepat daripada satu menit tapi terlambat!”
Aku menyerngitkan kening. Paradoks macam apa itu? Tiga jam lebih cepat? Berarti aku harus datang ke sekolah, jam lima subuh? Bahkan gerbang pun belum dibuka!
Apa pun yang kugerutukan dalam hati, segalanya tetap sama. Aku terlambat dan hukuman adalah hadiahnya. Mungkin aku harus banyak berterima kasih kepada keteledoranku dan ketergantungan waktu bangunku pada alarm jam.
“Jati, kamu ambil sapu pel yang ada di gudang, bersihkan toilet.”
Aku sadar penderitaanku pagi ini baru di mulai, dengan langkah lesu akibat kelelahan berlari, kuambil sapu pel itu, kemudian berjalan penuh ketidakikhlasan menuju toilet. Sampai di toilet, aku disambut oleh aroma pesing berjuta-juta liter urine. Di dalam toilet ini, aku tidak sendiri. Ada dua abang kelasku yang juga mendapatkan hukuman yang sama. Mereka berada di kelas 3 SMA di jurusan yang sama-sama IPA namun berbeda kelas. Kuperhatikan bed nama yang ada di seragam mereka, yang satu dengan rambut agak pirang bernama Doni dan satu lagi dengan pakaian super rapi plus berdasi bernama Fahri. Aku tak banyak berkomunikasi, sekedar tersenyum kepada mereka, kemudian menjalankan hukumanku.
“Jam pertama persentasi tugas Biologi, eh, malah ngepel begini,” Doni, membuka kebisuan yang sempat ada di antara kami bertiga.
“Kelen hari ini persentasi? Sukurlah kelas kami besok,” Fahri menimpali dengan telapak tangan menutupi hidungnya.
Di antara kayuhan sapu pel pada lantai toilet Doni masih menggerutu. “Berapalah nilaiku itu, kayak gini jadi buang-buang waktu.”
“Waktu untuk nilai tinggi atau mati?”
“Mati?”
“Mungkin kalau satu harian kita di sini.” Dan mereka berdua tertawa. Menertawakan toilet ini dengan mereka yang ada di dalamnya.
Sembari menutup hidung dengan sapu tangan, berusaha menahan aroma yang tak sedap. Kupercepat kerjaku, tak mau berlama-lama di sini. Setengah mati aku kebingungan mencari jalan terbaik bagaimana cara membersihkan WC di toilet ini. Dalam hati aku mengutuki semua siswa yang dengan ketololan mereka tak pandai menggunakan air dengan tepat dan bijak.
“Kalau disuruh milih, kau mau menggunakan waktu ini untuk mati atau tetap di sini?” percakapan itu berlanjut, kali ini Fahri yang memulai.
“Mau adu filsafat? Jangan bilang kau fans beratnya Aristoteles.”
“Tinggi atau bawah. Nol atau satu. Benar atau salah. Terbang atau mati..dan, blaa...blaa.”
“Jangan terjebak sama logika binier.”
Sesungguhnya tidak jelas bagiku, topik apa yang tengah mereka perbincangkan. Fokusku berserak ke mana-mana, di ambil oleh kotoran dan bau pesing toilet ini. Di tambah filsafat di pagi hari, makin memualkan perutku. Keinginanku untuk muntah pun bertambah. Akhirnya tak bisa kutahan lagi. Tepat di tempat aku tengah mengepel, kumuntahkan sarapanku pagi ini; nasi goreng bersama telur mata sapi, berubah jadi bubur bercampur berbagai macam lendir.
Dua abang kelasku terkejut. Buru-buru mereka memboyonku keluar. Sampai di ruang BP, aku diberi minum. Di bangku panjang di depan ruangan guru aku terduduk di sana. Melengos. Dan aku sudah tak peduli dengan jam kelas, sungguh luar biasa efek yang diberikan toilet itu, terasa seluruh badanku tak keruan.
Seorang keluar dari ruangan guru, “Mau tunggu di sini dulu, atau langsung masuk kelas?” dia berkata pada seorang lagi di depan pintu ruang guru. Mereka seorang Ibu dan anaknya.
“Tunggu di sini dulu, kalau udah siap administrasinya aja.” Ujar anak itu, seraya melangkah menuju bangku panjang dengan aku bertengger di atasnya.
Ibu itu masuk kembali ke ruangan guru. Dan anak itu mengambil posisi duduk di sampingku. Aku tak banyak memberi reaksi, dan tak perlu juga untuk bereaksi di samping seorang perempuan dengan seragam putih abu-abu yang kutebak pasti baru dibelinya. Tasnya pun masih berwarna cerah, perempuan ini pun baru kulihat kali ini. Sepertinya anak baru.
Di antara sangkaan-sangkaanku terhadap sosok perempuan itu, perutku kembali berulah. Ada sesuatu yang makin mengaduk lambungku. Kurogoh-rogoh isi tas, mencari botol air minum. Tidak ada! Pasti ketinggalan karena aku terburu-buru. Cepat-cepat kuatur pernapasan, aku tak mau mengeluarkan sarapan pagiku lebih banyak lagi. Mungkin lain kali aku harus ikut kegiatas meditasi kilat, agar lain waktu dapat kukontrol kepenatan dalam gelembung-gelembung karbon dioksida ini dan mengharapkan keberuntungan dari oksigen yang masuk.
Tarik...embus...tarik...embus.... Huuuuuhhh... impitan ini terlalu kuat, aku salah besar. Beban yang tidak makin seimang, penyebab tadi aku sempoyongan––konsistensinya tak sanggup lagi kutahan. “HUUUAAAKKK!!!!!!”
“Ikkhhhh!” pekik perempuan di sampingku.
“HUUUAAAKKKK!!!!!”
Dia bangkit menjauh. “Kamu kenapa?” tak kutahu raut wajahnya, tapi aku yakin nada suaranya berintonasi khawatir. “Ini.” Di hadapanku terpampang botol air minum.
Kutolehkan kepala, menatap sekilas wajah paniknya, lalu menatap botol air minum itu, kemudian memandangi tumpahan sarapan pagiku dalam bentuk muntahan. Sial!
“Terima kasih,” kuambil botol air minum itu, menenggak satu tegukan. “Sebaiknya nanti, kalau kamu sudah resmi jadi siswa di sekolah ini, jangan pernah sekali-kali melangkahkan kaki ke sana...” Tunjukku ke arah jalan menuju toilet mala petaka itu.
          Dia hanya mengangguk getir. lalu kembali duduk di sampingku. “Aku Runi, kamu siapa?” suaranya pelan menyapa. Aku jadi menoleh ke arahnya, menatap wajahnya agak lama. Dan kutunjukkan bed nama yang berada di atas kantong seragamku, seraya menjemput kegugupan yang tanpa aba-aba memberi sensasi kelagapan. Sejak tadi dia di sana, tapi baru sekarang terasa ada yang beda. Dalam teori tentang interaksi yang pernah kupelajari, selalu ada bahasan tentang aksi dan reaksi. Sebuah aksi, walau selalu menimbulkan reaksi, tetapi tidak selalu akan menghasilkan interaksi. Khusus kasusku kali ini ada interaksi yang terjadi. Dan setahuku interaksi selalu memunculkan relasi.
            “Nama kamu Linggar Jati, mirip dengan perjanjian Linggarjati?  Atau memang terinspirasi dari sana?” dia bertanya, di saat aku melongo. Pandangannya lurus pada bed namaku.
            Tanpa sadar aku bergumam-gumam tak jelas, ” Hhhmmm... bukan, kalau perjanjian yang kamu sebut, semua nyatu tanpa spasi, sedang namaku Linggar Jati, ada spasinya.” Kelakarku.. Sebuah alasan tolol.
            “Memangnya spasi itu memengaruhi makna?”
            “Tentu dong, bahkan satu huruf saja bisa membuat satu kosakata kehilangan atau mendapat makna baru.”
            Dia mendekatkan dirinya padaku, tanda mulai tertarik. “Jadi, apa artinya Linggar Jati?”
         Sebelum sempat kujawab, Ibunya keluar dari ruang guru, mengambil perhatianku juga dirinya. “Runi, administrasinya sudah selesai, kamu boleh masuk sekarang."
           “Oh, iya Bu...” perempuan bernama Runi itu langsung beranjak bangkit. Kemudian menatapku sekilas. “Aku masuk ke kelas dulu, kalau ada kesempatan kita jumpa lagi. Aku di kelas sebelas IPS-2, kamu kelas berapa?”
      “Kalau begitu kelas kita bersebelahan, aku di kelas sebelas IPS-1,” jawabku sembari menyuguhkan senyum.
Dan dia melangkah pergi bersama Ibunya menaiki tangga menuju lantai dua tempat jejeran kelas sebelas berada. Sementara aku kembali pilon, dengan menatap muntahan yang tepat berada di bawah kakiku, bersama pertanyaan darinya yang belum sempat kujawab.
  


Untuk tantangan admin @KampusFiksi #EhemKenalan

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran