Berlari!
Hal itu yang tengah otakku pikirkan
untuk selanjutnya diproses, menjadi kata perintah bagi semua indra.
Napasku mulai terputus-putus dan satu-satu. Terasa kepalaku kekurangan oksigen
akibat berlari terlalu kencang. Darah harus terus dipompa menuju ke dua kaki,
sebab selain otak, kedua kakiku yang kali ini harus bekerja ekstra.
Alasannya sederhana: lima menit lagi
kupastikan semua siswa sudah berada di kelasnya masing-masing. Dan aku dengan
beberapa siswa yang terlambat lainnya harus bersedia diberi hukuman. Entah itu
mengumpulkan sampah, menyapu ruang BP, atau mengepel di toilet umum, yang
baunya mampu menurunkan nafsu makan selama satu hari. Tidak! Aku tidak boleh
terlambat, aku tidak mau mengumpulkan sampah, tidak mau menyapu ruang BP,
terlebih mengepel di toilet!
Lariku
kupacu lebih cepat, hampir beberapakali aku menabrak para pejalan kaki di
jalan. Tas yang lumayan penuh dengan buku paket jadi tantangan khusus untuk
keadaan macam ini. Alhasil, aku tak berhasil. Aku terlambat.
“Yang
terlambat, baris di dekat pagar,” perintah Pak Rubino, guru Matematika di
sekolahku. Tepat saat dia mengatakan itu, aku sampai di depan gerbang dengan
napas nyaris putus.
“Linggar
Jati...terlambat lagi..” Tidak bisa kupastikan itu kalimat pernyataan atau
lontaran pertanyaan. Pak Rubino mengatakannya dengan ekspresi wajah nyaris
datar. Jadi, aku cuma bisa mengangguk juga menggeleng.
“Baru
jam tujuh lewat dua puluh Pak, saya cuma terlambat beberapa menit,” sangkalku.
“Lebih
baik datang tiga jam lebih cepat daripada satu menit tapi terlambat!”
Aku
menyerngitkan kening. Paradoks macam apa
itu? Tiga jam lebih cepat? Berarti aku harus datang ke sekolah, jam lima subuh?
Bahkan gerbang pun belum dibuka!
Apa pun
yang kugerutukan dalam hati, segalanya tetap sama. Aku terlambat dan hukuman
adalah hadiahnya. Mungkin aku harus banyak berterima kasih kepada keteledoranku
dan ketergantungan waktu bangunku pada alarm jam.
“Jati,
kamu ambil sapu pel yang ada di gudang, bersihkan toilet.”
Aku
sadar penderitaanku pagi ini baru di mulai, dengan langkah lesu akibat
kelelahan berlari, kuambil sapu pel itu, kemudian berjalan penuh
ketidakikhlasan menuju toilet. Sampai di toilet, aku disambut oleh aroma pesing
berjuta-juta liter urine. Di dalam toilet ini, aku tidak sendiri. Ada dua abang
kelasku yang juga mendapatkan hukuman yang sama. Mereka berada di kelas 3 SMA
di jurusan yang sama-sama IPA namun berbeda kelas. Kuperhatikan bed nama yang
ada di seragam mereka, yang satu dengan rambut agak pirang bernama Doni dan
satu lagi dengan pakaian super rapi plus berdasi bernama Fahri. Aku tak banyak
berkomunikasi, sekedar tersenyum kepada mereka, kemudian menjalankan hukumanku.
“Jam
pertama persentasi tugas Biologi, eh, malah ngepel begini,” Doni, membuka
kebisuan yang sempat ada di antara kami bertiga.
“Kelen
hari ini persentasi? Sukurlah kelas kami besok,” Fahri menimpali dengan telapak
tangan menutupi hidungnya.
Di
antara kayuhan sapu pel pada lantai toilet Doni masih menggerutu. “Berapalah
nilaiku itu, kayak gini jadi buang-buang waktu.”
“Waktu
untuk nilai tinggi atau mati?”
“Mati?”
“Mungkin
kalau satu harian kita di sini.” Dan mereka berdua tertawa. Menertawakan toilet
ini dengan mereka yang ada di dalamnya.
Sembari
menutup hidung dengan sapu tangan, berusaha menahan aroma yang tak sedap.
Kupercepat kerjaku, tak mau berlama-lama di sini. Setengah mati aku kebingungan
mencari jalan terbaik bagaimana cara membersihkan WC di toilet ini. Dalam hati
aku mengutuki semua siswa yang dengan ketololan mereka tak pandai menggunakan
air dengan tepat dan bijak.
“Kalau
disuruh milih, kau mau menggunakan waktu ini untuk mati atau tetap di sini?”
percakapan itu berlanjut, kali ini Fahri yang memulai.
“Mau
adu filsafat? Jangan bilang kau fans
beratnya Aristoteles.”
“Tinggi atau bawah. Nol
atau satu. Benar atau salah. Terbang atau mati..dan, blaa...blaa.”
“Jangan terjebak sama logika binier.”
Sesungguhnya tidak jelas bagiku, topik apa yang
tengah mereka perbincangkan. Fokusku berserak ke mana-mana, di ambil oleh
kotoran dan bau pesing toilet ini. Di tambah filsafat di pagi hari, makin
memualkan perutku. Keinginanku untuk muntah pun bertambah. Akhirnya tak bisa kutahan lagi. Tepat di tempat aku
tengah mengepel, kumuntahkan sarapanku pagi ini; nasi goreng bersama telur mata
sapi, berubah jadi bubur bercampur berbagai macam lendir.
Dua abang kelasku terkejut. Buru-buru mereka
memboyonku keluar. Sampai di ruang BP, aku diberi minum. Di bangku panjang di
depan ruangan guru aku terduduk di sana. Melengos. Dan aku sudah tak peduli
dengan jam kelas, sungguh luar biasa efek yang diberikan toilet itu, terasa
seluruh badanku tak keruan.
Seorang keluar dari ruangan guru, “Mau tunggu di
sini dulu, atau langsung masuk kelas?” dia berkata pada seorang lagi di depan
pintu ruang guru. Mereka seorang Ibu dan anaknya.
“Tunggu di sini dulu, kalau udah siap
administrasinya aja.” Ujar anak itu, seraya melangkah menuju bangku panjang dengan aku bertengger di atasnya.
Ibu itu masuk kembali ke ruangan guru. Dan anak itu
mengambil posisi duduk di sampingku. Aku tak banyak memberi reaksi, dan tak
perlu juga untuk bereaksi di samping seorang perempuan dengan seragam putih
abu-abu yang kutebak pasti baru dibelinya. Tasnya pun masih berwarna cerah,
perempuan ini pun baru kulihat kali ini. Sepertinya anak baru.
Di antara sangkaan-sangkaanku terhadap sosok
perempuan itu, perutku kembali berulah. Ada sesuatu yang makin mengaduk
lambungku. Kurogoh-rogoh isi tas, mencari botol air minum. Tidak ada! Pasti ketinggalan
karena aku terburu-buru. Cepat-cepat kuatur pernapasan, aku tak mau
mengeluarkan sarapan pagiku lebih banyak lagi. Mungkin lain kali aku harus ikut
kegiatas meditasi kilat, agar lain waktu dapat kukontrol kepenatan dalam
gelembung-gelembung karbon dioksida ini dan mengharapkan keberuntungan dari
oksigen yang masuk.
Tarik...embus...tarik...embus.... Huuuuuhhh...
impitan ini terlalu kuat, aku salah besar. Beban yang tidak makin seimang, penyebab tadi aku sempoyongan––konsistensinya tak sanggup lagi kutahan. “HUUUAAAKKK!!!!!!”
“Ikkhhhh!” pekik perempuan di sampingku.
“HUUUAAAKKKK!!!!!”
Dia bangkit menjauh. “Kamu kenapa?” tak kutahu raut
wajahnya, tapi aku yakin nada suaranya berintonasi khawatir. “Ini.” Di hadapanku
terpampang botol air minum.
Kutolehkan kepala, menatap sekilas wajah paniknya,
lalu menatap botol air minum itu, kemudian memandangi tumpahan sarapan pagiku
dalam bentuk muntahan. Sial!
“Terima kasih,” kuambil botol air minum itu,
menenggak satu tegukan. “Sebaiknya nanti, kalau kamu sudah resmi jadi siswa di
sekolah ini, jangan pernah sekali-kali melangkahkan kaki ke sana...” Tunjukku
ke arah jalan menuju toilet mala petaka itu.
Dia hanya mengangguk getir. lalu kembali duduk di
sampingku. “Aku Runi, kamu siapa?” suaranya pelan menyapa. Aku jadi menoleh ke
arahnya, menatap wajahnya agak lama. Dan kutunjukkan bed nama yang berada di
atas kantong seragamku, seraya menjemput kegugupan yang tanpa aba-aba memberi
sensasi kelagapan. Sejak tadi dia di sana, tapi baru sekarang terasa ada yang
beda. Dalam
teori tentang interaksi yang pernah kupelajari, selalu ada bahasan tentang aksi
dan reaksi. Sebuah aksi, walau selalu menimbulkan reaksi, tetapi tidak selalu
akan menghasilkan interaksi. Khusus kasusku kali ini ada interaksi yang
terjadi. Dan setahuku interaksi selalu memunculkan relasi.
“Nama kamu Linggar Jati, mirip
dengan perjanjian Linggarjati? Atau memang terinspirasi dari sana?” dia
bertanya, di saat aku melongo. Pandangannya lurus pada bed namaku.
Tanpa sadar aku bergumam-gumam tak
jelas, ” Hhhmmm... bukan, kalau perjanjian yang kamu sebut, semua nyatu tanpa
spasi, sedang namaku Linggar Jati, ada spasinya.” Kelakarku.. Sebuah alasan tolol.
“Memangnya
spasi itu memengaruhi makna?”
“Tentu dong, bahkan satu huruf saja
bisa membuat satu kosakata kehilangan atau mendapat makna baru.”
Dia mendekatkan dirinya padaku, tanda mulai
tertarik. “Jadi, apa artinya Linggar Jati?”
Sebelum sempat kujawab, Ibunya keluar dari ruang guru, mengambil perhatianku juga dirinya. “Runi, administrasinya sudah
selesai, kamu boleh masuk sekarang."
“Oh, iya Bu...” perempuan bernama
Runi itu langsung beranjak bangkit. Kemudian menatapku sekilas. “Aku masuk ke
kelas dulu, kalau ada kesempatan kita jumpa lagi. Aku di kelas sebelas IPS-2,
kamu kelas berapa?”
“Kalau begitu kelas kita
bersebelahan, aku di kelas sebelas IPS-1,” jawabku sembari menyuguhkan senyum.
Dan
dia melangkah pergi bersama Ibunya menaiki tangga menuju lantai dua tempat
jejeran kelas sebelas berada. Sementara aku kembali pilon, dengan menatap
muntahan yang tepat berada di bawah kakiku, bersama pertanyaan darinya yang belum sempat kujawab.
Untuk tantangan admin @KampusFiksi #EhemKenalan