Di dalam bilik ukuran 4x6 meter ini aku duduk mematung, memegangi tasku dan berharap bisa dapat minggat secepatnya. Tapi sesuatu menahanku, tepatnya seseorang. Ia menghadangku di depan pintu pagar (persepsiku mengatakan jika ia tengah menungguiku), aku memerhatikannya dari celah jendela. Sungguh, keakraban di antara kami tiba-tiba meluruh. Ada khawatir juga rasa takut. Mungkin sebab aku bersalah. Sebab kekhawatiran dan ketakutan kerap merasuki jiwa orang-orang yang bersalah.
Berhentilah menunggui aku di depan pintu, sebab aku tak ingin menemuimu. Aku akan bersembunyi, mencari perlindungan, semata-mata
agar tak dapat ia menyeretku dalam kuasanya. Kuasa yang memaksa aku untuk
menjawab segala pertanyaan prihal mengapa tidak datang di hari selasa? Mengapa tak
memberi kabar? Mengapa aku menghindar? Dan akan banyak lagi rentetan tanya dan
mengapa darinya. Maka tatkala aku sudah berada dalam zona itu, bersiaplah
menerima seribu satu alasan. Bersiaplah melihat aku bergonta-ganti kepribadian.
Merasakan diriku menjadi aku yang bukan aku.
Beberapa hal telah mengaburkan
jalanku, aku berada dalam pilihan yang masing-masing menawarkan akhir yang
sama: jatuh terjerembab dalam satu jurang yang dalam. Padahal ini mudah, aku
tinggal melangkah keluar, berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Lalu pergi
meninggalkan bilik dan ia yang menungguiku tanpa harus berucap, boleh juga
tanpa harus menatap. Namun, seperti ada kobaran api menghalau jalanku. Ada
sesuatu yang menahan langkahku, sesuatu itu dipancarkan oleh dirinya yang
sahaja. Mendadak aku jadi tak tega, kemudian iba pada diriku sendiri.
Lihatlah, gelagatku yang aneh
membuat teman yang juga berada di bilik ini menggerutu. “Kenapa kau?”
“Aku mau pulang.” Spontan aku
menjawab.
“Yasudah tinggal pulang kenapa
gelisah?”
“Tidak ada jalan keluar lain? Jalan
agar aku tidak berpapasan dengannya.” Aku bertanya dengan raut wajah gusar.
Ia yang heran, bangkit dari rebahan
lalu melihat dari celah jendela, ingin mengetahui siapa yang menyebabkan aku
gelisah seperti anak-anak yang cemas kala menunggu giliran dikhitan.
“Kalau ada masalah, dihadapin,
bukan menghindar macam pengecut gitu,” ucapannya cukup telak buatku.
“Aku cuma nggak mau ketemu, malas
ditanya-tanyai,”aku berkelakar.
“Kalau terus menghindar, semuanya
gak bakalan kelar.” Temanku sok bijak lagi.
Beberapa saat aku diam. Temanku
juga diam. Keheningan membawaku berbicara pada jiwa-jiwa yang ada dakam diriku.
Dalam diam, Aku’ sedang berdiskusi dengan Aku’’.
Aku’ : “temanmu benar, hadapi,
temui ia.”
Aku’’: “tidak adakah cara lain, aku
belum siap membuat alasan. Lagi pula alsan saja tidak cukup kan?”
Aku’: “kau harus tahu apa yang
kaumau!”
Aku’’: kenapa membentak, aku butuh
solusi.”
Hening….
Aku menatap kembali pada ia yang
masih tegar menungguiku di depan pintu, duduk sambil menopang sebelah kakinya
pada kaki yang lain. Wahai engkau yang di sana, dapatkah kau paham posisiku
saat ini? Aku belum siap mengahadapi sinar wajahmu yang begitu menyilaukan,
belum siap menatap matamu langsung dalam jarak dekat. Sebab aku bersalah.
Tahu-tahu sesuatu membuatku bangkit
dari posisi duduk. Diriku yang lain menarik lenganku, menuntunku keluar dari
tempat persembunyian.
Aku’’: “kau jantan kan? Hadapi.”
Melengos… aku akhirnya menurut,
kendati ragu masih menyelimuti diriku serupa kabut di pagi buta.
Selanjutnya langkahku yang cuma
berjarak beberapa meter darinya terasa seperti perjudian. Sensasi yang
kurasakan serupa ketika berada dalam pesawat yang siap lepas landas. Fakta lapangan mengatakan jika penyumbang
kecelakaan terbesar adalah transportasi darat. Namun, pengalaman pertama kala
menggunakan transportasi udara adalah yang paling menyeramkan yang pernah
kualami, bagai pelemparan lotre, jika sial bisa saja jasad kita melayang entah
ke mana. Dan kini itu kurasakan kembali.
Perlahan aku semakin dekat
dengannya. Serupa seorang terdakwa aku menunduk, tak mampu melawan gemerlapnya
ia. Kepalaku terasa seperti dibakar di atas kompor, sedang kakiku terasa beku
seperti dalam freezer.
Dan tinggal perutku yang merasa hangat. Sial, perjalanan untuk keluar dari sini
mengapa jadi seperti perjalanan mencari jati diri, penuh onak dan duri. Aku
menarik napas panjang, berupaya mengusir gugup.
Namun diriku
yang lain menggenggam erat jemariku, memberi dukungan. Betapa dramatisnya
adegan ini. Kupertaruhkan diriku pada diriku yang lain. Kuserahkan diriku yang
cemas, yang keringat dingin padanya.
Tepat ketika
jarak kami tinggal tiga langkah. Dia mendongak, menatapku lalu tersenyum.
Senyuman yang tak mampu kumaknai. Ia menyebut namaku, mengulurkan tangannya
untuk berjabat. Aku balas menyebut namnya, lalu meraih jabatannya. Percaya atau
tidak, yang melakukan itu semua adalah aku yang lain. Aku yang kuat melawan
ketakutan apa pun. Aku yang tidak merasa bersalah. Tak juga merasa berdosa.
Menit-menit
menegangkan itu berlalu. Aneh, seharusnya ia menahanku. Mengeluarkan kuasanya
untuk mengukungku. Lalu memberikan daftar pertanyaan untuk kujawab. Namun itu
semua tidak terjadi, adakah yang tengah kuhadapi bukanlah dirinya yang
sesungguhnya, tapi dirinya yang lain? Aku tak pernah tahu.
Langkahku
semakin ringan saja, kupakai sepatuku perlahan, kemudian pergi bahkan tanpa
menoleh. Tapi… tunggu dulu, ada yang janggal. Serasa kosong dalam dadaku. Namun
tetap aku terus melangkah, masih enggan menoleh.
Untuk AW,
Mohon maafkan segala kebohongan saya
yang mungkin kamu sadari atau juga tidak.