24 April 2015

Pengakuan


Ngeri bukan? Bagaimana bisa ada bagian dari diri kita yang tidak kita kenali.


            


Di dalam bilik ukuran 4x6 meter ini aku duduk mematung, memegangi tasku dan berharap bisa dapat minggat secepatnya. Tapi sesuatu menahanku, tepatnya seseorang. Ia menghadangku di depan pintu pagar (persepsiku mengatakan jika ia tengah menungguiku), aku memerhatikannya dari celah jendela. Sungguh, keakraban di antara kami tiba-tiba meluruh. Ada khawatir juga rasa takut. Mungkin sebab aku bersalah. Sebab kekhawatiran dan ketakutan kerap merasuki jiwa orang-orang yang bersalah.
Berhentilah menunggui aku di depan pintu, sebab aku tak ingin menemuimu. Aku akan bersembunyi, mencari perlindungan, semata-mata agar tak dapat ia menyeretku dalam kuasanya. Kuasa yang memaksa aku untuk menjawab segala pertanyaan prihal mengapa tidak datang di hari selasa? Mengapa tak memberi kabar? Mengapa aku menghindar? Dan akan banyak lagi rentetan tanya dan mengapa darinya. Maka tatkala aku sudah berada dalam zona itu, bersiaplah menerima seribu satu alasan. Bersiaplah melihat aku bergonta-ganti kepribadian. Merasakan diriku menjadi aku yang bukan aku.
Beberapa hal telah mengaburkan jalanku, aku berada dalam pilihan yang masing-masing menawarkan akhir yang sama: jatuh terjerembab dalam satu jurang yang dalam. Padahal ini mudah, aku tinggal melangkah keluar, berjalan seolah tak terjadi apa-apa. Lalu pergi meninggalkan bilik dan ia yang menungguiku tanpa harus berucap, boleh juga tanpa harus menatap. Namun, seperti ada kobaran api menghalau jalanku. Ada sesuatu yang menahan langkahku, sesuatu itu dipancarkan oleh dirinya yang sahaja. Mendadak aku jadi tak tega, kemudian iba pada diriku sendiri.
Lihatlah, gelagatku yang aneh membuat teman yang juga berada di bilik ini menggerutu. “Kenapa kau?”
“Aku mau pulang.” Spontan aku menjawab.
“Yasudah tinggal pulang kenapa gelisah?”
“Tidak ada jalan keluar lain? Jalan agar aku tidak berpapasan dengannya.” Aku bertanya dengan raut wajah gusar.
Ia yang heran, bangkit dari rebahan lalu melihat dari celah jendela, ingin mengetahui siapa yang menyebabkan aku gelisah seperti anak-anak yang cemas kala menunggu giliran dikhitan.
“Kalau ada masalah, dihadapin, bukan menghindar macam pengecut gitu,” ucapannya cukup telak buatku.
“Aku cuma nggak mau ketemu, malas ditanya-tanyai,”aku berkelakar.
“Kalau terus menghindar, semuanya gak bakalan kelar.” Temanku sok bijak lagi.
Beberapa saat aku diam. Temanku juga diam. Keheningan membawaku berbicara pada jiwa-jiwa yang ada dakam diriku. Dalam diam, Aku’ sedang berdiskusi dengan Aku’’.
Aku’ : “temanmu benar, hadapi, temui ia.”
Aku’’: “tidak adakah cara lain, aku belum siap membuat alasan. Lagi pula alsan saja tidak cukup kan?”
Aku’: “kau harus tahu apa yang kaumau!”
Aku’’: kenapa membentak, aku butuh solusi.”
Hening….
Aku menatap kembali pada ia yang masih tegar menungguiku di depan pintu, duduk sambil menopang sebelah kakinya pada kaki yang lain. Wahai engkau yang di sana, dapatkah kau paham posisiku saat ini? Aku belum siap mengahadapi sinar wajahmu yang begitu menyilaukan, belum siap menatap matamu langsung dalam jarak dekat. Sebab aku bersalah.
Tahu-tahu sesuatu membuatku bangkit dari posisi duduk. Diriku yang lain menarik lenganku, menuntunku keluar dari tempat persembunyian.
Aku’’: “kau jantan kan? Hadapi.”
Melengos… aku akhirnya menurut, kendati ragu masih menyelimuti diriku serupa kabut di pagi buta.
Selanjutnya langkahku yang cuma berjarak beberapa meter darinya terasa seperti perjudian. Sensasi yang kurasakan serupa ketika berada dalam pesawat yang siap lepas landas.  Fakta lapangan mengatakan jika penyumbang kecelakaan terbesar adalah transportasi darat. Namun, pengalaman pertama kala menggunakan transportasi udara adalah yang paling menyeramkan yang pernah kualami, bagai pelemparan lotre, jika sial bisa saja jasad kita melayang entah ke mana. Dan kini itu kurasakan kembali.
Perlahan aku semakin dekat dengannya. Serupa seorang terdakwa aku menunduk, tak mampu melawan gemerlapnya ia. Kepalaku terasa seperti dibakar di atas kompor, sedang kakiku terasa beku seperti dalam freezer. Dan tinggal perutku yang merasa hangat. Sial, perjalanan untuk keluar dari sini mengapa jadi seperti perjalanan mencari jati diri, penuh onak dan duri. Aku menarik napas panjang, berupaya mengusir gugup.
Namun diriku yang lain menggenggam erat jemariku, memberi dukungan. Betapa dramatisnya adegan ini. Kupertaruhkan diriku pada diriku yang lain. Kuserahkan diriku yang cemas, yang keringat dingin padanya.
Tepat ketika jarak kami tinggal tiga langkah. Dia mendongak, menatapku lalu tersenyum. Senyuman yang tak mampu kumaknai. Ia menyebut namaku, mengulurkan tangannya untuk berjabat. Aku balas menyebut namnya, lalu meraih jabatannya. Percaya atau tidak, yang melakukan itu semua adalah aku yang lain. Aku yang kuat melawan ketakutan apa pun. Aku yang tidak merasa bersalah. Tak juga merasa berdosa.
Menit-menit menegangkan itu berlalu. Aneh, seharusnya ia menahanku. Mengeluarkan kuasanya untuk mengukungku. Lalu memberikan daftar pertanyaan untuk kujawab. Namun itu semua tidak terjadi, adakah yang tengah kuhadapi bukanlah dirinya yang sesungguhnya, tapi dirinya yang lain? Aku tak pernah tahu.
Langkahku semakin ringan saja, kupakai sepatuku perlahan, kemudian pergi bahkan tanpa menoleh. Tapi… tunggu dulu, ada yang janggal. Serasa kosong dalam dadaku. Namun tetap aku terus melangkah, masih enggan menoleh. 


Untuk AW,
Mohon maafkan segala kebohongan saya
yang mungkin kamu sadari atau juga tidak. 

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran