Kepada yang dianggap tak mungkin,
Pernahkah kaurasakan cemburu senikmat ini? Apakah rasa rindu selalu membikinmu nyeri? Lantas bagaimana kabar hati, masihkah menjadikannya objek terpenting hingga saat ini? Atau kau sudah jera plus jeri, sehingga memilih berhenti dan membiarkan diri menyendiri, dengan sepi, dengan duka yang ditanggung sendiri? Ah, kau tak benar-benar ingin peduli. Yang kau pentingkan kini, hanyalah keinginan merepetisi sembari merefres kembali hati. Ada ketakutan dalam dirimu, meski samar namun di beberapa jenak ketakutan itu menggagukanmu. Kau skeptis padanya, jiwamu meragu karena sampai saat ini dirinya belum tunjukkan emosi yang sama. Sesekali denyut waktu kauulang kembali. Detak-detak yang sempat membingungkanmu kau sesapi lagi. Dan air mata itu, securah anganmu tentangnya, melintas tanpa imbalan apa-apa.
Jika ditelisik lagi apa mau hati: maka ia akan berkata, ia tak ingin luka, ia tak ingin ada langkah kaki pergi tanpa suara atau sekedar senyum sapa. Ia takut jika arah matanya tak mengarah padamu. Derap langkah kaki juga lengkung senyumnya adalah dua hal yang setia kautunggu. Apa pun rela kauberikan untuk itu. Tak terkecuali bila harus melukai hatimu.
Pernah kalian bersama. Masa-masa seperti itu adalah tujuanmu, bahkan rela kaumengenyampingkan agenda lain hanya agar kalian terjebak dalam satu waktu, dalam satu ruang, tanpa pretensi, tanpa memikirkan yang lain selain kalian saja di dunia ini. Namun enggan itu. Jarak itu. Masih meragukan niatmu. Hari-hari yang telah terlalui. Indah. Meski cuma kau sendiri yang rasa. Perjuangan dan pengorbananmu, dirinya tak perlu tahu. Kau akan berikan apa pun, meski dirinya tak meminta apa-apa. Kau meyakini bahwa cinta tak miliki rumus pasti, tak dapat merambah rasio, sebab magis ia bekerja. Dan kau terkena dampak serius karenanya. Dampak rela menanggung sendiri rasa itu. Meredamnya tanpa perlu ia tahu.
Dari si pengirim pesan singkat: "Bi khoir walhamdulillah, wa kaifa anta?"
Yang sampai detik ini, belum mendapatkan balasannya.