Ketenangan
yang agung dengarlah gemuruhku.
Tatkala
awan dan kabut berkumpul di atas satu ruh. Ia datang serupa seorang gadis: anggun
dan mengundang sekaligus membikin segan.
Keheningan
adalah suaranya;
Dari rahimnya lahir
dunia;
Pada matanya
mengalir nyawa;
Pohon Bidara
menjuntai di sela-sela rambutnya;
Di pundak ia
pikul beban peradaban.
Dan aku
bersyukur telah dipilih sebagai tempatnya menetap
“Aku butuh napasmu, berikan aku satu helaan.” Setenang muara
ia bersuara.
Tahu-tahu
kegugupan menggigitiku
Sinarnya
setamsil regiditas yang tak mati: menembus gelap dalam diriku.
Ditatanya
ranjangnya sendiri, dari perdu, jerami, dan duri.
Ia putuskan
tidur dalam aku
Aku putuskan
mendongeng untuknya. Di anatar dongengku ia berkata mengeja, “di lanskap katulistiwa tak perlu ada
kesombongan, kendati beragam budayamu. Mereka tetap akan terpesona meski kau
hanya tersenyum tanpa tertawa.”
“Cuma bentuk, ragam lekuk menyambeladewa di luaran.
Tunggu waktu: sampai segalanya mati layu.” Aku menolak pujiannya.
“Namun mesti wajib kau berbangga,” ia sudah
setengah tidur tapi masih berkeras ingin memuji.
Sipu-sipu aku
bertanya: “mengapa?”
“Sebab, kau: Indonesia.”
Untuk hidup yang
tak terencana,
Di hamparan
Tanah Indonesia.
Medan, 17 Agustus 2013