18 Maret 2015

Kau: Indonesia



Ketenangan yang agung dengarlah gemuruhku.
Tatkala awan dan kabut berkumpul di atas satu ruh. Ia datang serupa seorang gadis: anggun dan mengundang sekaligus membikin segan.

Keheningan adalah suaranya;
Dari rahimnya lahir dunia;
Pada matanya mengalir nyawa;
Pohon Bidara menjuntai di sela-sela rambutnya;
Di pundak ia pikul beban peradaban.
Dan aku bersyukur telah dipilih sebagai tempatnya menetap
“Aku butuh napasmu, berikan aku satu helaan.” Setenang muara ia bersuara.
Tahu-tahu kegugupan menggigitiku
Sinarnya setamsil regiditas yang tak mati: menembus gelap dalam diriku.
Ditatanya ranjangnya sendiri, dari perdu, jerami, dan duri.
Ia putuskan tidur dalam aku
Aku putuskan mendongeng untuknya. Di anatar dongengku ia berkata mengeja, “di lanskap katulistiwa tak perlu ada kesombongan, kendati beragam budayamu. Mereka tetap akan terpesona meski kau hanya tersenyum tanpa tertawa.”
“Cuma bentuk, ragam lekuk menyambeladewa di luaran. Tunggu waktu: sampai segalanya mati layu.” Aku menolak pujiannya.
“Namun mesti wajib kau berbangga,” ia sudah setengah tidur tapi masih berkeras ingin memuji.
Sipu-sipu aku bertanya: “mengapa?”
“Sebab, kau: Indonesia.”

Untuk hidup yang tak terencana,
Di hamparan Tanah Indonesia.

Medan, 17 Agustus 2013

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran