Sumber: MutualArt.com |
Bagimu penciptaan dunia serupa letusan
kembang api. Betapa ajaib membayangkan ada ledakan dahsyat dalam satu ruang
hampa di luar angkasa yang kini melahirkan kita. Barangkali ledakan yang
tercipta juga memberi sensasi spektrum warna-warna, sebagaimana kamu selalu
kagum pada kilau kembang api yang rekah di udara.
Di
sebuah lapangan di mana orang-orang berbondong berdatangan demi menyaksikan
ledakan kembang api di langit, kamu memintaku bertemu. Aku harus sudah berada
di sana, lima menit sebelum waktu kembali menghitung mundur dan memutar ulang
dari awal. Meski sebenarnya bagiku itu sesuatu yang ganjil, sebab waktu yang
kita jalani terus berjalan maju, tak pernah memutar ulang apalagi berbalik
kembali ke awal. Apakah yang sebenanrnya awal dan akhir itu?
Aku ragu atas ajakanmu, sebab seperti yang kau tahu, aku tak pernah bisa bertahan
lama dalam keramaian. Aku pun tak merayakan pergantian tahun, atau
perayaan-perayaan lain semisal ulang tahun, hari jadian yang ke sekian, dan hal
lain semacamnya yang kupikir sangatlah tidak perlu. Lantaran itu kamu bilang
hidupku muram, tidak seru dan menjemukan. Dirimu yang cerdik tak kehabisan
akal. Kamu katakan bahwa aku tak harus ikut merayakan pergantian tahun, aku
cukup ikut menemanimu saja.
Aku membantah: “Itu dua
hal yang sama. Merayakan dan ikut merayakan.”
“Itu dua hal yang
berbeda. Kamu tidak ikut merayakan, kamu hanya ada di sisiku.” Kilahmu.
“Tidakkah perayaan
semacam itu sebenarnya membosankan? Kita melakukannya dan nanti melakukannya lagi.
Terus-menerus, lalu ia kehilangan maknanya dan kemudian menjadi sesuatu yang
tak lagi spesial. Lagi pula telah terjadi banyak bencana, tidakkah sebaiknya
kita lebih memikirkan itu ketimbang berpesta?”
“Tahun-tahun berlalu,
segalanya memang sudah terjadi. tak ada lagi hal baru. Tapi bukan berarti kita
tak boleh punya harapan kan? Ayolah, aku sangat ingin melihat kembang api di
akhir tahun denganmu, aku takut nanti kita tak lagi bisa melakukannya.” Lalu
kamu memohon-mohon, membujuk dengan raut wajah yang tidak bisa aku tolak.
Malam itu aku berusaha
menahan segala yang ingin membuat aku pergi dari diriku sendiri. Riuh, gemuruh,
lautan manusia, pekak suara terompet dan ledakan demi ledakan yang seolah teror
dalam peperangan. Tapi kamu khidmad, takjub pada kembang api yang tengah rekah
di udara. Aku ingin sekali memberitahukan hal ini padamu, jika tidak sebagai
perkataan kelise yang membutmu geli alih-alih tersentuh: bahwa kau lebih
bersinar daripada puluhan ribu kembang api di udara malam ini. Saat ujaran itu
terlintas dalam pikiranku, sebuah kembang api raksasa mekar membentuk pola
abstrak berbagai warna di udara. Kembang api raksasa itu resmi menjadi kembang
api terakhir yang kita saksikan bersama.
***
Berkali-kali mimpi buruk
membangunkan aku dalam usaha tidur pulas, tetapi gagal sebab ledakan kembang api
yang memekakkan itu tengah memenuhi langit malam hingga membuatku jengkel. Aku
menyadari ini malam tahun baru yang kesekian kali kulalu tanpa rengekan darimu
untuk melihat pesta kembang api. Kau tahu, itu menyedihkan, kendati aku bisa
juga melaluinya dengan kerelaan.
Dini hari memasuki
tahun baru, kudengar dari kamar sebelah, adikku tengah meraung kesakitan. Aku
bangkit dan menyusul melihatnya. Ibuku tengah kerepotan sebab adik perempuanku
itu mulai meracau menahan sakit dan demam yang telah seminggu membuatnya
berbaring di kamar. Kupikir itu gejala halusinasi atau tentang sesuatu yang
harus diperiksakan ke rumah sakit. Demi melihat itu, aku jadi mengingat kamu
yang juga meraung-raung kesakitan di atas kasur rumah sakit kala menahan sakit
yang telah berdiam dalam tubuhmu sejak lama. Ibuku yang khawatir detik itu juga
langsung memintaku membopong adikku untuk dibawa ke rumah seorang nenek yang
lama tinggal sendirian.
Aku mengenal nenek itu
sebagai tetangga yang ramah, sedang ibuku mengenalnya sebagai seorangtua yang
rajin beribadah dan penuh berkat. Menurutnya
membawa adik perempuanku yang tengah bertingkah seperti orang kesurupan untuk
dipilis adalah pilihan yang layak dicoba, dan esok pagi kami bisa membawa adikku
ke rumah sakit. Dahulu ketika aku masih kecil dan sakit-sakitan, ibu juga
membawaku kepada orangtua pintar untuk dipilis, aneh memang menyadari kenyataan
bahwa aku bisa sembuh sesudah dipilis.
Kami mengetuk pintu
rumahnya dalam sunyi senyap dini hari. Beberapa kali ketukan dan sang nenek
terbangun.
Berada dalam ruang tamu rumahnya, kusaksikan sebenarnya
sang nenek juga tak begitu paham apa yang harus ia lakukan. Meski peralatan
yang ia miliki terkait pilis cukup lengkap. Aku bisa melihat dalam taung
plastik miliknya ada pinang, kapur, sirih, kunyit, dan kertas-kertas berisi
tulisan arab sebagai doa. Dengan ragu ia mengambil seruas kunyit, memotongnya
menjadi dua bagian yang sama besar. Meletakkan dua potongan kunyit itu pada
punggung tangannya sembari merapal doa. Ia juga menanyakan nama adikku. Lalu
melempar dua potong kunyit itu kelantai. Satu potong kunyit yang bagian kulit
terbuka menghadap ke atas--ia ambil dan lalu ia lumuri dengan kapur. Masih
sembari merapal doa, ia gariskan kunyit berkapur itu pada kening, lengan dan
kaki adik perempuanku.
Seketika kala
menyaksikan itu, ingatanku yang tak berkaitan menampilkan dirimu yang tengah
terbaring dalam peti mati. Kamu berbalut gaun indah. Meski sebelum itu kamu
telah disuntik pengawet dan itu sungguh membenamkan pilu dalam diriku. Kenyataan
bahwa kamu tak lekas dimakamkan dan harus melewati serangkaian prosesi yang
asing bagiku, membuat seolah sebuah paku tengah dipalu di jantungku.
Menyakitkan bahwa tak ada tiga hari, tujuh hari, atau empat puluh hari tahlil
kematian untukmu. Padahal dahulu kita sempat mendebatkannya. Bahwa kemurnian
ajaran yang kuyakini tak seharusnya menjadikan acara tahlilan semacam itu perlu
digelar. Selalu ada sebagian yang setuju dan sebagian lagi tidak. Seperti juga kita
yang pernah mendebat perihal tak ada kaitan antara natal dan sinterklas.
Sehingga kamu mematik pertanyaan apakah sinterklas itu yang sebenarnya juru
selamat?
Tapi pada akhirnya
pahamlah kita bahwa segalanya adalah akulturasi, meski beberapa ajaran yang
kita yakini ingin tetap pada kemurniannya tanpa tercampur ajaran lain. Kendati
fakta lain mengatakan berbagai budaya yang kita kenal kini adalah percampuran
dalam esensi lain, sehingga kita tak lagi bisa melihat batas yang jelas di
antaranya. Seperti pengobatan pilis tradisional yang berkulturasi dengan
seorangtua yang taat beribadah. Seperti tepung tawar dalam acara-acara adat dengan
merapal doa-doa pujian pada tuhan dan nabi. Dalam beberapa istiadat tradisonal
ajaran-ajaran agama yang kita yakini terikat kuat dan menjadi satu dan tak
terpisahkan. Aku juga teringat kamu pernah bertanya, tentang apakah sia-sia
kita yang hidup berdoa untuk yang mati?
Dalam perjalanan pulang
membawa adikku ke rumah. Sebuah kembang api kusaksikan mekar di udara. Kupikir
itu sisa perayaan tahun baru dari mereka yang masih melek hingga sepagi ini.
Aku mengingatmu dan aku berdoa, tepat ketika sisa asap kembang api itu hilang
dalam udara. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar