3 Januari 2018

Malam Kembang Api




Sumber: MutualArt.com



Bagimu penciptaan dunia serupa letusan kembang api. Betapa ajaib membayangkan ada ledakan dahsyat dalam satu ruang hampa di luar angkasa yang kini melahirkan kita. Barangkali ledakan yang tercipta juga memberi sensasi spektrum warna-warna, sebagaimana kamu selalu kagum pada kilau kembang api yang rekah di udara.
            Di sebuah lapangan di mana orang-orang berbondong berdatangan demi menyaksikan ledakan kembang api di langit, kamu memintaku bertemu. Aku harus sudah berada di sana, lima menit sebelum waktu kembali menghitung mundur dan memutar ulang dari awal. Meski sebenarnya bagiku itu sesuatu yang ganjil, sebab waktu yang kita jalani terus berjalan maju, tak pernah memutar ulang apalagi berbalik kembali ke awal. Apakah yang sebenanrnya awal dan akhir itu?
         Aku ragu atas ajakanmu, sebab seperti yang kau tahu, aku tak pernah bisa bertahan lama dalam keramaian. Aku pun tak merayakan pergantian tahun, atau perayaan-perayaan lain semisal ulang tahun, hari jadian yang ke sekian, dan hal lain semacamnya yang kupikir sangatlah tidak perlu. Lantaran itu kamu bilang hidupku muram, tidak seru dan menjemukan. Dirimu yang cerdik tak kehabisan akal. Kamu katakan bahwa aku tak harus ikut merayakan pergantian tahun, aku cukup ikut menemanimu saja.
Aku membantah: “Itu dua hal yang sama. Merayakan dan ikut merayakan.”
“Itu dua hal yang berbeda. Kamu tidak ikut merayakan, kamu hanya ada di sisiku.” Kilahmu.
“Tidakkah perayaan semacam itu sebenarnya membosankan? Kita melakukannya dan nanti melakukannya lagi. Terus-menerus, lalu ia kehilangan maknanya dan kemudian menjadi sesuatu yang tak lagi spesial. Lagi pula telah terjadi banyak bencana, tidakkah sebaiknya kita lebih memikirkan itu ketimbang berpesta?”
“Tahun-tahun berlalu, segalanya memang sudah terjadi. tak ada lagi hal baru. Tapi bukan berarti kita tak boleh punya harapan kan? Ayolah, aku sangat ingin melihat kembang api di akhir tahun denganmu, aku takut nanti kita tak lagi bisa melakukannya.” Lalu kamu memohon-mohon, membujuk dengan raut wajah yang tidak bisa aku tolak.
Malam itu aku berusaha menahan segala yang ingin membuat aku pergi dari diriku sendiri. Riuh, gemuruh, lautan manusia, pekak suara terompet dan ledakan demi ledakan yang seolah teror dalam peperangan. Tapi kamu khidmad, takjub pada kembang api yang tengah rekah di udara. Aku ingin sekali memberitahukan hal ini padamu, jika tidak sebagai perkataan kelise yang membutmu geli alih-alih tersentuh: bahwa kau lebih bersinar daripada puluhan ribu kembang api di udara malam ini. Saat ujaran itu terlintas dalam pikiranku, sebuah kembang api raksasa mekar membentuk pola abstrak berbagai warna di udara. Kembang api raksasa itu resmi menjadi kembang api terakhir yang kita saksikan bersama.

***

Berkali-kali mimpi buruk membangunkan aku dalam usaha tidur pulas, tetapi gagal sebab ledakan kembang api yang memekakkan itu tengah memenuhi langit malam hingga membuatku jengkel. Aku menyadari ini malam tahun baru yang kesekian kali kulalu tanpa rengekan darimu untuk melihat pesta kembang api. Kau tahu, itu menyedihkan, kendati aku bisa juga melaluinya dengan kerelaan.
Dini hari memasuki tahun baru, kudengar dari kamar sebelah, adikku tengah meraung kesakitan. Aku bangkit dan menyusul melihatnya. Ibuku tengah kerepotan sebab adik perempuanku itu mulai meracau menahan sakit dan demam yang telah seminggu membuatnya berbaring di kamar. Kupikir itu gejala halusinasi atau tentang sesuatu yang harus diperiksakan ke rumah sakit. Demi melihat itu, aku jadi mengingat kamu yang juga meraung-raung kesakitan di atas kasur rumah sakit kala menahan sakit yang telah berdiam dalam tubuhmu sejak lama. Ibuku yang khawatir detik itu juga langsung memintaku membopong adikku untuk dibawa ke rumah seorang nenek yang lama tinggal sendirian.
Aku mengenal nenek itu sebagai tetangga yang ramah, sedang ibuku mengenalnya sebagai seorangtua yang rajin beribadah dan penuh berkat.  Menurutnya membawa adik perempuanku yang tengah bertingkah seperti orang kesurupan untuk dipilis adalah pilihan yang layak dicoba, dan esok pagi kami bisa membawa adikku ke rumah sakit. Dahulu ketika aku masih kecil dan sakit-sakitan, ibu juga membawaku kepada orangtua pintar untuk dipilis, aneh memang menyadari kenyataan bahwa aku bisa sembuh sesudah dipilis.
Kami mengetuk pintu rumahnya dalam sunyi senyap dini hari. Beberapa kali ketukan dan sang nenek terbangun.
 Berada dalam ruang tamu rumahnya, kusaksikan sebenarnya sang nenek juga tak begitu paham apa yang harus ia lakukan. Meski peralatan yang ia miliki terkait pilis cukup lengkap. Aku bisa melihat dalam taung plastik miliknya ada pinang, kapur, sirih, kunyit, dan kertas-kertas berisi tulisan arab sebagai doa. Dengan ragu ia mengambil seruas kunyit, memotongnya menjadi dua bagian yang sama besar. Meletakkan dua potongan kunyit itu pada punggung tangannya sembari merapal doa. Ia juga menanyakan nama adikku. Lalu melempar dua potong kunyit itu kelantai. Satu potong kunyit yang bagian kulit terbuka menghadap ke atas--ia ambil dan lalu ia lumuri dengan kapur. Masih sembari merapal doa, ia gariskan kunyit berkapur itu pada kening, lengan dan kaki adik perempuanku.
Seketika kala menyaksikan itu, ingatanku yang tak berkaitan menampilkan dirimu yang tengah terbaring dalam peti mati. Kamu berbalut gaun indah. Meski sebelum itu kamu telah disuntik pengawet dan itu sungguh membenamkan pilu dalam diriku. Kenyataan bahwa kamu tak lekas dimakamkan dan harus melewati serangkaian prosesi yang asing bagiku, membuat seolah sebuah paku tengah dipalu di jantungku. Menyakitkan bahwa tak ada tiga hari, tujuh hari, atau empat puluh hari tahlil kematian untukmu. Padahal dahulu kita sempat mendebatkannya. Bahwa kemurnian ajaran yang kuyakini tak seharusnya menjadikan acara tahlilan semacam itu perlu digelar. Selalu ada sebagian yang setuju dan sebagian lagi tidak. Seperti juga kita yang pernah mendebat perihal tak ada kaitan antara natal dan sinterklas. Sehingga kamu mematik pertanyaan apakah sinterklas itu yang sebenarnya juru selamat?
Tapi pada akhirnya pahamlah kita bahwa segalanya adalah akulturasi, meski beberapa ajaran yang kita yakini ingin tetap pada kemurniannya tanpa tercampur ajaran lain. Kendati fakta lain mengatakan berbagai budaya yang kita kenal kini adalah percampuran dalam esensi lain, sehingga kita tak lagi bisa melihat batas yang jelas di antaranya. Seperti pengobatan pilis tradisional yang berkulturasi dengan seorangtua yang taat beribadah. Seperti tepung tawar dalam acara-acara adat dengan merapal doa-doa pujian pada tuhan dan nabi. Dalam beberapa istiadat tradisonal ajaran-ajaran agama yang kita yakini terikat kuat dan menjadi satu dan tak terpisahkan. Aku juga teringat kamu pernah bertanya, tentang apakah sia-sia kita yang hidup berdoa untuk yang mati? 

Dalam perjalanan pulang membawa adikku ke rumah. Sebuah kembang api kusaksikan mekar di udara. Kupikir itu sisa perayaan tahun baru dari mereka yang masih melek hingga sepagi ini. Aku mengingatmu dan aku berdoa, tepat ketika sisa asap kembang api itu hilang dalam udara. [*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran