Tulisan ini diikutsertakan
dalam
Story Telling Competition 27 Maret - 13 April 2017
yang diselenggarakan oleh Bank
Sumut.
Chrometophobia*
Oleh:
Muhammad Ikhsan
Sumber Gambar: Google |
Suara TV
menyala. Koran berserakan di atas meja. Juga seseorang yang seakan melamun
memandangi lembaran uang kertas berwarna biru dan merah bertebaran di lantai.
Ia
menyaksikan acara berita kriminal di TV. Ada begitu banyak kasus diberitakan
perihal masalah uang. Kasus pembunuhan, perampokan, penipuan, juga korupsi.
Baru-baru ini di dekat daerah tempat ia tinggal, satu keluarga di satu rumah
tewas mengenaskan. Simbahan darah memenuhi lantai keramik putih, membuat frame
di lantai rumah itu terlihat seperti bendera Negara. Kawanan perampok yang
tidak diketahui jumlahnya melakukan hal keji itu. Mencuri dan membunuh. Selama
tiga hari tidak ada tetangga yang tahu bahwa seluruh penghuni rumah telah
tewas. Keadaan menjadi mencekam saat hal itu diketahui oleh pengantar koran
yang curiga.
Betapa
mudah orang melakukan kejahatan karena uang. Koran pagi ini juga masih
memberitakan kasus kejahatan. Foto-foto kekerasan yang diburamkan di halaman
utama koran itu berjudul: “Lantaran Hutang, Seorang Kakak Tega Menganiaya Adik
Kandungnya”. Hal-hal teragis seperti
yang TV siarakan atau koran kabarkan itu memang sangat jauh darinya, ia berdoa
semoga tak akan pernah mengalaminya. Namun, setiap kali memikirkan bagaimana
orang-orang mudah membunuh karena uang membuat ia takut. Takut pada
orang-orang, takut pada uang.
Kendati
ia paham, segala yang ia kenakan, segala yang ia makan, segala yang ada padanya
kini akan bisa ia dapat jika ia memiliki uang. Uang adalah nilai tukar. Uang
yang mengakomodasi segala kebutuhan. Uang yang orang-orang cari dari pagi
hingga pagi. Namun, sungguh, ia tak ingin dikendalikan oleh karena ia
membutuhkan uang.
Lalu
ia dengar, penyakit busung lapar, kecurangan para lintah darat, subsidi yang
tak rata, juga kelaparan yang melanda para petani yang bahkan tak mampu membeli
beras yang mereka tanam. Lalu ia lihat di terotoar jalan, seorang nenek atau
kakek yang menadah tangan meminta selembar atau receh. Ia saksikan pengamen di
jalan, anak-anak kecil yang menjual air mineral di sekitaran lampu lalu lintas.
Ia
ingat tagihan listrik yang mesti dibayar, air, juga kuota internet di
ponselnya. Ia juga mesti ke pasar untuk membeli bahan pokok yang sudah habis.
Pakaian-pakaian di lemarinya telah banyak yang tidak lagi bisa dipakai, ia
mesti membeli beberapa untuk ia pakai bekerja. Ia jadi membayangkan berapa
banyak biaya yang telah ia habiskan sejak dari awal bernapas. Ia juga
membayangkan berapa lagi yang mesti ia keluarkan untuk rencana hidup
selanjutnya. Biaya pernikahan tentu tidak sedikit. Ia juga mesti membeli rumah
sebab masih mengontrak. Bagaimana jika nanti ia punya anak? Satu anak, dua
anak, tiga anak, ia memikirkan berapa banyak yang harus ia siapkan untuk itu
semua kendati semua yang ia pikirkan masihlah jauh dan belum terjadi.
Bagaimana
jika hidupnya tidak harus melewati fase-fase itu? Ia tidak mesti menyiapkan
banyak uang untuk rencana-rencana jangka pendek dan jangka panjang hidupnya.
Barangkali ia mati muda. Namun, seperti kehidupan, kematian pun memerlukan
biaya. Ia juga mesti mempersiapkan dana untuk pemakamannya. Dan baginya sungguh
ganjil membayangkan hal-hal semacam itu.
Kantornya
sedang mengalami penurunan keuntungan yang derastis. Bahkan telah ada
desas-desus beberapa karyawan mesti diberhentikan. Segala sesuatu dalam
hidupnya kini membuat ia ngeri pada uang
Ia
amati uang-uang yang berserakan di lantai. Gaji bulanannya yang baru ia terima.
Matanya seolah melihat keganjilan pada lembar-lembar itu. Seperti taring,
cakar, dan teriakan serupa makhluk buas keluar dari uang-uang itu. Badannya
mendadak menggigil, keringat memenuhi dahinya. Ia ingin membuang uang-uang itu.
Ia ingin menjauh, ingin bisa bebas tanpa mesti melihat uang. Tapi, apakah ia
bisa? Apakah ia mesti meninggalkan segalanya, dan hidup sebagai manusia purba?
Suara
ketukan membuat ia menoleh ke arah pintu. Seseorang memutar daun pintu dan
masuk. “Loh, kakak ngapain? Kok uang diserakkan begitu?”
“Ha?”
Sesaat ia bingung, lalu kesadarannya kembali setelah tahu adik perempuannya
datang. “Oh, kamu Indri, kakak mau beresin rumah, uang kakak jatuh.” Itu jelas
alasan yang kelis, tapi cukup untuk menyelamatkannya, daripada ia harus
mengatakan bahwa uang-uang itu baru saja menjelma makhluk-makhluk yang
mengerikan dan membuat adiknya merasa aneh.
“Kalau
kakak ada uang lebih sebaiknya ditabung saja.” Adiknya yang ia panggil Indri
itu masuk setelah melepas sandal. Berjalan mendekatinya, lalu meletakkan tas
yang dibawanya di atas meja.
“Iya,
kakak juga baru berencana mau menabung. Bisa temani kakak nanti ke bank?”
Adiknya
mengangguk sembari tersenyum.
Ia memang berpikir bahwa menyimpan
sebagian uangnya di bank adalah cara terbaik, daripada ketakutannya tentang
uang membuat ia berhalusinasi tentang uang-uang yang mendadak berubah menjadi
makhluk bertaring dan bercakar yang menyeramkan. [*]
Keterangan:
Cerita
707 kata
*Chrometophobia
adalah fobia terhadap uang. Berupa rasa takut dan kecemasan yang timbul secara
berlebihan karena terlalu banyak memikirkan tentang uang.
Cerita ini didukung oleh Bank Sumut.
#ayokebanksumut #banknyaorangsumut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar