11 April 2017

Chrometophobia



Tulisan ini diikutsertakan dalam 
Story Telling Competition 27 Maret - 13 April 2017
yang diselenggarakan oleh Bank Sumut.




Chrometophobia*
Oleh: Muhammad Ikhsan

Sumber Gambar: Google

Suara TV menyala. Koran berserakan di atas meja. Juga seseorang yang seakan melamun memandangi lembaran uang kertas berwarna biru dan merah bertebaran di lantai.
Ia menyaksikan acara berita kriminal di TV. Ada begitu banyak kasus diberitakan perihal masalah uang. Kasus pembunuhan, perampokan, penipuan, juga korupsi. Baru-baru ini di dekat daerah tempat ia tinggal, satu keluarga di satu rumah tewas mengenaskan. Simbahan darah memenuhi lantai keramik putih, membuat frame di lantai rumah itu terlihat seperti bendera Negara. Kawanan perampok yang tidak diketahui jumlahnya melakukan hal keji itu. Mencuri dan membunuh. Selama tiga hari tidak ada tetangga yang tahu bahwa seluruh penghuni rumah telah tewas. Keadaan menjadi mencekam saat hal itu diketahui oleh pengantar koran yang curiga.
Betapa mudah orang melakukan kejahatan karena uang. Koran pagi ini juga masih memberitakan kasus kejahatan. Foto-foto kekerasan yang diburamkan di halaman utama koran itu berjudul: “Lantaran Hutang, Seorang Kakak Tega Menganiaya Adik Kandungnya”.  Hal-hal teragis seperti yang TV siarakan atau koran kabarkan itu memang sangat jauh darinya, ia berdoa semoga tak akan pernah mengalaminya. Namun, setiap kali memikirkan bagaimana orang-orang mudah membunuh karena uang membuat ia takut. Takut pada orang-orang, takut pada uang.
Kendati ia paham, segala yang ia kenakan, segala yang ia makan, segala yang ada padanya kini akan bisa ia dapat jika ia memiliki uang. Uang adalah nilai tukar. Uang yang mengakomodasi segala kebutuhan. Uang yang orang-orang cari dari pagi hingga pagi. Namun, sungguh, ia tak ingin dikendalikan oleh karena ia membutuhkan uang.
Lalu ia dengar, penyakit busung lapar, kecurangan para lintah darat, subsidi yang tak rata, juga kelaparan yang melanda para petani yang bahkan tak mampu membeli beras yang mereka tanam. Lalu ia lihat di terotoar jalan, seorang nenek atau kakek yang menadah tangan meminta selembar atau receh. Ia saksikan pengamen di jalan, anak-anak kecil yang menjual air mineral di sekitaran lampu lalu lintas.
Ia ingat tagihan listrik yang mesti dibayar, air, juga kuota internet di ponselnya. Ia juga mesti ke pasar untuk membeli bahan pokok yang sudah habis. Pakaian-pakaian di lemarinya telah banyak yang tidak lagi bisa dipakai, ia mesti membeli beberapa untuk ia pakai bekerja. Ia jadi membayangkan berapa banyak biaya yang telah ia habiskan sejak dari awal bernapas. Ia juga membayangkan berapa lagi yang mesti ia keluarkan untuk rencana hidup selanjutnya. Biaya pernikahan tentu tidak sedikit. Ia juga mesti membeli rumah sebab masih mengontrak. Bagaimana jika nanti ia punya anak? Satu anak, dua anak, tiga anak, ia memikirkan berapa banyak yang harus ia siapkan untuk itu semua kendati semua yang ia pikirkan masihlah jauh dan belum terjadi.
Bagaimana jika hidupnya tidak harus melewati fase-fase itu? Ia tidak mesti menyiapkan banyak uang untuk rencana-rencana jangka pendek dan jangka panjang hidupnya. Barangkali ia mati muda. Namun, seperti kehidupan, kematian pun memerlukan biaya. Ia juga mesti mempersiapkan dana untuk pemakamannya. Dan baginya sungguh ganjil membayangkan hal-hal semacam itu.
Kantornya sedang mengalami penurunan keuntungan yang derastis. Bahkan telah ada desas-desus beberapa karyawan mesti diberhentikan. Segala sesuatu dalam hidupnya kini membuat ia ngeri pada uang
Ia amati uang-uang yang berserakan di lantai. Gaji bulanannya yang baru ia terima. Matanya seolah melihat keganjilan pada lembar-lembar itu. Seperti taring, cakar, dan teriakan serupa makhluk buas keluar dari uang-uang itu. Badannya mendadak menggigil, keringat memenuhi dahinya. Ia ingin membuang uang-uang itu. Ia ingin menjauh, ingin bisa bebas tanpa mesti melihat uang. Tapi, apakah ia bisa? Apakah ia mesti meninggalkan segalanya, dan hidup sebagai manusia purba?
Suara ketukan membuat ia menoleh ke arah pintu. Seseorang memutar daun pintu dan masuk. “Loh, kakak ngapain? Kok uang diserakkan begitu?”
“Ha?” Sesaat ia bingung, lalu kesadarannya kembali setelah tahu adik perempuannya datang. “Oh, kamu Indri, kakak mau beresin rumah, uang kakak jatuh.” Itu jelas alasan yang kelis, tapi cukup untuk menyelamatkannya, daripada ia harus mengatakan bahwa uang-uang itu baru saja menjelma makhluk-makhluk yang mengerikan dan membuat adiknya merasa aneh.
“Kalau kakak ada uang lebih sebaiknya ditabung saja.” Adiknya yang ia panggil Indri itu masuk setelah melepas sandal. Berjalan mendekatinya, lalu meletakkan tas yang dibawanya di atas meja.
“Iya, kakak juga baru berencana mau menabung. Bisa temani kakak nanti ke bank?”
Adiknya mengangguk sembari tersenyum.
Ia memang berpikir bahwa menyimpan sebagian uangnya di bank adalah cara terbaik, daripada ketakutannya tentang uang membuat ia berhalusinasi tentang uang-uang yang mendadak berubah menjadi makhluk bertaring dan bercakar yang menyeramkan. [*]

Keterangan:
Cerita 707 kata
*Chrometophobia adalah fobia terhadap uang. Berupa rasa takut dan kecemasan yang timbul secara berlebihan karena terlalu banyak memikirkan tentang uang.

Cerita ini didukung oleh Bank Sumut.
#ayokebanksumut #banknyaorangsumut



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran