8 Maret 2015

A-Y-A-H


Untuk
A.G.F, A.R.F & R.F.M

Setiap kali kudengar lagu bertemakan sosok Ayah, aku tak pernah merasa bahagia, sedih, atau kagum. Yang kurasakan selalu sama: kosong.
            Dan itu berlaku hingga detik ini.
         Bahkan saat dia yang kusebut Ayah itu berbaring tak berdaya di tempat tidur. Kulitnya semakin kisut, daging-dagingnya semakin mengkerut, dia yang dulu muda tak lagi miliki daya. Segala yang telah ada padanya sedikit demi sedikit terambil. Mungkin memang sudah saatnya, hidupnya harus berakhir. Namun, ada sesuatu menghalangi itu. Matinya menjadi sulit.
            Lihatlah kilas dirimu Ayah, kau yang muda kini menua. Kau menjadi anak-anak dalam tubuh yang dewasa, sebab berak pun kau sudah tak sanggup sendiri. Makanmu kini bubur, sebab rahangmu tak sanggup lagi mengunyah. Matamu tiada lagi jernih, segala yang ada padamu telah menjadi keruh. Kecuali, ada yang tak pernah berubah: wajahmu yang tetap nampak sangar. Juga rambutmu yang sejak dulu sudah keperakan. Dahulu kau senang bergaya, tak alpa memakai kimia di kepala, agar dilirik banyak wanita. Itu kuketahui dari Ibu, seorang wanita yang menikah denganmu kemudian ia melahirkan aku.
            Tenang Ayah, aku tidak sedang menghardikmu. Aku sedang mengingat kenangan manis yang dulu pernah kauberikan pada anakmu ini: makian, pukulan, dendam, dan sumpah serapah. Aku tak akan lupa, begitu pula dengan keadilan yang kaumiliki, kau pun bagi kenangan manis itu dengan wanita yang mencintaimu: ibuku.
            Jasadmu yang kasad mata sulit sekali melepaskan ruhnya. Apakah kauterlalu mencintai hidup? Sehingga tak ingin mati? Ya, aku ingat bagaimana kaumenikmati hidup. Sangking menikmatinya sampai membuatmu rajin pulang subuh. Ibuku kerap menungguimu pulang di ruang tamu, ia yang tengah mengandung diriku kerap ketiduran di sofa yang tak nyaman itu. Namun, selalu yang didapatnya bukanlah oleh-oleh (atau paling tidak ucapan salam) tetapi, dirimu yang merancau-rancau dalam keadaan mabuk. Dulu warisan buatmu berlimpah, uang tak sulit kaucari. Makanya enak saja kauhamburkan di atas meja judi, di botol-botol bir, di bibir-bibir perempuan jalang. Betapa kausangat menikmati dunia ini. Jasadmu yang sudah nyaman tidak ingin pisah dari kehidupan, sebab itu ia menyangkal kematian. Namun jasad tidak abadi, ada efek samping jika ia melawan arus: jasadmu berpenyakit.
            Tapi tenang Ayah, aku akan menolongmu. Seperti kaujuga pernah menolongku. Kauingat? Ketika usiaku masih sangat belia. Ketika aku terkena demam, malaria, juga lumeran cacar? Kau memberikanku pengobatan: racun agar aku lekas mati. Sebab kaurimas melihat aku yang penyakitan. Aku sudah lama belajar, Ayah. Ilmu kedokteranku telah cukup untuk menyembuhkan orang. Meski saat kutempuh pendidikan, kau mengutukiku sebab kaulelah menyekolahkan aku (buat apa punya keturunan, jika enggan mengurusnya?) pun berulang kali kau campakkan buku-buku yang kubeli dari hasil menabung.
            “Ayahmu inginkan anak perempuan, tetapi Ibu sudah tak bisa lagi melahirkan.” Begitu Ibu menjelaskan. Betapa dulu yang kurasakan teramat getir, Ayah. Seperti tergigit biji duku dan tak sengaja menelannya. Berkatmu pula jadi tak kusukai figur ayah. Bahkan aku tak ingin menjadi seorang ayah. Namun, aku pria, sudah kodratku menjadi seorang ayah (adakah cara lain?).
            Maka aku memilih laki-laki, sebab dengan laki-laki aku tak akan menjadi seorang ayah.
               Tahukah engak Ayah. Bahwa berkat dirimu sukses kujalani terapi macam itu. Setiap saat aku dihantui oleh kata "ayah". Dan sungguh ganjil sebab aku memanggilmu ayah. A-yah. A-Y-A-H. Grafem apa itu? Fonem macam apa itu? Adakah ia harus memiliki arti? Ayah, Bapak, kenapa harus kupanggil kau dengan sebutan itu? Apakah sebab aku anakmu? Tapi mengapa kauenggan memanggil aku anakmu, jika benar ada hukum keturunan sebab kau Ayahku. Ayah, Bapak, apa yang membuatnya berarti? Mengapa tak kupanggil engkau dengfan sebutan lain? Semisal “bro” yang ngetren dikalangan remaja. Atau Dere, Torto, Coro, atau mungkin Perkedel? 
               Ibu. Aku lebih suka Ibu ketimbang Ayah. Mungkin sebab Ibu pun rasakan hal yang sama denganku.
            Debar jantungku tak pernah setabil kala memandangimu. Mungkin sebab aku telah terlatih sering kaukejutkan. Dengan bentakan, dengan makian, dengan pukulan. Kau sering berkata “keturunan sialan”, “anak asu”, “anak setan”. Wahai Ayah, siapakah yang sebenarnya sialan, asu, dan setan itu? Bukankah aku berasal darimu, maka tidakkah lebih pantas jika sebutan itu ditujuan untukmu, kenapa harus aku?
            Berulangkali kupikirkan itu di gerbong kereta, Ayah. Bersama aroma perjalanan di antara rel, asap, dan ruang tunggu. Ritme gerit roda pada sambungan rel yang melambat membuatku terjaga. Berbarengan dengan kenangan indah tentangmu.
            Ketidakadilan hidup kerap membuatmu murka. Dulu kaumasih sanggup murka sebab kehidupan dalam jasadmu setia melindungimu dari kematian. Di rumah kauselalu berteriak (aku selalu bertanya-tanya pada siapa terikaan itu kautujukan?) Mungkin pada keadaan, pada nasib, atau pada diriMU sendiri? Sebab kenangan itu pula, Ayah, sejak kecil mengajariku bahwa lebih baik tak menjadi ayah.
            Berkatmu pula, aku mendapatkan seorang teman spesial. Teman ketika aku sedang sedih, teman yang akan membalut lukaku setelah dipukuli olehmu. Dia seorang wanita, Ayah. Jiwanya lembut, matanya meneduhkan, ia pintar bernyanyi (kerap ia menghiburku kalau aku menangis) Aku lupa sejak kapan kami bersahabat. Seperti aku lupa kapan pertama kali aku ingat berkenalan dengannya. Tahu-tahu dia telah hadir dalam setiap sedu-sedanku. Ia ada ketika kubutuhkan. Selalu di saat yang tepat. Ia kerap berada di sisiku dengan setelan gaun putih selutut. Rambutnya hitam panjang dan wangi, bibirnya ranum kemerahan, dan jika ia tersenyum aku bisa lupa pada dunia.
            Lambat laun, aku jadi mencintainya, Ayah. Kucintai ia seperti kucintai diriku sendiri, dan aku tak mungkin pisah dengan diri sendiri. Namun, aku tahu, Ayah. Dia telah lama ada dalam diriku. Perempuan manis itu telah ada dalam jiwaku, sebab itu aku tak perlu lagi perempuan, sebab ia saja sudah cukup bagiku. Tetapi Ayah, perempuan dalam diriku tak cukup dengan satu pria. Itu alasannya kucari peria lain, agar memuaskannya (aku bahagia melihat ia tercukupi). Terima kasih Ayah, sebab engkau aku telah mengenalnya.
            Dan kau pun harus berterima kasih padanya. Sebab jika bukan karena dia, aku tak akan datang, tak akan pulang menemuimu. Ia yang membujukku agar kembali pulang. Padahal ia tahu, aku tak ingin lagi pulang. Ia tahu sebabmulah aku membenci rumah. Namun bersih keras ia memaksaku pulang. Itu sebabnya kuambil perjalanan pada kereta malam. Berulangkali kupikirkan tentangmu dalam gerobong kereta. Bersama aroma perjalanan di antara rel, asap, dan ruang tunggu. Ritme gerit roda pada sambungan rel yang melambat membuatku terjaga. Berbarengan dengan kenangan indah tentangmu.
            Dari jendela kaca kereta, goresan cahaya berpendar dalam serat-serat masa lampau (suasana stasiun yang khas). Hiruk-pikuk para penumpang tak sanggup mengupas ingatan kapan terakhir kali aku di sini. Setahuku dulu, stasiun ini yang membawaku kabur dari rumah. Namun kini, stasiun ini pula yang menjadi mediumku pulang.
Untuk menemuimu, Ayah.
Untuk melihat engkau yang kini sekarat.

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran