Untuk
A.G.F, A.R.F & R.F.M
Setiap
kali kudengar lagu bertemakan sosok Ayah, aku tak pernah merasa bahagia, sedih,
atau kagum. Yang kurasakan selalu sama: kosong.
Dan itu berlaku hingga detik ini.
Bahkan saat dia yang kusebut Ayah
itu berbaring tak berdaya di tempat tidur. Kulitnya semakin kisut,
daging-dagingnya semakin mengkerut, dia yang dulu muda tak lagi miliki daya.
Segala yang telah ada padanya sedikit demi sedikit terambil. Mungkin memang
sudah saatnya, hidupnya harus berakhir. Namun, ada sesuatu menghalangi itu.
Matinya menjadi sulit.
Lihatlah kilas dirimu Ayah,
kau yang muda kini menua. Kau menjadi anak-anak dalam tubuh yang dewasa, sebab
berak pun kau sudah tak sanggup sendiri. Makanmu kini bubur, sebab rahangmu tak
sanggup lagi mengunyah. Matamu tiada lagi jernih, segala yang ada padamu telah
menjadi keruh. Kecuali, ada yang tak pernah berubah: wajahmu yang tetap nampak
sangar. Juga rambutmu yang sejak dulu sudah keperakan. Dahulu kau senang
bergaya, tak alpa memakai kimia di kepala, agar dilirik banyak wanita. Itu
kuketahui dari Ibu, seorang wanita yang menikah denganmu kemudian ia melahirkan
aku.
Tenang Ayah, aku tidak sedang menghardikmu.
Aku sedang mengingat kenangan manis yang dulu pernah kauberikan pada anakmu
ini: makian, pukulan, dendam, dan sumpah serapah. Aku tak akan lupa, begitu
pula dengan keadilan yang kaumiliki, kau pun bagi kenangan manis itu dengan
wanita yang mencintaimu: ibuku.
Jasadmu yang kasad mata sulit sekali
melepaskan ruhnya. Apakah kauterlalu mencintai hidup? Sehingga tak ingin mati?
Ya, aku ingat bagaimana kaumenikmati hidup. Sangking menikmatinya sampai
membuatmu rajin pulang subuh. Ibuku kerap menungguimu pulang di ruang tamu, ia
yang tengah mengandung diriku kerap ketiduran di sofa yang tak nyaman itu.
Namun, selalu yang didapatnya bukanlah oleh-oleh (atau paling tidak ucapan
salam) tetapi, dirimu yang merancau-rancau dalam keadaan mabuk. Dulu warisan
buatmu berlimpah, uang tak sulit kaucari. Makanya enak saja kauhamburkan di
atas meja judi, di botol-botol bir, di bibir-bibir perempuan jalang. Betapa
kausangat menikmati dunia ini. Jasadmu yang sudah nyaman tidak ingin pisah dari
kehidupan, sebab itu ia menyangkal kematian. Namun jasad tidak abadi, ada efek
samping jika ia melawan arus: jasadmu berpenyakit.
Tapi tenang Ayah, aku akan
menolongmu. Seperti kaujuga pernah menolongku. Kauingat? Ketika usiaku masih
sangat belia. Ketika aku terkena demam, malaria, juga lumeran cacar? Kau
memberikanku pengobatan: racun agar aku lekas mati. Sebab kaurimas melihat aku
yang penyakitan. Aku sudah lama belajar, Ayah. Ilmu kedokteranku telah cukup
untuk menyembuhkan orang. Meski saat kutempuh pendidikan, kau mengutukiku sebab
kaulelah menyekolahkan aku (buat apa punya keturunan, jika enggan mengurusnya?)
pun berulang kali kau campakkan buku-buku yang kubeli dari hasil menabung.
“Ayahmu inginkan anak perempuan,
tetapi Ibu sudah tak bisa lagi melahirkan.” Begitu Ibu menjelaskan. Betapa dulu
yang kurasakan teramat getir, Ayah. Seperti tergigit biji duku dan tak sengaja
menelannya. Berkatmu pula jadi tak kusukai figur ayah. Bahkan aku tak ingin menjadi seorang ayah. Namun, aku pria, sudah kodratku menjadi seorang ayah (adakah
cara lain?).
Maka aku memilih laki-laki, sebab
dengan laki-laki aku tak akan menjadi seorang ayah.
Tahukah engak Ayah. Bahwa berkat
dirimu sukses kujalani terapi macam itu. Setiap saat aku dihantui oleh kata "ayah". Dan sungguh ganjil sebab aku memanggilmu ayah. A-yah. A-Y-A-H. Grafem apa
itu? Fonem macam apa itu? Adakah ia harus memiliki arti? Ayah, Bapak, kenapa
harus kupanggil kau dengan sebutan itu? Apakah sebab aku anakmu? Tapi mengapa
kauenggan memanggil aku anakmu, jika benar ada hukum keturunan sebab kau
Ayahku. Ayah, Bapak, apa yang membuatnya berarti? Mengapa tak kupanggil engkau
dengfan sebutan lain? Semisal “bro” yang ngetren dikalangan remaja. Atau Dere,
Torto, Coro, atau mungkin Perkedel?
Ibu. Aku lebih suka Ibu ketimbang Ayah. Mungkin sebab Ibu pun rasakan hal yang sama denganku.
Ibu. Aku lebih suka Ibu ketimbang Ayah. Mungkin sebab Ibu pun rasakan hal yang sama denganku.
Debar jantungku tak pernah setabil
kala memandangimu. Mungkin sebab aku telah terlatih sering kaukejutkan. Dengan
bentakan, dengan makian, dengan pukulan. Kau sering berkata “keturunan sialan”,
“anak asu”, “anak setan”. Wahai Ayah, siapakah yang sebenarnya sialan, asu, dan
setan itu? Bukankah aku berasal darimu, maka tidakkah lebih pantas jika sebutan
itu ditujuan untukmu, kenapa harus aku?
Berulangkali kupikirkan itu di
gerbong kereta, Ayah. Bersama aroma perjalanan di antara rel, asap, dan ruang
tunggu. Ritme gerit roda pada sambungan rel yang melambat membuatku terjaga.
Berbarengan dengan kenangan indah tentangmu.
Ketidakadilan hidup kerap membuatmu
murka. Dulu kaumasih sanggup murka sebab kehidupan dalam jasadmu setia
melindungimu dari kematian. Di rumah kauselalu berteriak (aku selalu
bertanya-tanya pada siapa terikaan itu kautujukan?) Mungkin pada keadaan, pada
nasib, atau pada diriMU sendiri? Sebab kenangan itu pula, Ayah, sejak kecil
mengajariku bahwa lebih baik tak menjadi ayah.
Berkatmu pula, aku mendapatkan
seorang teman spesial. Teman ketika aku sedang sedih, teman yang akan membalut
lukaku setelah dipukuli olehmu. Dia seorang wanita, Ayah. Jiwanya lembut, matanya
meneduhkan, ia pintar bernyanyi (kerap ia menghiburku kalau aku menangis) Aku
lupa sejak kapan kami bersahabat. Seperti aku lupa kapan pertama kali aku ingat
berkenalan dengannya. Tahu-tahu dia telah hadir dalam setiap sedu-sedanku. Ia
ada ketika kubutuhkan. Selalu di saat yang tepat. Ia kerap berada di sisiku
dengan setelan gaun putih selutut. Rambutnya hitam panjang dan wangi, bibirnya
ranum kemerahan, dan jika ia tersenyum aku bisa lupa pada dunia.
Lambat laun, aku jadi mencintainya,
Ayah. Kucintai ia seperti kucintai diriku sendiri, dan aku tak mungkin pisah
dengan diri sendiri. Namun, aku tahu, Ayah. Dia telah lama ada dalam diriku.
Perempuan manis itu telah ada dalam jiwaku, sebab itu aku tak perlu lagi
perempuan, sebab ia saja sudah cukup bagiku. Tetapi Ayah, perempuan dalam
diriku tak cukup dengan satu pria. Itu alasannya kucari peria lain, agar
memuaskannya (aku bahagia melihat ia tercukupi). Terima kasih Ayah, sebab
engkau aku telah mengenalnya.
Dan kau pun harus berterima kasih
padanya. Sebab jika bukan karena dia, aku tak akan datang, tak akan pulang
menemuimu. Ia yang membujukku agar kembali pulang. Padahal ia tahu, aku tak
ingin lagi pulang. Ia tahu sebabmulah aku membenci rumah. Namun bersih keras ia
memaksaku pulang. Itu sebabnya kuambil perjalanan pada kereta malam. Berulangkali kupikirkan tentangmu dalam gerobong kereta. Bersama aroma
perjalanan di antara rel, asap, dan ruang tunggu. Ritme gerit roda pada
sambungan rel yang melambat membuatku terjaga. Berbarengan dengan kenangan
indah tentangmu.
Dari jendela kaca kereta, goresan cahaya berpendar dalam
serat-serat masa lampau (suasana stasiun yang khas). Hiruk-pikuk para penumpang
tak sanggup mengupas ingatan kapan terakhir kali aku di sini. Setahuku dulu,
stasiun ini yang membawaku kabur dari rumah. Namun kini, stasiun ini pula yang
menjadi mediumku pulang.
Untuk
menemuimu, Ayah.
Untuk
melihat engkau yang kini sekarat.