8 November 2015

Cinta Kasih? Cinta Diri?

Hai, ini aku.... Datang lagi dengan pengakuan yang mungkin bagimu menggelikan. Ini adalah ciri khasku untuk berbicara tentang diriku sendiri, berbicara dengan diriku sendiri. Aku minta maaf, jika beberapa isi di dalamnya membuat engkau menjadi tidak nyaman. Engkau pernah menjulukiku manusia dengan "Barometer Kesensitifan" tingkat tinggi, sedikit saja aku diberi aksi, maka jarum kontrolku akan naik bekali-kali lipat. Aku setuju walau tak kuyakini 100%. Pada dasarnya aku pun tidak mengerti seperti apa aku yang sebenarnya. Aku menggali diriku dengan melihat yang lain, coba kupahami polaku dengan kupahami pola yang lain.

Terhitung sudah 2 tahun sejak pertama kali aku berusaha memahami polamu. Cara engkau berpikir,  cara engkau menentukan sikap, cara engkau menatap dunia, juga cara engkau mencari makna. Kuhabiskan tiap detik, menit, dan jamku untuk lakukan itu. Ternyata tidak mudah, di beberapa keadaan aku lupa diri. Kadang aku seperti terlalu memaksa, meyakinkan diri jika setiap tanda yang ada adalah penunjuk bahwa kita sewarna. Segala keserupaan yang tampak kuanggap sebagai peta bahwa kita punya arah dan kompas yang sama. Aku berpikir dapat nikmati kesunyian denganmu, aku berharap dapat makna sepi tidak lagi hanya hitam-putih--denganmu. Apakah telah kutempuh jalan yang salah? Sebab kini aku seperti kehilangan diriku, aku berputar-putar mengelilingi engkau hingga lupa arahku sendiri. Kini aku infantil.

Banyak orang yang menyukaimu, menurutku bukan semata-mata karena fisik yang engkau miliki. Aku menyebutnya "Kekayaan Jiwa". Kita semua punya itu, tapi hanya sebagian kecil yang mampu menampakkannya tanpa memaksa. Sadar atau tidak dengan keluguanmu, kau telah tunjukkan kekayaan jiwa itu tanpa pretensi, tanpa doktrin, tanpa dogma, ia mengalir....terjun dari atas ke bawah, bergerak mengikuti arus yang apa adanya, dari hulu ke hilir hingga menetap di muara batin orang-orang yang berada di sekitarmu. Apa aku berlebihan? Mungkin. Aku sekadar mencoba jujur.

Hal-hal sepele darimu mampu membuat aku terkejut. Ternyata orang dengan tubuh seperti engkau bisa pingsan juga. Ternyata manusia se-elegan engkau kala bersikap, punya malu yang mencolok. Ternyata engkau yang pendiam punya gelagat humoris, dari hidup yang kaujalani beberapa hal coba kaupuitisi. Kutemukan pujangga yang ternyata serupa embun, begitu rapuh saat disentuh. Pujangga itu ada dalam diri seseorang yang kusangka sangar, berwatak keras, nyatanya dialah yang paling bawa perasaan. Dalam larik batinnya ada jiwa yang begitu sunyi, kemisteriusannya hadir dari diam yang setia dia pajang. Diam yang kadang menipu, diam yang sukar dimaknai, diam yang menjebak. Apa aku tampak jadi sok tahu? Tenang, ini sekadar dugaan konyolku. Sebab sesungguhnya aku tak pernah benar-benar mengenal engkau.

Sekarang coba pahami ini. Karena tak pernah benar-benar kukenali engkau, aku menjadi seorang yang pencemburu. Aku cemburu dengan orang asing sepertimu, orang asing terakrab yang sejauh ini pernah kutemukan. Aku cemburu saat kau berjalan, aku cemburu saat kaugerakkan tangan, aku cemburu saat kau diam, aku cemburu dengan apa yang kau pandang, aku cemburu pada mereka yang dapat lebih perhatianmu, aku cemburu pada buku saku yang kau punya, aku cemburu pada pena yang kaugunakan untuk menulis, aku cemburu pada pemikiranmu, aku cemburu pada hela nafasmu, aku cemburu pada pakaian yang kaupakai, aku cemburu pada angin yang bergerak ke arahmu, aku cemburu pada tanah yang kaupijak, pada kendaraan yang kaunaiki, pada orang-orang yang kausebut namanya, pada mereka yang kau kagumi. Aku cemburu; pada ponselmu, pada jam tanganmu, pada tas punggungmu, pada sepatumu, pada jalan setapak yang kaulalui, pada mereka yang kausukai, pada mereka yang kaucintai, pada mereka yang kauidolakan, pada mereka yang kaubenci, pada mereka yang ingin kaudekati, pada mereka yang ingin kaujauhi. Aku cemburu; pada cita-citamu, pada pengharapanmu, pada rindumu, pada kesungguhanmu, pada tangismu, pada marahmu, pada dukamu, pada bahagiamu, pada syukurmu, pada doamu, pada pemilikMu!

Sudah! 

Aku bisa kehabisan nafas jika terus kulanjutkan. Saat menuliskan ini aku menangis, lihat! aku cemburu pada diriku yang bisa-bisanya menangis sebab menulis pengakuan tentangmu. Sialan!

Kusadari, aku semakin terjerembab dalam lubang yang kugali sendiri. Semakin lama engkau semakin menjelma makna yang baru, engkau yang baru sedang aku semakin usang. Apa aku berlebihan? Mungkin. Aku hanya mencoba untuk jujur. Tapi apa kejujuran itu? Adakah waktu yang tepat untuk kita jujur?

Kulakukan apa pun agar dapat perhatianmu. Segalanya hanya agar kauterkesan. Agar cuma aku yang kaucari, agar cuma aku yang kau mintai pertolongan. Agar aku pun kau cemburui. Segalanya sia-sia. Bodoh sekali aku. Apa yang kucari padamu pun aku tak tahu. Apakah aku ini penting? Patut diperhitungkan? Adakah aku dalam apa yang kautulis, seperti saat ini kau ada dalam apa yang kutulis? Setiap hari aku berdoa untuk dapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi kian lama, doaku terasa imitasi. Aku tak temukan jawaban, malah yang kudapat adalah pertanyaan baru yang lebih rumit. Seperti, perasaan apa yang sebenarnya kupunya untukmu?

Semula kupikir ini adalah Cinta Kasih. Pelan-pelan aku sadar, bahwa cintaku terhadap engkau adalah egoisme. Tanpa kautahu, kau telah beri aku kenyamanan. Sebab nyaman itu aku ingin menguasai engkau. Sebab aku terlalu menginginkan, aku menjadi tergantung pada engkau (mungkin sebab itu pula aku cemburu). Ketergantungan itu membuat aku takut kehilangan. Dan kini aku didera kecemasan. Mungkin aku bukan menyayangimu. Rasa cinta yang kupunya padamu telah memupuk kekhawatiran, kini kurasakan kesakitan. Atas kesadaran-kesadaran itu aku berusaha untuk belajar agar tidak nelangsa saat kita memang harus berpisah. Jika aku berhasil, itu adalah suatu keajaiaban. Tetapi bukanlah keajaiban yang indah. Bukan keajaiaban yang puitis, melainkan keajaiaban yang plagmatis. Aku mencintaimu sebab aku mencintai diriku, sendiri. Bukan karena cinta kasih tapi Cinta Diri.

Ketahuilah, pahami ini, ada cinta di mana kita tidak bisa menyentuh. Serupa ketika kau mengantarku pulang, kau berlalu membawa nyaman itu. Hampir setengah hari. Setiap kali seperti ini--di dekat engkau ada sedikit atau malah banyak cemburu yang aneh. 

Adakah kau sama rasakan atau hanya aku yang disiksa sendirian?




Teruntuk... Hhmmm, apakah kau harus kusebut:
#RFM #FMR # ZZZ #ZQS? #TPL? Atau #$%@^&%&%$? 

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran