Di hari yang telah
ditentukan dua cahaya turun menyinggahi sebuah rumah. Alangkah terang cahaya
itu dan tak mungkin mereka langsung menampakkan wujud yang mata pun tak sanggup
menatapnya. Pada keduanya jelma menjadi sosok yang kasat mata. Kedua cahaya serapi
apa pun disembunyikan tetap tak dapat tutupi kilaunya.
Mereka datang, mengetuk
pintu. Manusia terpilih menyambut. Ada rasa bahagia, tapi ada pula gusar dan
khawatir. Kedua tamu ini istimewa. Mereka mestilah dijamu dengan jamuan
terbaik. Dan paling penting, tak ada yang boleh mengganggu. Sebab pesan dari
keduanya akan menentukan bagaimana kisah ini berakhir. Namun, lantaran cahaya
yang terang kendati telah jelma dua sosok--kedatangan keduanya memancing
keingintahuan banyak orang. Cahaya telah membangkitkan hasrat. Hasrat? Bisakah
kita hanya digerakkan olehnya? Bisakah beberapa saat saja
kita terlupa. Siapa engkau, siapa aku. Siapa siang. Siapa malam. Bisakah kita
tak perlu memakai nama? Bisakah kita tanggalkan segala identitas pada tubuh
ini. Dan hanya bergerak mengikuti hasrat. Bisakah?
Sang
pemilik rumah menghalangi. Orang-orang begitu memaksa. Bahkan pintu berniat
dirobohkan. Tuan rumah memberi penawaran. Mengorbankan anak perempuannya
sebagai pengganti. Betapa berharganya kedua tamu itu, sebab anaknya sendiri
rela dia jadikan pengganti. Orang-orang tak peduli, mereka inginkan yang
sempurna, setiap kita ingin yang sempurna.
Lalu kita semua tahu bagaimana kisah ini berakhir.
Lalu kita semua tahu bagaimana kisah ini berakhir.
Dalam
literatur kitab-kitab suci, kita dapat menjumpai kisah kaum Sadum-Gomorrah.
Nama Nabi Luth disebut 27 kali dalam Al-Quran. Lebih detail silahkan buka
Al-Qurannya masing-masing. Pun di Alkitab ada pada Roma 1: 26-27 juga di
Genesis atau Kejadian 19.
Ditinjau
dari beberapa agama peraktik LGBT jelas dilarang. Dalam perspektif fikih sikap
islam menaggapi masalah Homoseksual dan Lesbian pun jelas melarang. Tapi itu
dari aspek agama, sebab ada pula yang tak beragama. Yang tak beragama sudah
tentu tak lantas percaya. Bagi saya sendiri, agama adalah dasar. Tempat
berpijak, landasan hidup. Tapi tak salah pula jika kita bersikap terbuka untuk
yang lain kan? Tak lain agar kita tak memiliki pemikiran sempit dari satu sudut
pandang saja.
Kalau
berbicara tentang budaya, budaya dari manakah LGBT itu? Eropa? Banyak yang menyangka
demikian. Tapi mari kita lihat budaya di Indonesia. Dari beragam sumber yang
saya telusuri, praktik LGBT atau yang menyerupai, ternyata ada dalam budaya
Indonesia. Sebuah hubungan homoseksual tradisional
tertentu ada didapati di Jawa Timur dalam hubungan
Warok-Gemblak. Warok adalah pahlawan lokal tradisional Jawa atau
"orang kuat" yang biasanya melakukan kesenian tradisional Reog
Ponorogo. Menurut tradisi, warok diwajibkan untuk melakukan pantangan, ia
dilarang untuk terlibat dalam hubungan seksual dengan perempuan, namun
berhubungan seks dengan laki-laki yang berusia 8 sampai dengan 15 tahun
diperbolehkan. "Kekasih muda" disebut gemblak dan biasanya disimpan
oleh warok dalam rumah tangga mereka di bawah perjanjian dan kompensasi kepada
keluarga anak itu. Warok dapat menikah dengan seorang wanita sebagai istri
mereka, tetapi mereka mungkin tetap memiliki gemblak. Hal ini menyebabkan
hubungan Warok-Gemblakan mirip dengan tradisi perjantanan di Yunani kuno. Siapa
saja yang mengenal cara hidup tradisional di Ponorogo, tahu bahwa ada pria yang
lebih tua yang disebut warok, tidak berhubungan seks dengan istri-istri mereka,
tetapi berhubungan seks dengan anak laki-laki yang lebih muda. Mungkin yang
dilakukan warok dan gemblak adalah tindakan homoseksual, namun mereka tidak
pernah mengidentifikasi diri mereka sebagai seorang homoseksual.
Kini praktek Warok-gemblakan tidak disarankan oleh pemuka
agama setempat dan ditentang melalui perlawanan moral publik. Karena hal
itulah, sekarang pagelaran Reog Ponorogo jarang sekali menampilkan gemblak,
anak laki-laki tampan, sebagai penunggang kuda Jatil, peran mereka digantikan
oleh anak perempuan. Meskipun mungkin saat ini praktek warok-gemblakan ini
masih ada dan dilakukan secara diam-diam.
Tidak hanya Warok-Gemblak tetapi ada juga beberapa budaya yang mendukung Homoseksualitas pada ratusan tahun yang lalu seperti Bissu, Calabai dan Calalai, serta Ritual inseminasi anak laki-laki Papua. Dari sana saja bisa kita ambil kesimpulan, bukan cuma berasal dari Eropa atau barat, LGBT ternyata terimplikasi dalam budaya lokal di Indonesia. Mengerikan? Mungkin.
Tidak hanya Warok-Gemblak tetapi ada juga beberapa budaya yang mendukung Homoseksualitas pada ratusan tahun yang lalu seperti Bissu, Calabai dan Calalai, serta Ritual inseminasi anak laki-laki Papua. Dari sana saja bisa kita ambil kesimpulan, bukan cuma berasal dari Eropa atau barat, LGBT ternyata terimplikasi dalam budaya lokal di Indonesia. Mengerikan? Mungkin.
Tapi dari sini budaya pun bisa rancu. Tak ditutup kemungkinan
tak ada yang benar-benar asli dari kebudayaan itu. Bisa saja antar kebudayaan
saling mempengaruhi. Atau saling comot-mencomot. Bisa pula suatu kebudayaan
bertahan dengan bentuk aslinya, atau malah berubah sesuai zaman. Sekali lagi dari
sini budaya pun bisa rancu.
Sedang dari segi Medis, ada isu kalau para
pengususng lambang Pelangi--LGBT itu bisa menular. Menular dari mana? Gaya hidup,
pergaulan, atau persetubuhannya? Lagi-lagi dari sumber yang saya cari, pada
dasarnya setiap janin berkelamin perempuan. Masuk masa 8 minggu, janin
berkembang dan melalui berapa factor dan proses janin itu bisa tumbuh berjenis
kelamin laki-laki. Dikatakan pula kecenderungan orientasi seks seseorang telah
ditentukan dalam sistem atau struktur dalam otaknya sendiri. Dan di sinilah
kita diuji untuk bagaimana bersikap atas itu. Mereka yang bisa menjadi LGBT
cenderung telah memiliki “bakat” itu di dalam struktur otaknya. “Bakat” tadi dapat
tergunakan, digunakan, atau tidak sama sekali. Jika sudah punya “bakat”
Homoseksual, terus bergaul dengan para Homoseksual, jadilah dia pribadi yang
benar-benar Homoseksual. Nah, di sini dituntut si pemilik “bakat” bersikap atas
“bakat” yang ada dalam struktur otaknya.
Kita semua tahu, segalanya telah Dia
tentukan. Dia memberikan hidayah pada siapa yang dikehendakinya, memberi musibah
pada siapa juga yang dikehendakinya. Saya meyakini segalanya telah menjadi
ketetapan sang pencipta. Hidup itu adalah memilih—pilihan, Dalam rukun iman ke
6 kita diharuskan mempercayai bahawa segala yang
berlaku adalah ketentuan-Nya semata.
Hidup adalah menjalani ketetapan yang telah ditetapkan. Jadi, masih kah itu
sebuah pilihan jika sesungguhnya itu adalah ketetapan? Kita mengambil pilihan
dari apa yang sudah ditetapkan? Sejatinya kita tak memilih, kita dipilihkan?
Dari sedikit pemaparan di atas, ada
beberapa pertanyaan mengganjal dalam kepala saya. Yang kit abaca dan ketahui
kisah kaum Sadom dan Gomorroh, mengisahkan jika kaum tersebut memaksa Nabi
Luth untuk menyerahkan tamunya. Di sana ada unsur pemaksaan. Nah, bagaimana
jika kasusnya suka sama suka? Bagaimana kalau keduanya rela melakukan itu tanpa
unsur paksaan? Tapi tetap saya ambil sikap, bahwa perbuatan yang terwujud dari
hal tersebut adalah kekejian.
Dari segi budaya ternyata peraktik
LGBT ada dalam beberapa budaya Indonesia. Dari medis pula mengatakan bahwa
orintasi seksual seseorang telah ditentukan dalam struktur otaknya, alam bawah
sadarnya. Tidak pula dapat dikatakan penyakit. Namun, dari sini saya berpikir ke arah yang lebih jauh. Soal berkomitmen, katakanlah menikah. Mau seperti apa masa
depan pernikahan dari pasangan gay atau lesbi? Sungguh, otak saya yang kecil
ini tak mampu membayangkannya. Siapa yang akan memerankan peran suami/istri?
Yang itu bukan lagi bahasan budaya tapi lebih dari itu “kodrat”. Lantas masalah
berketurunan? Jelas mereka tidak bisa melakukannya, sel telur butuh sel sperma
untuk dibuahi. Sel sperma dengan sel sperma, apa yang mau dibuahinya? Tentu
demi mencapai cita-cita berketurunan para pasangan LGBT ini akan menempuh cara
lain. Teknologi jadi alternatifnya. Sel sperma dan sel telur memang dapat
dibuahi dengan berbagai macam metode. Bisa comot benih dari sana-sini, Bayi
Tabung kah? Atau Kloning? Adakah masalah dengan itu? Jelas bagi saya itu
masalah! Kita juga tahu apa dampak kloning bagi kelangsungan hidup manusia. Dari
salah satu cabang ilmu Filsafat, Aksiologi, Kloning belum dapat diterima
sepenuhnya. Bayangkan, benih dipilih-pilih, kemudian “diperam” di tempat
sendiri atau sewaan. Manusia diproduksi dengan teknologi, bukan dari manusianya
sendiri secara alami. Di sini ada proses yang cenderung rasionalisis,
pilih-memilih. Tentu yang dipilih adalah yang bagus-bagus, sedang yang jelek
dibuang. Jelas tak ada kasih dan cinta di sana. Tak ada cinta? Mengerikan
sekali! Lebih jauh, mari renungkan nasib si anak. Bagaimana dia akan menjalani
hidup? Jika dia sadar dari proses keji itulah dia lahir. Apa dalam keluarga gay
tak ada ibu, kedua-duanya ayah? Begitu pun keluarga yang lesbi, tak ada ayah,
sebab kedua-duanya dipanggil ibu? Sekali lagi, otak saya yang kecil ini tak
dapat menjangkaunya.
Pindah ke persoalan lain. Perasaan.
Ketertarikan, kecenderungan yang lahir dari nubuat yang telah diberikan dalam
diri. Dari sesuatu yang tersusun oleh struktur otak dan hasrat? Apakah ada
jalan lain selain menerima atau berobat? Karena mau diobatin pun itu katanya bukan
penyakit. Bagaimana pula dengan mereka yang telah lama berada dalam “alam” tersebut.
Yang sebagian kaum mengatakan bahwa itu adalah pelanggaran, kebejatan, kesesatan. Apakah ada
jalan pembebasan? Jalan pembebasan yang harus bagaimana? (Konon di beberapa
agama ada yang namanya Sang “Penebus”).
Satu fakta tak terbantahkan, kita
semua berbuat dosa! Jadi jangan pernah merasa lebih baik dari yang lain. Yang menganggap
dirinya Hetero pun tak lantas merasa diri paling suci dari mereka yang LGBT.
Yang Hetero jika malah bias lebih bejat dari yang LGBT ya sama aja. Yang merasa
diri paling suci, coba lihat kedalam diri masing-masing, sudah cukup bersihkan
diri sehingga merasa layak untuk menghardik atau mencemooh orang lain? Sebab
kita bukanlah sang hakim, begitu kan?
Dan jika ditanya kepada saya, apakah
saya pro atau kontra terhadap LGBT?
Jawaban saya: Saya tak pernah
menyalahkan cinta.
Jawaban saya tak nyambung?
Baik, begini… Saya meyakini perasaan cintanya tidaklah
salah. Yang salah jika cinta itu jelma jadi perbuatan yang tidak pantas.
Perasaan itu ibaratnya air, ada saja sampah yang akan mencemarinya, mestilah
kita punya penyaring agar perasaan yang sesungguhnya jernih tak jadi kotor. Bagi saya, dia yang mampu
bersikap arif atas nubuat yang dititipkan Allah dalam hatinya adalah
orang-orang yang memiliki kualitas tinggi. Hatinya layak diperjuangkan.
Diperjuangkan oleh yang pantas. Toh, apa salahnya dengan perasaannya itu. Saya punya beberapa teman
laki-laki yang saya cintai. Tak jarang saya berikan perhatian lebih pada
mereka. Mereka pula jadi sumber inspirasi saya untuk menulis. Tak jarang dalam
tulisan saya katakana bahwa saya mencintainya, bahwa saya rindu, bahwa saya
cemburu padanya. Terus kenapa? Lihatlah pertemanan Rasulullah dan para
sahabatnya. Yang ingin saya katakana adalah, perasaan cinta itu sejatinya
menuntun seseorang pada jalan kebaikan, bukan sebaliknya. Jika yang disebut
cinta itu malah membuat kamu berbuat yang tidak pantas, hati-hati, itu bukan
cinta, barangkali hanya nafsu dan hasrat-hasrat kosong. Cinta tidak salah,
tetapi jangan dijadikan ia sebagai pembenaran atas segala perbuatanmu.
Ngomong-ngomong, ketika tulisan ini masih
berupa coretan dalam buku. Tadi sore, senja begitu cerah setelah hujan satu
harian. Ada lengkung pelangi membumbung di atas langit Kota Medan.
Indah sekali.
Indah sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar