29 Juni 2014

Senar Gitar

“Maaf, dana apa tadi?” jemari tangan bertanya pada senar gitar.

            “Tidak begitu jelas, nada rindu barang kali,” tebak senar gitar acuh.
            “Sepertinya semalam juga nadanya begitu?”
            “Entahlah, jangan tanya aku. Aku sendiri bosan mengalunkannya.”
         Sore ini jemari dan senar gitar disibukkan pada percakapan membingungkan perihal nada sendu dari rindu. Senar agak sensi akhir-akhir ini, setiap kali jemari bertanya, tanggapan senar gitar selalu sama; getir.
            “Seharusnya kau yang lebih tahu, kau jemari, distimulus langsung oleh otaknya,” senar gitar kesal.
        “Aku pun heran, padahal aku bagian dari dirinya, tapi sering kali aku tak mengerti jalan pikirannya.”
            “Bagian tubuh macam apa kau ini?!” senar gitar makin ketus.
            Mungkin senar gitar hanya bosan, beberapa bulan terakhir yang jemari mainkan selalu sama. Nada hampa. Nada tak bersemangat. Nada penuh kekosongan. Rindu, perasaan macam apa itu? Senar gitar jadi membencinya, bukan karena senar tak sanggup merefleksi rasa rindu dengan nada, tapi senar pun jenuh. Manusia yang memainkannya terlalu rapuh.
            Jemari memetik senar kasar. “Heeyy!” bentak senar.
         “Maaf, tiba-tiba dia marah,” jemari tak bisa mengelak, si empunya organ mendadak arogan. Manusia itu mengamuk, dan terakhir menangis.
            “Dasar, dia pikir hidup cuma untuk terus-terusan diisi dengan mata sembab, kenapa manusia itu sulit sekali untuk ikhlas, yang sudah mati, ya, biarkan saja mati, seharusnya dia bersyukur,” gerutu senar. Nada sendu yang ia lontarkan makin sumbang.
            Jemari tak merespon. Baru saja ia dapat turbulensi, goncangan dahsyat, masih terasa nyeri akibat kemarahan tak jelas tadi. Jemari jadi teringat, dulu, bukan nada sendu macam ini yang ia mainkan. Dulu ada jemari dari manusia lain yang mengajarkan nada kebahagiaan, nada-nada indah di kala pagi dan sore. Dulu, jemari-jemari dari dua manusia merangkai lirik-lirik mesra, mencipta lagu yang membelah refleksi mereka tatkala jatuh cinta.
            “Kau tahu siapa objek di balik nyanyian itu?” tanya senar gitar.
             Jemari masih diam.

[Bolehkah kusuarakan hatimu? Barangkali aku tahu siapa objek di balik lagu nada getir itu. Sebutlah aku terlalu takut dengan kerumitan yang sudah terlahirkan di tengah-tengah kesederhanaan yang masih buram kaujalankan. Tapi sungguh, jika saja bisa aku ingin menyuarakannya. Menghilangkan rasa sakitmu, menggantinya dengan senyum dan syukur.]

            “Seharusnya kau bisa mengerti, senar macam apa kau ini, mengaku medium nada, tapi nada ini saja tak sangup kaurasa,” kini jemari yang ketus, dia mendadak sinis. Bahkan senar pun tak mampu mengerti perasaan manusia yang memainkan nadanya. Tak ada yang sebegitu memahami isi hati dari seorang insan, terlebih jemari yang sejatinya bagian dari insan itu sendiri.
            “Kalau begitu tolong jelaskan, agar aku bisa mengerti,” senar gitar melunak, nada yang termainkan menjernih.
            “Dia mati,” jemari berhenti memetik.
            “Siapa?” kejar senar.
            “Laki-laki itu, yang pernah merangkai lagu denganmu.”
            “Ha?” pekik senar haran. “Aku paham sekarang.”
            “Sudah selama ini dan kau baru paham sekarang?”
          “Hey, kaukira memahami nada dari manusia itu mudah. Kendati sering aku bersamanya, tapi sering juga tak kurasakan apa-apa, aku hanya medium untuk menyuarakan hati mereka, tapi kau tahu sendiri, hati manusia terlalu rumit.”
            “Terlalu mendrama,” ejek jemari.
            “Memang deramalah sisi hidup manusia.”
            “Dan kau senar bukan manusia.”
            “Untuk drama itulah aku ada.”
            Jemari kembali terlonjak lagi. Lebih kuat petikannya pada senar, lebih sakit geraknya, lebih tajam, kulit jemari kesakitan menahan gesekannya dengan senar gitar. Senar tak kuasa. Nada ini, nada dari ketidakterimaan atas kematian. Rasa yang tak pantas disimpan lama-lama oleh manusia.

[Izinkan kuketuk pintu hatimu. Ingin rasanya bertamu sebentar saja. Keberadaanku ingin mencecah lantai hatimu. Mungkin saja akan kutemukan pecahan-pecahan kaca di sana?Atau serpihan-serpihan debu tebal karena sudah lama hati tak dibersihkan? Aku ingin mengetahui rasa macam apa yang mampu membuatmu menyanyikan nada penampar, sehingga aku yang benda mati ini bisa merasa dan ikut tertampar.]

[Kapankah waktu akan berhenti dan membiarkan alirannya bebas menari?
Wujud-wujud, perwujutan-perwujutan ilahi nan abadi, menanti ketiadaan agar dapat terlahir kembali.]

            Sejurus kemudian, senar gitar putus. Jemari terluka karenanya, ada darah menyucur. Tak banyak, tapi cukup menodai badan gitar.
Keduanya berhenti. Tak ada kelanjutan percakapan. Tak ada suara, nada pun berhenti seketika. Senyap.
Wanita pemain gitar beranjak pergi, meletakkan gitarnya di atas sofa. Wanita itu menuju kamar mandi, dengan air menyirami jemari. Kemudian membasuh wajahnya dari kelusuhan. Merapikan rambut sebahunya yang agak acak-acakan. Menanggalkan kemeja panjangnya. Kemeja berwarna putih polos yang menutupi sampai paha. Kemeja itu dirabanya halus, kemeja milik si laki-laki yang mati, tak sengaja tertinggal di ranjang. Bahkan aroma si laki-laki belum hilang.
Selesai berkemas, si wanita berajak pergi. Meninggalkan gitar bernoda darah bersama senarnya yang putus.*


*Kepada admin @KampusFiksi untuk tantangan #NarasiSemesta.

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran