“Tidak
begitu jelas, nada rindu barang kali,” tebak senar gitar acuh.
“Sepertinya
semalam juga nadanya begitu?”
“Entahlah,
jangan tanya aku. Aku sendiri bosan mengalunkannya.”
Sore
ini jemari dan senar gitar disibukkan pada percakapan membingungkan perihal
nada sendu dari rindu. Senar agak sensi akhir-akhir ini, setiap kali jemari
bertanya, tanggapan senar gitar selalu sama; getir.
“Seharusnya
kau yang lebih tahu, kau jemari, distimulus langsung oleh otaknya,” senar gitar
kesal.
“Aku
pun heran, padahal aku bagian dari dirinya, tapi sering kali aku tak mengerti
jalan pikirannya.”
“Bagian
tubuh macam apa kau ini?!” senar gitar makin ketus.
Mungkin
senar gitar hanya bosan, beberapa bulan terakhir yang jemari mainkan selalu
sama. Nada hampa. Nada tak bersemangat. Nada penuh kekosongan. Rindu, perasaan
macam apa itu? Senar gitar jadi membencinya, bukan karena senar tak sanggup
merefleksi rasa rindu dengan nada, tapi senar pun jenuh. Manusia yang
memainkannya terlalu rapuh.
Jemari
memetik senar kasar. “Heeyy!” bentak senar.
“Maaf,
tiba-tiba dia marah,” jemari tak bisa mengelak, si empunya organ mendadak
arogan. Manusia itu mengamuk, dan terakhir menangis.
“Dasar,
dia pikir hidup cuma untuk terus-terusan diisi dengan mata sembab, kenapa
manusia itu sulit sekali untuk ikhlas, yang sudah mati, ya, biarkan saja mati,
seharusnya dia bersyukur,” gerutu senar. Nada sendu yang ia lontarkan makin
sumbang.
Jemari
tak merespon. Baru saja ia dapat turbulensi, goncangan dahsyat, masih terasa
nyeri akibat kemarahan tak jelas tadi. Jemari jadi teringat, dulu, bukan nada
sendu macam ini yang ia mainkan. Dulu ada jemari dari manusia lain yang
mengajarkan nada kebahagiaan, nada-nada indah di kala pagi dan sore. Dulu, jemari-jemari
dari dua manusia merangkai lirik-lirik mesra, mencipta lagu yang membelah
refleksi mereka tatkala jatuh cinta.
“Kau
tahu siapa objek di balik nyanyian itu?” tanya senar gitar.
Jemari
masih diam.
[Bolehkah kusuarakan hatimu? Barangkali aku tahu siapa objek di balik
lagu nada getir itu. Sebutlah aku terlalu takut dengan kerumitan yang sudah terlahirkan
di tengah-tengah kesederhanaan yang masih buram kaujalankan. Tapi sungguh, jika
saja bisa aku ingin menyuarakannya. Menghilangkan rasa sakitmu, menggantinya
dengan senyum dan syukur.]
“Seharusnya
kau bisa mengerti, senar macam apa kau ini, mengaku medium nada, tapi nada ini
saja tak sangup kaurasa,” kini jemari yang ketus, dia mendadak sinis. Bahkan senar
pun tak mampu mengerti perasaan manusia yang memainkan nadanya. Tak ada yang
sebegitu memahami isi hati dari seorang insan, terlebih jemari yang sejatinya
bagian dari insan itu sendiri.
“Kalau
begitu tolong jelaskan, agar aku bisa mengerti,” senar gitar melunak, nada yang
termainkan menjernih.
“Dia
mati,” jemari berhenti memetik.
“Siapa?”
kejar senar.
“Laki-laki
itu, yang pernah merangkai lagu denganmu.”
“Ha?”
pekik senar haran. “Aku paham sekarang.”
“Sudah
selama ini dan kau baru paham sekarang?”
“Hey,
kaukira memahami nada dari manusia itu mudah. Kendati sering aku bersamanya,
tapi sering juga tak kurasakan apa-apa, aku hanya medium untuk menyuarakan hati
mereka, tapi kau tahu sendiri, hati manusia terlalu rumit.”
“Terlalu
mendrama,” ejek jemari.
“Memang
deramalah sisi hidup manusia.”
“Dan
kau senar bukan manusia.”
“Untuk
drama itulah aku ada.”
Jemari
kembali terlonjak lagi. Lebih kuat petikannya pada senar, lebih sakit geraknya,
lebih tajam, kulit jemari kesakitan menahan gesekannya dengan senar gitar. Senar
tak kuasa. Nada ini, nada dari ketidakterimaan atas kematian. Rasa yang tak
pantas disimpan lama-lama oleh manusia.
[Izinkan kuketuk pintu hatimu. Ingin rasanya bertamu sebentar saja.
Keberadaanku ingin mencecah lantai hatimu. Mungkin saja akan kutemukan
pecahan-pecahan kaca di sana?Atau serpihan-serpihan debu tebal karena sudah
lama hati tak dibersihkan? Aku ingin mengetahui rasa macam apa yang mampu
membuatmu menyanyikan nada penampar, sehingga aku yang benda mati ini bisa
merasa dan ikut tertampar.]
[Kapankah waktu akan berhenti dan membiarkan alirannya bebas menari?
Wujud-wujud,
perwujutan-perwujutan ilahi nan abadi, menanti ketiadaan agar dapat terlahir
kembali.]
Sejurus
kemudian, senar gitar putus. Jemari terluka karenanya, ada darah menyucur. Tak banyak,
tapi cukup menodai badan gitar.
Keduanya berhenti. Tak ada
kelanjutan percakapan. Tak ada suara, nada pun berhenti seketika. Senyap.
Wanita pemain gitar
beranjak pergi, meletakkan gitarnya di atas sofa. Wanita itu menuju kamar
mandi, dengan air menyirami jemari. Kemudian membasuh wajahnya dari kelusuhan.
Merapikan rambut sebahunya yang agak acak-acakan. Menanggalkan kemeja panjangnya.
Kemeja berwarna putih polos yang menutupi sampai paha. Kemeja itu dirabanya
halus, kemeja milik si laki-laki yang mati, tak sengaja tertinggal di ranjang. Bahkan
aroma si laki-laki belum hilang.
Selesai berkemas, si
wanita berajak pergi. Meninggalkan gitar bernoda darah bersama senarnya
yang putus.*
*Kepada admin @KampusFiksi
untuk tantangan #NarasiSemesta.