Untuk engkau si Pembosan yang jika sedang bersamaku, lebih suka diam,
diam itu terpaksa harus kusingkirkan dengan menanyaimu banyak pertanyaan.
(Semoga pertanyaan-pertanyaanku tak pula membuatmu bosan).
Ingin sekali menuliskan utuh namamu tanpa harus kumenyingkat atau menyamarkannya. Ingin sekali tak takut terang-terangan mengaku jika aku lebih dari sekedar mengagumi. Tapi engkau selalu tak terjangkau. Lenganku kerap tak mampu menjamahmu. Satu hal yang baru kupahami, bahwa duniamu adalah lingkaran yang membatasi engkau dan duniaku. Tapi lingkaran itu begitu samar, seolah duniamu dan duniaku berada dalam satu bidang singgungan, dunia kita seolah menyatu, namun sebenarnya tidak begitu.
Engkau masih sibuk dengan duniamu. Perhatianmu, kecenderunganmu, kepekaanmu, hasrat, dan semua yang engkau citakan, tak pernah ada di duniaku, semuanya engkau anggap hanya ada di duniamu. Pedulimu hanya pada kesepianmu sendiri, hasratmu sendiri, tanpa peduli sekitar, tanpa kausadari ada aku yang tersekap dalam lembah bayang-bayang pengabaianmu. Engkau yang sedikit pun tak pernah bertanya, apakah hatiku bengkok atau lurus, atau masih seperti kemarin, tak berbentuk.
Benar! Aku bukan siapa-siapa, dan tak layak aku menuntut terlalu banyak. Apakah harus setiap perhatian itu berbalas? Kenyataannya kita memang lebih suka menerima perhatian daripada memberi perhatian. Tapi siapalah aku, yang meminta perhatianmu? Aku cuma seseorang yang saat kelelahan sehabis bekerja masih sisahkan tenaga untuk memikirkanmu. Aku cuma seseorang yang menerima asupan inspirasi dari wujudmu. Aku cuma seseorang yang ketika ketakutan, malah mencari senyummu sebagai tempat perlindungan. Aku cuma seseorang yang rela abaikan kepentinganku untuk dapat penuhi kepentinganmu. Aku cuma seseorang yang dalam semerautnya hariku masih sanggup sisahkan waktu untuk merindukanmu. Aku cuma seseorang yang pertaruhkan apa saja demi dapat sentuh hatimu. Tapi... pada akhirnya, bagimu, aku hanyalah "cuma". Kau pasti akan mengatai kalau aku terlalu banyak membaca kisah dongeng.
Dalam kepelikan rutinitas hidupku yang mungkin kauanggap tak seberapa itu, aku yang kecil ini sering tak sanggup menahan penderitaan batin. Permasalahan di tempatku bekerja, keutuhan keluargaku yang semakin lama semakin memudar, pencapaian akademikku yang kini derastis menurun, belum lagi... hidup begitu banyak menuntut; kita harus terus tersenyum meski kita sedang menderita. Kita dituntut untuk terus tertawa walau sebenarnya kita ingin sekali menangis. Setelah kujabarkan itu, apakah kau bisa paham dengan perasaanku? Akhhh!Menanyakan seputar kabarku saja kau tak pernah. Atau pertanyaan sepele, apakah aku sudah makan? Atau yang lebih unik, apakah aku sudah buang air besar? Apakah tinggiku bertambah? Atau kau tanyakan saja jerawat yang baru tumbuh di wajahku.
Tapi, tak pernah kaulakukan itu. Bagaimana mungkin akan kautanyakan, apa sebab aku kebanyakan melamun, mengapa aku lebih banyak diam, atau yang paling sederhana namun istimewa: "Ada masalah? Boleh aku tahu?"
Aku terlalu banyak menuntut, aku lupa jika aku bukan siapa-siapa....
Terhitung sudah dua tahun aku begini. jatuh cinta pada yang sia-sia. Kesia-siaan itu makin membuatku sadar, bahwa aku begitu bodoh. Saat aku kehilangan "rumah" aku malah berusaha menjadikanmu "rumah"-ku yang baru. Saat hidup begitu tak adil, malah kucari keadilan itu darimu. Berharap kau akan jadi lentera penerang jalanku di kala gelap. Aku yang naif, juga bodoh ini sungguh memalukan. Bagaimana bisa kuharapkan itu padamu? Kau pun punya harapanmu sendiri, yang pastinya lebih pentingkan daripada apa yang kuharapkan?
Sebab, sekali lagi... aku bukan siapa-siapa.
Namun, wahai engkau yang dapat dengan mudah membuatku cemburu. Tolong pahami ini, aku masih tak mengerti perasaan macam apa yang kupunya untukmu. Yang jelas ketika aku sedih, aku ingin kau tahu. Ketika aku bahagia, ingin kubagi kebahagiaan itu denganmu. Ingin kuikut sertakan engkau dalam semua kegiatanku. Segala apa yang batinku rasakan, aku pun ingin juga kau merasakannya.
Wahai engkau yang hanya dengan melihat senyum dan mendengar tawamu aku menjadi kuat. Tolong sembuhkan aku, jika perasaan ini memang adalah penyakit. Berilah aku solusi terbaik.
Wahai engkau, yang tanpa lakukan apa-apa mampu membuatku terkagum-kagum dan semakin mendamba. Ketahuilah, ada dalam hidup kita sebuah tempat yang hanya kita sendiri yang tahu. Di sanalah harapan terbebaskan, rindu terurai, angan menjadi abadi, dan hukum tidak berlaku. Yang berlaku adalah keinginan-keinginan yang tak berbentuk. Tempat itu adalah Alam Khayal.
Saat-saat terburuk, satu keadaan sering kukhayalkan: kita duduk berdua berhadapan, kau rentangkan kedua tanganmu, sambil berkata, "kalau dengan memelukku kesedihanmu dapat hilang, peluklah aku sekarang."
Di detik itu, tak akan ragu aku memelukmu. Merengkuh tubuhmu dengan cengkraman kuat, seolah tiada lagi hari esok. Kemudian, aku akan menangis sejadi-jadinya, mengoceh dalam rangkulanmu, mengatakan apa yang sejak lama tak mampu aku katakan. Dan sesuatu yang magis terjadi. Dunia sejenak tiada. Segala perwujudan sirna. Bahkan perasaan-peraasaan yang pernah ada di dunia pun lenyap tak tersisa. Tak ada kesedihan, tak ada penyesalan, tak ada cemburu, tak ada rindu yang menjelma hasrat kosong, tak ada kekhawatiran. Segala penderitaan batin lenyap, segala yang menyiksa hati luntur, segala penyesalan terobati pun segala begundal dalam jiwa menjadi kesejatian yang murni.
Tinggal hanya aku yang damai dalam pelukanmu, menangis sambil ungkapkan semua sampah batinku. Dan kau ketika itu, ikhlas mendegarkan gerutuku, sesekali menepuk pundakku sebab aku menangis sambil sesungukan.
Begitulah, wahai engkau yang tak pernah bosan kukhayalkan. Dalam Alam Khayal aku melarikan diri, ketika kenyataan hidup tak berpihak padaku. sialnya, begitu waktuku habis, kesadaran menggiring aku pada kenyataan bahwa segalanya hanya khayalan. Anganku tak akan jadi apa-apa. Angan yang mungkin sekedar ketololan belaka.
Sebab, aku memang bukan siapa-siapa....
#RFM