9 Mei 2016

Bocah Itu Bernama Galang Mahasuara

Dokumentasi Pribadi



Awalnya saya salah menyebutkan namanya, Gilang Mahasuara. Setelah saya tanyakan kembali, nama yang sebenarnya adalah Galang Mahasuara. Dalam hati saya bergumam, "Maha lagi." Saya kenal beberapa orang dengan sisipan kata 'Maha' dalam nama mereka. Ada 'Maha' tulen, ada yang ke-Maha-Maha-an. Semuanya punya karakter, kekayaan jiwa yang mencuri perhatian saya.

Sedikit kisah tentang bocah bernama Galang Mahasuara ini. Darinya saya ketahui, Galang asli kelahiran Bali. Ayahnya berasal dari Pulau Dewata tersebut, sedang Ibunya adalah keturunan Jawa yang tinggal sejak kecil di desa Lau Tepu, Langkat, Sumatra Utara.

"Ayah kerja di mana?" tanya saya waktu itu.
"Ayah di Bali bang."
"Ibu?"
"Di Malaysia."
Sempat saya heran mendengar jawabannya. "Jadi tinggal sama siapa?" selidik saya.
"Sama nenek."
"Ayah pernah pulang?"
"Ayah jarang pulang bang."
"Tahu muka Ayah kan?"
"Tahu, ada dikirimi fotonya."
"Kalau Ibu?"
"Ibu sering pulang bang, baru kemarin pulang."
Dari jawban-jawbannya, saya tarik kesimpulan, ayah dan ibu Galang kemungkinan sudah bercerai. Tapi saya tak bertanya tentang hal itu padanya.

Awal perjumpaan saya dengan Galang, sewaktu saya dan rekan mahasiswa Sastra Indonesia, FIB, USU melakukan Penelitian Dialektologi dan Pengabdian di desa Lau Tepu, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat, kemarin. Ada satu agenda pelatihan mendongeng dan menulis dongeng untuk warga setempat. Tradisi mendongeng memang hampir pudar di kalangan masyarakat, bukan cuma masyarakat modrn, masyarakat tradisional pun seperti tak mengenal lagi apa itu dongeng. Terbukti saat saya bertanya pada sekumpulan anak-anak yang datang ke pelatihan, anak-anak itu tak lagi tahu tentang dongeng di sekitar kampung mereka. Terlebih dongeng populer semisal Danau Toba atau Malin Kundang. Saya tercenung, merasa heran sekaligus sedih. Dongeng adalah salah satu cara terbaik memperkenalkan kekayaan budaya dan kearifan lokal pada masyarakat, terkhususnya anak-anak.

Sebab dongeng populer tak mereka tahu jadi saya mulai dengan menceritakan kisah Malin Kundang. Mereka mendengarkan secara hikmat, tenang. Anak-anak di desa memang lebih mudah dibimbing, lebih kalem daripada anak-anak di kota yang sudah mulai tahu malam minggu dan berdandan ala-ala serta berkeliaran di jalan-jalan dengan tujuan tak jelas.

Pengalaman Pertama Kali Mendongeng


Di antara anak-anak yang antusias mendengarkan, ada satu anak mengambil perhatian saya. Dia duduk di paling pojok. Sesekali dia tunjukkan raut wajah kaget, tersenyum, juga tertawa saat saya mulai mendramakan cerita.

Kisah Malin Kundang berakhir, anak-anak yang telah mendengarkan sekaligus menyimak diberi tugas untuk menuliskan kembali dongeng yang telah saya ceritakan. Berbekal pulpen dan selembar polio anak-anak ini mulai menulis sembari dibimbing oleh rekan mahasiswa. Saya melangkah mendekati anak itu, melihat kertas kerjanya. Sesekali ada tawa terdengar dari rekan yang lain, tak lupa sesi foto-foto yang secara sembarang teman-teman lakukan.

Galang saat menulis

Di sela anak itu menulis saya bertanya, "nama kamu siapa?"
"Galang, bang.."
"Tinggal di dusun dua?"
"Iya, bang."
"Tulisanmu bagus ya," saya memuji.
Anak bernama Galang itu tersenyum, merasa malu.
"Kelas berapa?"
"Kelas dua SMP bang,"
Saya berhenti bertanya, membiarkan Galang menyelesaikan pekerjaannya. Saya amati tulisannya lumayan bagus, sesekali dia nampak berpikir, berusaha mengingat kembali dongeng yang saya ceritakan. Saya selalu suka melihat raut wajah orang-orang yang sedang berpikir.

Kelas usai dibarengi dengan pemberian hadiah, bernyanyi bersama, dan candaan antara anak-anak desa ini dengan rekan mahasiswa serta dosen. Hari itu saya dapati kesadaran, bahwa banyak yang seharusnya saya lakukan. Lebih dari pelatihan mendongeng waktu itu, saya merasa terpanggil untuk melakukan yang lebih lagi. Senyum lugu anak-anank itu membuat saya merasa malu sebab untuk bangsa ini belum ada apa-apa yang bisa saya persembahkan. Masih banyak yang perlu dibenahi untuk negri ini. Dari mata anak-anak itu saya lihat kekayaan, budaya, identitas yang tak mereka sadari, bahwa kekayaan, budaya, dan identitas itulah yang bisa membuat bangsa mendapatkan kembali kehormatannya.

***

Di hari berikutnya, ketika rekan mahasiswa dan dosen rekreasi ke daerah pariwisata desa, sebelum esok harinya kembali pulang ke Medan, saya putuskan tetap tinggal di wisma. Satu pengajaran saya dapatkan. Kalau berkunjung ke sebuah desa atau tempat terpencil, petualangan paling seru adalah bersama anak-anak yang bermukim di tempat itu. Mereka paham kondisi dan situasi, tahu jalan-jalan motong dan tempat-tempat eksotis.

Contohnya, ketika rombongan yang lain rekreasi ke Pantai Biru, saya malah memilih tidak ikut karena memang tidak suka kalau terlalu ramai (belum lagi nanti bakal sengaja dan tak sengaja melihat aurat teman-teman wanita). Saya putuskan tinggal sendiri di wisma. Tapi setelah semua rombongan pergi, lima anak-anak desa datang main ke wisma, saya ikut bermain lalu mereka mengajak saya ke tempat ini (sebuah sungai berair jernih yang jarang dikunjungi orang, mereka sebut Pantai Merah) ada rakit buat menyebrang. Seru sekali.


Sumber: IG @dearikhsan





Rekan-rekan yang lain ke Pantai Biru, saya beserta anak-anak desa ke Pantai Merah. Sewaktu saya tanya kenapa mereka menyebut pantai padahal itu sungai? Jawaban anak-anak itu, karena kami gak pernah ke laut jadi sungai kami bilang pantai. Hahahahaa....

"Kenapa merah? Airnya warna merah?" saya tanya lagi.
"Ada jembatan bang, warnanya merah."
Saya berpikir tentang korelasi antara pantai-sungai-jembatan-warna merah. Agak rumit memang, tapi begitulah mereka menamai sungai ini.

Dokumtasi Pribadi

Satu hal yang terus saya kenang adalah pengalaman tak terlupakan bersama anak-anak ini. Melihat mereka mandi-mandi di sungai, tertawa, bercanda, gelagat-gelagat yang begitu lugu, yang jarang saya lihat oleh anak-anak di kota yang kebanyakan tergerus teknologi kekinian.

Di sungai kami tak begitu lama, sebab hujan pun turun. Kami bergegas naik ke atas, kembali ke wisma. Pulang sambil hujan-hujanan, basah kuyup sudah pasti. Anak-anak ini bahkan mencarikan saya pelastik untuk menyimpan ponsel supaya tidak basah.

"Di mana ada jual makanan?" tanya saya.
"Tempat kak asih ada jual mi sop bang." Jawab salah seorang dari mereka.
"Ayok kita ke sana."
"Abang bayarin?"
Saya mengangguk. Sontak anak-anak ini berteriak gembira.

Hari itu petualanagan kami di akhiri dengan semangkuk penuh mi sop, dengan harga yang tergolong murah. Mi sopnya masih harga lima ribu. Pengalaman yang tak akan saya lupakan. Melihat raut wajah anak-anak itu, timbul hasrat saya ingin melakukan pengabdian, ditempatkan di tempat terpencil pun tak mengapa. Saya ingin berbuat sesuatu yang berarti, membagi ilmu tak seberapa yang saya punya, setidaknya bisa berguna buat orang lain. Saya menagis dalam hati, tangis penuh syukur.

"Abang kapan ke Medan?" Galang bertanya saat mangkuk mi sopnya telah kosong.
"Minggu, abang pulang."
"Nggak jumpa lagi lah?"
"Hhmmm... Mungkin."

Jika ada kesempatan lagi, saya ingin kembali ke desa yang telah mencuri hati saya selama lima hari ini. Ingin mendongeng lagi untuk mereka. Ingin ke Pantai Merah lagi. Ingin hujan-hujnana lagi. Ingin makan mi sop lima ribu lagi.


Desa Lau Tepu, Kec. Salapian, Kab. Langkat, 07 Mei 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran