Engkau bilang tak bisa
mengabaikan fitnahan. Tak bisa biarkan tuduhan-tuduhan murah itu bertebaran
tanpa menutupnya. Aku ingin tetawa, tapi saat tertawa aku pun menangis. Aku katakan
akan membantumu menutup. Dalam hati aku merasa bodoh.
Menutup?
Apa yang mesti ditutup?
Kekonyolan-kekonyolan ini pun
telah menyerupai fitnah murah.
Engkau labeli dirimu. Engkau
beranggapan bahwa kau tak mudah dipengaruhi, bahwa yang hanya kau dengarkan
adalah dirimu sendiri. Lalu mengapa fitnahan itu kau teguk seperti meneguk air
perasaan jeruk dingin di hari yang begitu panas?
Idealisme naif cenderung labil
itu terlihat serupa awan yang mudah berubah bentuk dan berpindah arah. Namun di
sini aku tak sedang mendektemu. Aku tak berkuasa akan itu, sebab kita semua
punya perjalanan masing-masing, punya salah masing-masing. Sejak awal
mengenalmu, kupikir akan temukan kembaran jiwa. Aku menaruh harapan tinggi.
Kuinvestasikan apa pun, kuberi semua yang bisa kuberi. Kau tahu, kita punya
cinta dalam sudut-sudut hati kita. Kita juga punya cara tersendiri saat
menunjukkannya. Dan begitulah caraku menunjukkan cinta yang kupunya:
Memberimu perhatian lebih,
hal-hal yang barangkali tak kaubutuhkan. Mungkin kutempuh jalan yang salah saat
tunjukkan cinta. Mungkin aku berlebihan. Mungkin telah kau ingatkan tapi aku
acuhkan. Mungkin kau jengah. Mungkin kau bosan tingkat parah. Tapi, di antara
banyak kemungkinan itu, coba pahami, ada seseoran yang bahagia setiap kali kau
ada. Dan ketika ia tunjukkan rasa bahagianya, barangkali dengan cara yang sulit
kau mengerti. Tapi bukan menunjukkan jalan yang benar, kau malah meninggalkan
dia sendirian di jalan itu. Kau asingkan dia dalam hidupmu, pantaskah?
Jujur, aku tak pernah
memusingkan tentang stigma apa yang orang tuduhkan terhadapku. Aku berjalan
dengan kakiku sendiri, bukan kaki mereka. Aku makan dengan tanganku sendiri,
bukan tangan mereka. Aku berkarya, aku hidup, waktuku telah kukemas untuk
hal-hal yang menurutku penting.
Takarlah ini, kesedihan apa lagi
yang bisa lebih menyakitkan, ketika dua orang yang saling bicara, saling tahu
satu sama lain harus berubah asing dalam rentan waktu singkat. Tapi sepertinya
kau bahagia, di beberapa kesempatan kulihat kau tertawa, tanpa beban, hidupmu
yang untuk dirimu sendiri tanpa harus pedulikan sekitar. Di sela lawakan
teman-temanmu kau tertawa keras. Lantang sekali.
Kau adalah manusia dengan kadar
kegengsian paling tinggi, terlebih di hadapan teman-teman dan masyarakat
sekitarmu. Kau tidaklah boleh tampak norak, segala yang kau pilih mestilah
hal-hal dengan standar di atas rata-rata. Kau tak boleh kalah saing, dan tak
boleh dipermalukan.
Jika kau ingat, atau mau
mengingat. Pernah aku bertanya, jika di satu keadaan aku menjadi bahan
olok-olokan teman-temanmu, maka apa yang akan kaulakukan? (aku bertanya tentang
ini, sebab aku tahu ini akan terjadi). Sebab di sini, ketika
teman-temanku berbicara yang tak layak tentangmu, aku yang akan lantang
membantah. Sebab kau orang terbaik yang kukenal, argumen jelek dan salah
tentangmu tak akan kuizinkan keluar dari mulut siapapun.
Kau tahu, aku menaruh cemburu
pada dua orang penyair ternama Sastra Indonesia. Adimas Imanuel dan Aan Mansyur.
Bagaimana dalam dunia literasi mereka adalah dua sahabat yang serasi, begitu
kompak, saling mendukung satu sama lain. Aku kerap berkhayal bahwa nanti kita
akan menjadi seperti mereka. Dan saat menyadari kenyataan apa yang terjadi, aku
berduka atas puisi-puisi yang kutulis untukmu. Serupa saat Chairil Anwar
menulis puisi untuk sahabat-sahabatnya. Seperti saat Goenawan Mohamad, Joko
Punirbo, dan sederet sastrawan lain yang tak luput menulis untuk
sahabat-sahabat yang mereka cintai.
Jika ada kemungkinan kau membaca
paragraf ini, anggap saja aku sedang meminta maaf. Maaf untuk kesalahan yang
entah apa (bukan kali ini saja kita berkonflik). Kau tahu aku, aku tak pernah bisa
tahan kalau harus terus-terusan berdiam-diaman denganmu, menipu hati sendiri,
tapi aku juga enggan menegur sebab kutanggung rasa malu pada diriku, malu pada
puisi-puisi yang kutulis.
Tadi sore, aku menemani Ibu
berbelanja di Pajak. Di sana kulihat pedagang semangka. Aku jadi teringat—pernah
sekonyong-konyong aku datang ke rumahmu mengantarkan semangka. Entah untuk apa,
kadang aku merasa lucu pada diri sendiri, terlebih pada tindakan-tindakan yang
kulakukan tanpa perencanaan. Aku tersenyum karena lucu sekaligus sedih. Sebab
semangka itu jadi semangka pertama dan mungkin terakhir yang kubawa ke rumahmu.
Tapi jangan mengira aku aneh. Anggaplah, apa-apa yang kuberikan padamu adalah
perwujudan rasa syukurku sebab telah mengenal kau.
Ada kesedihan juga ketakjuban
yang kutahan saat menulis ini. Sedih karena bisanya kita berjarak sebab
fitnah-fitnah murah yang membuatmu risih. Takjub karena aku cuma bisa menulis, merangkainya
dalam alenia-alenia huruf, mungkin aku terlahir memang untuk ini.
Nyatanya, aku dan kau selalu tahu, seperti puisi-puisi itu juga tahu,
tentang apa-apa yang tertulis
apa-apa yang tak tertulis
Tentang apa-apa yang terbaca
Pun apa-apa yang tak terbaca….
Sumber: Google |
Ditulis di senja yang pucat,
10 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar