12 April 2016

Yang Tertulis, yang Terbaca


Engkau bilang tak bisa mengabaikan fitnahan. Tak bisa biarkan tuduhan-tuduhan murah itu bertebaran tanpa menutupnya. Aku ingin tetawa, tapi saat tertawa aku pun menangis. Aku katakan akan membantumu menutup. Dalam hati aku merasa bodoh.

Menutup?

Apa yang mesti ditutup?

Kekonyolan-kekonyolan ini pun telah menyerupai fitnah murah.
Engkau labeli dirimu. Engkau beranggapan bahwa kau tak mudah dipengaruhi, bahwa yang hanya kau dengarkan adalah dirimu sendiri. Lalu mengapa fitnahan itu kau teguk seperti meneguk air perasaan jeruk dingin di hari yang begitu panas?

Idealisme naif cenderung labil itu terlihat serupa awan yang mudah berubah bentuk dan berpindah arah. Namun di sini aku tak sedang mendektemu. Aku tak berkuasa akan itu, sebab kita semua punya perjalanan masing-masing, punya salah masing-masing. Sejak awal mengenalmu, kupikir akan temukan kembaran jiwa. Aku menaruh harapan tinggi. Kuinvestasikan apa pun, kuberi semua yang bisa kuberi. Kau tahu, kita punya cinta dalam sudut-sudut hati kita. Kita juga punya cara tersendiri saat menunjukkannya. Dan begitulah caraku menunjukkan cinta yang kupunya:

Memberimu perhatian lebih, hal-hal yang barangkali tak kaubutuhkan. Mungkin kutempuh jalan yang salah saat tunjukkan cinta. Mungkin aku berlebihan. Mungkin telah kau ingatkan tapi aku acuhkan. Mungkin kau jengah. Mungkin kau bosan tingkat parah. Tapi, di antara banyak kemungkinan itu, coba pahami, ada seseoran yang bahagia setiap kali kau ada. Dan ketika ia tunjukkan rasa bahagianya, barangkali dengan cara yang sulit kau mengerti. Tapi bukan menunjukkan jalan yang benar, kau malah meninggalkan dia sendirian di jalan itu. Kau asingkan dia dalam hidupmu, pantaskah?

Jujur, aku tak pernah memusingkan tentang stigma apa yang orang tuduhkan terhadapku. Aku berjalan dengan kakiku sendiri, bukan kaki mereka. Aku makan dengan tanganku sendiri, bukan tangan mereka. Aku berkarya, aku hidup, waktuku telah kukemas untuk hal-hal yang menurutku penting.

Takarlah ini, kesedihan apa lagi yang bisa lebih menyakitkan, ketika dua orang yang saling bicara, saling tahu satu sama lain harus berubah asing dalam rentan waktu singkat. Tapi sepertinya kau bahagia, di beberapa kesempatan kulihat kau tertawa, tanpa beban, hidupmu yang untuk dirimu sendiri tanpa harus pedulikan sekitar. Di sela lawakan teman-temanmu kau tertawa keras. Lantang sekali.

Kau adalah manusia dengan kadar kegengsian paling tinggi, terlebih di hadapan teman-teman dan masyarakat sekitarmu. Kau tidaklah boleh tampak norak, segala yang kau pilih mestilah hal-hal dengan standar di atas rata-rata. Kau tak boleh kalah saing, dan tak boleh dipermalukan.

Jika kau ingat, atau mau mengingat. Pernah aku bertanya, jika di satu keadaan aku menjadi bahan olok-olokan teman-temanmu, maka apa yang akan kaulakukan? (aku bertanya tentang ini, sebab aku tahu ini akan terjadi). Sebab di sini, ketika teman-temanku berbicara yang tak layak tentangmu, aku yang akan lantang membantah. Sebab kau orang terbaik yang kukenal, argumen jelek dan salah tentangmu tak akan kuizinkan keluar dari mulut siapapun.

Kau tahu, aku menaruh cemburu pada dua orang penyair ternama Sastra Indonesia. Adimas Imanuel dan Aan Mansyur. Bagaimana dalam dunia literasi mereka adalah dua sahabat yang serasi, begitu kompak, saling mendukung satu sama lain. Aku kerap berkhayal bahwa nanti kita akan menjadi seperti mereka. Dan saat menyadari kenyataan apa yang terjadi, aku berduka atas puisi-puisi yang kutulis untukmu. Serupa saat Chairil Anwar menulis puisi untuk sahabat-sahabatnya. Seperti saat Goenawan Mohamad, Joko Punirbo, dan sederet sastrawan lain yang tak luput menulis untuk sahabat-sahabat yang mereka cintai.

Jika ada kemungkinan kau membaca paragraf ini, anggap saja aku sedang meminta maaf. Maaf untuk kesalahan yang entah apa (bukan kali ini saja kita berkonflik). Kau tahu aku, aku tak pernah bisa tahan kalau harus terus-terusan berdiam-diaman denganmu, menipu hati sendiri, tapi aku juga enggan menegur sebab kutanggung rasa malu pada diriku, malu pada puisi-puisi yang kutulis.

Tadi sore, aku menemani Ibu berbelanja di Pajak. Di sana kulihat pedagang semangka. Aku jadi teringat—pernah sekonyong-konyong aku datang ke rumahmu mengantarkan semangka. Entah untuk apa, kadang aku merasa lucu pada diri sendiri, terlebih pada tindakan-tindakan yang kulakukan tanpa perencanaan. Aku tersenyum karena lucu sekaligus sedih. Sebab semangka itu jadi semangka pertama dan mungkin terakhir yang kubawa ke rumahmu. Tapi jangan mengira aku aneh. Anggaplah, apa-apa yang kuberikan padamu adalah perwujudan rasa syukurku sebab telah mengenal kau.

Ada kesedihan juga ketakjuban yang kutahan saat menulis ini. Sedih karena bisanya kita berjarak sebab fitnah-fitnah murah yang membuatmu risih. Takjub karena aku cuma bisa menulis, merangkainya dalam alenia-alenia huruf, mungkin aku terlahir memang untuk ini.

Nyatanya, aku dan kau selalu tahu, seperti puisi-puisi itu juga tahu,
tentang apa-apa yang tertulis
apa-apa yang tak tertulis
Tentang apa-apa yang terbaca
Pun apa-apa yang tak terbaca….

Sumber: Google

Ditulis di senja yang pucat,
10 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran