"Beginilah akhirnya yang mampu aku tuliskan;
sebuah sajak yang tak indah...."
-Aan Mansyur
Sumber: Google |
Ignotum per Ignotius
Oleh:
M. Ikhsan
Untuk
mengenalmu, aku mesti asing
Untuk
melupakanmu, aku mesti lebih mengingat
Untuk
merindukanmu, aku mesti kehilangan
Untuk
bahagiakanmu, aku mesti nelangsa
Untuk
membawamu pulang, aku mesti pergi
Untuk
membencimu, aku mesti mencintai
Untuk
tidak lagi mencintaimu, aku mesti menjadi bukan Aku.
(Padang
Bulan, 20 Agustus 2016)
Pikir
Oleh:
M. Ikhsan
Aku
memikirkan sesuatu lalu kupikirkan sebuah kupikirkan seonggok kupikirkan seutas
Aku
diam…
Diam
diam kupikirkan lagi sewujud kupikirkan sebongkah kemudian kupikirkan sesaat
kembali kupikirkan sesuatu.
Sesuatu
seperti ruas seperti rongga seperti saput seperti bentuk seperti Zat.
;Seperti
Kaukah pikiran?
(Padang
Bulan, Desember 2015)
Sandaran
Oleh: M. Ikhsan
:Padamu yang sedekat urat nadi, sedingin
laut lepas, sehangat hembusan nafas...
Bagai guci ditebali debu, aku
kehilangan arah menujuMu
secangkir teh pagi yang lupa
diminum, sebab pemiliknya tergesa-gesa berangkat kerja
Bagai sepatu tua tak terpakai, aku terlupa
sumpahku terlupa janjiMu
hidangan malam yang telah dingin kala ibu
menunggu anaknya tak pulang-pulang sejak kemarin
Bagai lilin menipis, aku bebatuan dikikis
dingin malam dilibas panas siang
sebab angin menjatuhkan daun lantaran
rindunya pada tanah, rindu setara
haluan doa
Bagai kembang gula bersemut, ilalang di
padang gersang
mendamba embun
menunggu hujan
meminta sunyi
sandaran bagi aku dan nafasku yang
merindukanMu
(Padang Bulan, Januari 2015)
Ada
Oleh:
M. Ikhsan
Seperti baru kuselesaikan satu perjalanan.
Menembus kabut
Melewati hutan tulang-tulang rotan
Dalam tubuhku sendiri
:Kau ada di sana
Aku menyusup dalam lorong-lorong bambu
Setelah badai hujan di musim ganjil
Aku mencarimu…
Detik-detik adalah sulur akar yang sekejap
mekar lalu layu
Waktu mengiris logika yang tak lagi lurus
:Ada cinta di mana kau tak mampu kusentuh
Kuharap kau masih di sana
Kendati aku tiba dengan kisah retak
Dari kepingan hasrat yang tidak diminta
Namun tak pula disangkal
:Kau pernah di sana.
(Padang Bulan, Oktober 2014)
Yang Tertulis dan Terbaca
Oleh: M. Ikhsan
:Untuk langit yang menghadiahi kami senja
sore itu
Katamu, mungkin kita belajar dari hidup
Lalu lupa kalau kita hidup
Waktu kau pikul sajak-sajak itu, aku
sangat ingin tahu
Apa yang kau kenang dan lupakan?
Langit menampung harapan kita
Bahkan cinta yang telah jadi ingatan.
Lalu kita sama berkisah
Tapi aku menyanggah
;jangan lekas berjanji, jangan katakan kau akan
begitu-begini
Sebab, kata-kata begitu lemah terhadap waktu.
Nyatanya kau begitu…
Menulis yang entah apa
Nyatanya aku begini…
Di paling langit menulis diriku
Namun yang terbaca selalu engkau.
(Padang Bulan, 18 Desember 2015)
(Puisi):
Di Kamarku, Sebuah Radio Memutar Lagu Sedih
Oleh:
M. Ikhsan
Sebelumnya
puisi ini kutulis dengan judul namamu
Sejenak
aku ragu, apakah kau akan suka?
Di kamarku, sebuah radio memutar lagu sedih
Aku pernah ingat kau katakan bahwa hatimu adalah laut yang tertutup kabut
Maka
kutulis puisi ini dengan judul laut
Tapi
aku kembali ragu, apakah kau akan tersinggung?
Di kamarku, sebuah radio memutar lagu sedih
Padahal di luar puisi ini kita sedang baik-baik saja
Seharusnya
aku tak perlu begitu khawatir
Maka
kutulis puisi ini dengan judul puisi
Barangkali
bukan seperti yang kaumau
Tapi
setidaknya aku sudah berusaha, berusaha terlihat baik-baik saja
Di kamarku, sebuah radio memutar lagu sedih
Sebab
kehilanganmu adalah kepastian, tapi selalu kupinta
Laut
yang berkabut….
Jangan
hari ini.
(Padang
Bulan, Juli 2016)
Dik Manis, puisi ini udh coba dikirim ke media fana diluar sana?
BalasHapusuntuk lomba kak, cuman gak menang...
BalasHapus