Diikut
sertakan dalam tantangan #KampusFiksi 10 Days Writing Challenge
18-27
Januari 2017
Hari
keempat
#10DaysKF.
Di
hari keempat ini, tema tulisan yang diberikan admin @KampusFiksi begitu terasa
personal. Ada keasyikan dan syur setiap kali saya menulis tentang sosok yang
penting atau berkesan. Sembari ada juga rasa enggan sebab barangkali boleh saya
katakana malu menuliskannya. Rasa malu yang personal.
Tanpa menyebutkan namanya, coba
ceritakan bagaimana pertemuan pertamamu dengan si dia.
Sungguh saya rada bingung “si dia” yang admin maksud, “si dia” yang mana?
Hahahaa. Sebab ada banyak “si dia” dalam dua puluh tahun saya bernapas.
Sejujurnya, banyaknya “si dia” itu berupa relasi sepihak, relasi satu arah,
lantaran mengungkapkan perasaan adalah kelemahan saya. Saya belum merasa
matang, belum merasa mampu, atau layak, untuk ungkapkan perasaan dengan jujur
pada “si dia” itu. Seringnya, perasaan saya hanya saya simpan dalam ruang
privat di antara sela jantung dan hati. Makanya saya suka menulis. Menulis
menjadi jalan yang estetik bagi saya mensyukuri kelemahan. Kelemahan ada bukan
untuk kita sesali atau jadikan alasan kejatuhan diri. Kelemahan justru ada
sebab alasan-alasan manusiawi. Dan mengakui kelemahan sesungguhnya adalah jalan
untuk kau tidak perlu merasa lemah.
Ya,
kelemahan saya adalah tidak berani mengutarakan perasaan, dalam hal ini rasa
personal pada seseorang. Sebab itu seringnya yang saya alami hanya relasi
sepihak dan satu arah. Saya senang dengannya, saya nyaman di dekatnya, saya
bersyukur mengenal dia, tapi semua itu hanya saya simpan sendiri, tak saya
ungkapkan. Tapi untuk alasan yang aneh saya merasa tak terbebani dengan itu.
Saya menjadi bebas. Bebas menyukai dengan cara yang saya punya. Mungkin terbaca
aneh, tapi saya bahagia. Adakah kebahagiaan mesti menuntut alasan-alasan yang
cerdas? Boleh kan, orang bahagia karena alasan yang barangkali konyol atau
bodoh. Hehehee.
Tapi
baiklah, saya akan coba menyederhanakan “si dia” itu. Saya rangkum dalam “tiga
julukan” jadi “dia” itu sebanyak tiga orang. Sebab ketiganya berkesan, saya
merasa tidak adil kalau harus menceritakan salah satu saja. Lantaran ini
hubungan satu arah, tak mengapa dong kalau lebih dari satu orang, kan bebas,
namanya juga suka-suka sendiri, nyaman-nyaman sendiri, asik sendiri. Hahahaha!
Dia yang pertama saya sebut Buku. Saya bertemu dengan si Buku di satu perpustakaan. awalnya saya kerap melihat si Buku di sana. Tapi akhirnya kami saling mengenal dari pertemuan entah yang untuk ke berapa, saya lupa. Saya punya kecenderungan untuk berada di satu tempat yang sama. Seperti saat di kelas, saya akan selalu duduk di bagian pinggir dekat dinding, di baris pertama. Selalu seperti itu, bahkan kalau pun berpindah kelas. Sama saat di perpustakaan, saya akan selalu berada di meja baca bagian ruang tengah perpustakaan yang dekat dengan AC, juga stopcontak untuk sumber linstrik, di dekat rak-rak buku jurusan Psikologi (padahal saya bukan mahasiswa jurusan itu). Dan ajaibnya, si Buku juga sering duduk di area itu. Kami berada di meja yang sama tapi tak saling bicara, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meski sesekali kami saling memperhatikan. (pengalaman ini pun sudah saya tuliskan di satu catatan blog saya: http://ikhsaaaan.blogspot.co.id/2016/01/perempuan-bermata-berawan-nan-sendu.html ).
Dia
yang kedua, saya juluki Akar Bunga Mati, ada alasan pribadi dari pemberian
julukan itu. Saya mengagumi sosoknya, banyak yang suka dengan dia. Dia pintar,
berbakat, punya jiwa yang lain dari kebanyakan orang. Dia berani, tangguh, dia
bunga yang dapat mekar tak peduli musim, tak peduli tempat. Namun,
kelebihan-kelebihannya itu yang membuat saya tak mampu meraihnya. Sehingga yang
saya dapat dari bunga itu hanya akarnya yang telah mati. Kami bertemu di satu
Klub Membaca. Dia yang lebih dulu berada di klub itu, saya pendatang yang baru
bergabung. Aktivitas-aktivitas di Klub Membaca membuat kami jadi sering
berinteraksi. Kelak dari interaksi itu saya tahu, bahwa kelebihan-kelebihan
yang dia miliki, membuat saya dan dia berjarak. Kelak saya sadari bahwa kami
berbeda dimensi. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya perbedaan pemikiran.
Dan saya waktu itu masih orang yang naïf, tak berpikiran terbuka. Pun dia
adalah sosok yang terlalu sempurna, sebab kesempurnaan itu membuat dia terlalu
meninggikan diri. Kami saling berbicara tapi hanya bercakap-cakap dalam jalur
yang berbeda. Seperti hanya bermonolog secara bergiliran. Kendati untuk sesuatu
yang tak bisa saya jabarkan, saya menyukainya. Rasa suka, tapi ada juga rasa
ketakterjangkauan sebab dimensi kami berbeda. Kelak saya sudah tidak lagi
datang ke Klub Membaca. Tapi beberapa kali kami masih saling menyapa.
Dia
yang ketiga, saya beri nama Membingungkan. Saya beri nama Membingungkan, karena
sungguh sosoknya membingungkan. Seperti bunglon, dia bisa berubah-ubah dari
satu warna ke warna yang lain. Kadang dingin, kadang hangat, kadang tak lagi
dapat saya tebak. Saya nyaman terhadapnya sebab bagi saya, dia memenuhi
syarat-syarat ideal sebagai seseorang yang membuat saya dapat jatuh cinta. Dia
orang yang padanya saya nyaman berbincang-bincang dengan seru. Dia orang yang
dengannya saya tidak enggan menunjukkan sisi saya yang lain. Diam-diam saya
sering merindukannya. Perlahan namun pasti saya mengakui, kalau saya jatuh
cinta. Saya tak ingin memanjang-manjangkan cerita romantis, atau meromantisir
drama di bagian pertemuan kami. Sederhana saja saya mengenalnya, kami saling
terkoneksi dari hubungan pertemanan. Secara tak langsung teman-teman kami
membuat saya dan dia jadi saling kenal. Dia satu-satunya orang dengan segala
teori-teorinya——yang sampai saat ini membentuk saya
jadi pribadi yang boleh jujur pada diri sendiri. Jadi seseorang yang harus
berani menampilkan diri. Tapi saat itu dia telah punya kekasih (kekasihnya
secara kebetulan adalah teman saya). Dialah orang pertama yang membuat saya
sadar bahwa saya telah memasuki fase baru dalam hidup. Boleh dibilang titik
proses bahwa ternyata saya bisa juga berada dalam keadaan menyukai kekasih
orang. Ini fase-fase yang aneh sekaligus berharga menurut
saya.
Baiklah,
saya mulai bergetar menuliskan ini. Saya takut akan teringat dan jadi
merindukannya lagi. Meskipun tak ada yang salah kalau kau mengingat dan
merindukan seseorang. Toh itu juga perasaan berharga yang hanya mampu kau
dapatkan dalam priode-priode mengejutkan selama kau bernafas. Dinamika manusia
bertumbuh, bermasyarakat, dan interaksimu pada sistem-sistem yang ada dalam
kehidupan. Saya belajar untuk menentukan sikap, berhenti merindukan dan
memikirkannya. Sebab saya menghormati teman saya. Pun mereka adalah pasangan
yang serasi, cocok, klop, pokoknya senang melihatnya. Saya pun turut berdoa
jika mereka bisa terus bersama-sama.
Menuliskan
hal ini membuat saya jadi mengulang kembali beberapa babak dalam hidup saya.
Betapa dahulu dan kini saya sungguh telah banyak berbeda. Awalnya ingin
menuliskan ini dengan gaya sedikit melucu, kok terasa terlalu serius jadinya.
Hehehe…
Cukuplah
untuk hari keempat ini. Ada beberapa episode film lagi belum saya selesaikan.
Bye!
Sumber: Google |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar