21 Januari 2017

Dia



Diikut sertakan dalam tantangan #KampusFiksi 10 Days Writing Challenge

18-27 Januari 2017
Hari keempat #10DaysKF.

Di hari keempat ini, tema tulisan yang diberikan admin @KampusFiksi begitu terasa personal. Ada keasyikan dan syur setiap kali saya menulis tentang sosok yang penting atau berkesan. Sembari ada juga rasa enggan sebab barangkali boleh saya katakana malu menuliskannya. Rasa malu yang personal.

Tanpa menyebutkan namanya, coba ceritakan bagaimana pertemuan pertamamu dengan si dia. Sungguh saya rada bingung “si dia” yang admin maksud, “si dia” yang mana? Hahahaa. Sebab ada banyak “si dia” dalam dua puluh tahun saya bernapas. Sejujurnya, banyaknya “si dia” itu berupa relasi sepihak, relasi satu arah, lantaran mengungkapkan perasaan adalah kelemahan saya. Saya belum merasa matang, belum merasa mampu, atau layak, untuk ungkapkan perasaan dengan jujur pada “si dia” itu. Seringnya, perasaan saya hanya saya simpan dalam ruang privat di antara sela jantung dan hati. Makanya saya suka menulis. Menulis menjadi jalan yang estetik bagi saya mensyukuri kelemahan. Kelemahan ada bukan untuk kita sesali atau jadikan alasan kejatuhan diri. Kelemahan justru ada sebab alasan-alasan manusiawi. Dan mengakui kelemahan sesungguhnya adalah jalan untuk kau tidak perlu merasa lemah.

Ya, kelemahan saya adalah tidak berani mengutarakan perasaan, dalam hal ini rasa personal pada seseorang. Sebab itu seringnya yang saya alami hanya relasi sepihak dan satu arah. Saya senang dengannya, saya nyaman di dekatnya, saya bersyukur mengenal dia, tapi semua itu hanya saya simpan sendiri, tak saya ungkapkan. Tapi untuk alasan yang aneh saya merasa tak terbebani dengan itu. Saya menjadi bebas. Bebas menyukai dengan cara yang saya punya. Mungkin terbaca aneh, tapi saya bahagia. Adakah kebahagiaan mesti menuntut alasan-alasan yang cerdas? Boleh kan, orang bahagia karena alasan yang barangkali konyol atau bodoh. Hehehee.

Tapi baiklah, saya akan coba menyederhanakan “si dia” itu. Saya rangkum dalam “tiga julukan” jadi “dia” itu sebanyak tiga orang. Sebab ketiganya berkesan, saya merasa tidak adil kalau harus menceritakan salah satu saja. Lantaran ini hubungan satu arah, tak mengapa dong kalau lebih dari satu orang, kan bebas, namanya juga suka-suka sendiri, nyaman-nyaman sendiri, asik sendiri. Hahahaha!


Dia yang pertama saya sebut Buku. Saya bertemu dengan si Buku di satu perpustakaan. awalnya saya kerap melihat si Buku di sana. Tapi akhirnya kami saling mengenal dari pertemuan entah yang untuk ke berapa, saya lupa. Saya punya kecenderungan untuk berada di satu tempat yang sama. Seperti saat di kelas, saya akan selalu duduk di bagian pinggir dekat dinding, di baris pertama. Selalu seperti itu, bahkan kalau pun berpindah kelas. Sama saat di perpustakaan, saya akan selalu berada di meja baca bagian ruang tengah perpustakaan yang dekat dengan AC, juga stopcontak untuk sumber linstrik, di dekat rak-rak buku jurusan Psikologi (padahal saya bukan mahasiswa jurusan itu). Dan ajaibnya, si Buku juga sering duduk di area itu. Kami berada di meja yang sama tapi tak saling bicara, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Meski sesekali kami saling memperhatikan. (pengalaman ini pun sudah saya tuliskan di satu catatan blog saya: http://ikhsaaaan.blogspot.co.id/2016/01/perempuan-bermata-berawan-nan-sendu.html ).

Dia yang kedua, saya juluki Akar Bunga Mati, ada alasan pribadi dari pemberian julukan itu. Saya mengagumi sosoknya, banyak yang suka dengan dia. Dia pintar, berbakat, punya jiwa yang lain dari kebanyakan orang. Dia berani, tangguh, dia bunga yang dapat mekar tak peduli musim, tak peduli tempat. Namun, kelebihan-kelebihannya itu yang membuat saya tak mampu meraihnya. Sehingga yang saya dapat dari bunga itu hanya akarnya yang telah mati. Kami bertemu di satu Klub Membaca. Dia yang lebih dulu berada di klub itu, saya pendatang yang baru bergabung. Aktivitas-aktivitas di Klub Membaca membuat kami jadi sering berinteraksi. Kelak dari interaksi itu saya tahu, bahwa kelebihan-kelebihan yang dia miliki, membuat saya dan dia berjarak. Kelak saya sadari bahwa kami berbeda dimensi. Hal tersebut ditandai dengan banyaknya perbedaan pemikiran. Dan saya waktu itu masih orang yang naïf, tak berpikiran terbuka. Pun dia adalah sosok yang terlalu sempurna, sebab kesempurnaan itu membuat dia terlalu meninggikan diri. Kami saling berbicara tapi hanya bercakap-cakap dalam jalur yang berbeda. Seperti hanya bermonolog secara bergiliran. Kendati untuk sesuatu yang tak bisa saya jabarkan, saya menyukainya. Rasa suka, tapi ada juga rasa ketakterjangkauan sebab dimensi kami berbeda. Kelak saya sudah tidak lagi datang ke Klub Membaca. Tapi beberapa kali kami masih saling menyapa.

Dia yang ketiga, saya beri nama Membingungkan. Saya beri nama Membingungkan, karena sungguh sosoknya membingungkan. Seperti bunglon, dia bisa berubah-ubah dari satu warna ke warna yang lain. Kadang dingin, kadang hangat, kadang tak lagi dapat saya tebak. Saya nyaman terhadapnya sebab bagi saya, dia memenuhi syarat-syarat ideal sebagai seseorang yang membuat saya dapat jatuh cinta. Dia orang yang padanya saya nyaman berbincang-bincang dengan seru. Dia orang yang dengannya saya tidak enggan menunjukkan sisi saya yang lain. Diam-diam saya sering merindukannya. Perlahan namun pasti saya mengakui, kalau saya jatuh cinta. Saya tak ingin memanjang-manjangkan cerita romantis, atau meromantisir drama di bagian pertemuan kami. Sederhana saja saya mengenalnya, kami saling terkoneksi dari hubungan pertemanan. Secara tak langsung teman-teman kami membuat saya dan dia jadi saling kenal. Dia satu-satunya orang dengan segala teori-teorinya——yang sampai saat ini membentuk saya jadi pribadi yang boleh jujur pada diri sendiri. Jadi seseorang yang harus berani menampilkan diri. Tapi saat itu dia telah punya kekasih (kekasihnya secara kebetulan adalah teman saya). Dialah orang pertama yang membuat saya sadar bahwa saya telah memasuki fase baru dalam hidup. Boleh dibilang titik proses bahwa ternyata saya bisa juga berada dalam keadaan menyukai kekasih orang. Ini fase-fase yang aneh sekaligus berharga menurut saya.

Baiklah, saya mulai bergetar menuliskan ini. Saya takut akan teringat dan jadi merindukannya lagi. Meskipun tak ada yang salah kalau kau mengingat dan merindukan seseorang. Toh itu juga perasaan berharga yang hanya mampu kau dapatkan dalam priode-priode mengejutkan selama kau bernafas. Dinamika manusia bertumbuh, bermasyarakat, dan interaksimu pada sistem-sistem yang ada dalam kehidupan. Saya belajar untuk menentukan sikap, berhenti merindukan dan memikirkannya. Sebab saya menghormati teman saya. Pun mereka adalah pasangan yang serasi, cocok, klop, pokoknya senang melihatnya. Saya pun turut berdoa jika mereka bisa terus bersama-sama.

Menuliskan hal ini membuat saya jadi mengulang kembali beberapa babak dalam hidup saya. Betapa dahulu dan kini saya sungguh telah banyak berbeda. Awalnya ingin menuliskan ini dengan gaya sedikit melucu, kok terasa terlalu serius jadinya. Hehehe…

Cukuplah untuk hari keempat ini. Ada beberapa episode film lagi belum saya selesaikan. Bye!

Sumber: Google

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran