Pertama-tama
sebagai pembuka tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Awie
Awan yang begitu baik mengirimkan novel pertamanya yang berjudul Kiss
The Sun ini via JNE kepada saya. Hehehee. Saya tidak akan menyebut
tulisan ini sebagai resensi atau review buku. Sungguh saya merasa tak
berkompeten untuk itu. Tapi, anggap saja tulisan ini sebagai ucapan selamat
atas terbitnya novel perdanamu ini. Sekali lagi terima kasih! :D
Kover depan |
Hal
pertama yang saya bayangkan saat menyelesaikan membaca novel setebal 232
halaman terbitan Andi Publisher tahun 2017 ini, dalam waktu dua hari adalah, bagaimana
jika saat terbangun dari tidur di pagi hari, kamu mendapati dirimu sudah
berubah menjadi bukan dirimu lagi? Kamu bermetamorfosis menjadi sesuatu yang
lain. Menjadi kecoak mungkin? Atau menjadi salah satu bantal di kasurmu? Atau
kamu yang semula berjenis kelamin perempuan mendadak menjadi laki-laki atau
sebaliknya. Jika ditanya bagaimana reaksi saya saat mengalami nasib seperti
itu, maka saya akan lantang berkata: HIDUP MACAM APA INI?!!!
Dan itulah premis cerita yang ditawarkan Awie Awan dalam Kiss The Sun.
Cherry
(Tokoh utama) panik saat menemukan dirinya terbangun di pagi hari dan mendadak
berubah menjadi seorang pria bertubuh krempeng, dan berwajah buruk rupa.
Cherry
pun meminta bantuan sahabatnya—Melly untuk mencari tahu mengapa dirinya bisa
berubah wujud dan mencari cara agar dirinya bisa kembali ke wujud semula. Dalam
usaha-usaha Cherry bersama Melly untuk mencari jawaban dan alasan atas apa yang
terjadi pada hidupnya, Cherry mengganti namanya menjadi Gerry.
Kover belakang |
Secara
seklias novel ini mengingatkan saya, setidaknya pada dua film: Secret Garden
(2010) dan The Beauty Inside (2015).
Di
film Secret Garden, kedua tokoh utama Gil Ra-Im yang karena meminum sebuah
ramuan jadi bertukar jiwanya dengan Kim Joo-won (yang kelak setelah melalui
pahit, manis, suka, duka, bahagia, dan getir hidup akan menjadi pasangan tak
terlupakan sepanjang masa, oke ini lebay!).
Sedangkan
di film The Beauty Inside yang merupakan remake
dari film Amerika tahun 2012 yang berjudul sama, bercerita tentang seorang pria
Desaigner Furniture (Woo Jin) yang setiap bangun tidur akan berubah menjadi
sosok orang lain. Pilihan perubahan wujudnya bisa beragam dan random, dari
perempuan, gadis, ibu-ibu, nenek-nenek, sampai laki-laki, om-om, bapak-bapak,
juga kakek-kakek. (Bayangkanla, itu hidup yang ribet!). Film ini salah satu
yang saya favoritkan satu alasan pasti karena tokoh utama wanitanya Yi Soo
adalah kakak cantik Han Hyo Joo. (Heheheee). Selain dua tokoh utama film ini
juga diisi oleh sederet pemain yang tak saya hapal namanya, salah satu film
yang melibatkan banyak aktor dan aktris.. Selebihnya pada tahulah bagaimana
misrisnya jalan cerita hidup kedua tokoh itu. Yang setelah menontonnya membuat
saya sadar, bahwa “keindahan” di dalam diri seseorang itu lebih berharga
daripada tampilan luarnya. Dan
saya menduga hal-hal seperti yang ada di dua film di atas yang coba Awie Awan
suguhkan dalam novelnya ini.
Secara
keseluruhan saya cukup menikmati membaca novel Kiss The Sun ini.
Sebagaimana yang saya yakini bahwa seni dalam bercerita adalah usaha dari
seorang pencerita untuk bisa meyakinkan pembaca atau pendengar cerita bahwa
cerita yang dituturkan/dituliskannya itu benar-benar mampu meyakinkan. Meski
harus jujur saya akui, novel ini bukan selera bacaan saya. Tapi bagi kamu yang
berniat menjadi penulis atau sedang belajar bagaimana membuat cerita yang
menarik novel ini bisa jadi bahan belajar kamu. Saya juga belajar dari segala
jenis macam bacaan (iklan alat pembesar ini itu pun saya baca, sobekan koran tentang
berita kenaikan harga cabai pun saya baca, *abaikan).
Bagi saya novel ini sedikit banyak, dibangun oleh dialognya. Narasi pembawa cerita di novel ini tidak seperti novel-novel sastra yang membuai kamu dengan untaian kalimat magis nan indah. Narasi di novel ini cenderung datar dengan kalimat-kalimat yang tidak susah dicerna, kamu tidak akan dibuat bingung dengan anak kalimat yang banyak.
Yang
saya suka memang dialog-dialog “nyeleneh” antar tokohnya. Sepertinya si penulis
berusaha menyajikan unsur komedi untuk menghibur pembaca, yang bagi saya kadang
berhasil kadang juga tidak. Namun, bagian cerita saat Cherry yang telah berubah
menjadi Gerry harus berusaha meyakinkan Melly—sahabatnya jika Gerry benar-benar
adalah Cherry, itu cukup mengharukan dan buat ngakak.
Hanya
saja ide menjadikan ciuman cinta sejati sebagai salah satu suguhan konflik
memang bukan selera saya (lagi-lagi ini soal selera). Saya jadi membayangkan
kisah-kisah kalasik dongeng yang membuat seekor kodok menjadi pangeran tampan.
Atau si binatang buruk rupa menjadi pewaris tahtah yang diidam-idamkan. Dalam
kasus novel ini adalah Gerry cowok biasa-biasa saja yang berubah menjadi cewek
cantik--Cherry setelah mendapat ciuman cinta sejati dari James kekasihnya
seorang aktor yang baru saja berada di puncak ketenaran. Hhhmm…
Pada
akhirnya, saya menghargai usaha-usaha Awie Awan untuk membuat saya sebagai
pembaca, turut percaya pada ceritanya, turut bersedih dan ngakak pada
ceritanya, dan turut berujar: “Hidup macam apa ini?!” pada ceritanya.
Sekali
lagi selamat untuk terbitnya novel ini ya… Awie Awan. Sukses terus untuk
karya-karya selanjutnya!
Kamu
yang merasa tertarik dan ingin membaca. Novel ini sudah tersedia di seluruh
toko buku. Selamat membaca, selamat belajar. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar