8 Juli 2017

Kiss The Sun: Hidup Macam Apa Ini?!



Pertama-tama sebagai pembuka tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Awie Awan yang begitu baik mengirimkan novel pertamanya yang berjudul Kiss The Sun ini via JNE kepada saya. Hehehee. Saya tidak akan menyebut tulisan ini sebagai resensi atau review buku. Sungguh saya merasa tak berkompeten untuk itu. Tapi, anggap saja tulisan ini sebagai ucapan selamat atas terbitnya novel perdanamu ini. Sekali lagi terima kasih! :D

Kover depan


Hal pertama yang saya bayangkan saat menyelesaikan membaca novel setebal 232 halaman terbitan Andi Publisher tahun 2017 ini, dalam waktu dua hari adalah, bagaimana jika saat terbangun dari tidur di pagi hari, kamu mendapati dirimu sudah berubah menjadi bukan dirimu lagi? Kamu bermetamorfosis menjadi sesuatu yang lain. Menjadi kecoak mungkin? Atau menjadi salah satu bantal di kasurmu? Atau kamu yang semula berjenis kelamin perempuan mendadak menjadi laki-laki atau sebaliknya. Jika ditanya bagaimana reaksi saya saat mengalami nasib seperti itu, maka saya akan lantang berkata: HIDUP MACAM APA INI?!!!

Dan itulah premis cerita yang ditawarkan Awie Awan dalam Kiss The Sun.
Cherry (Tokoh utama) panik saat menemukan dirinya terbangun di pagi hari dan mendadak berubah menjadi seorang pria bertubuh krempeng, dan berwajah buruk rupa.

Cherry pun meminta bantuan sahabatnya—Melly untuk mencari tahu mengapa dirinya bisa berubah wujud dan mencari cara agar dirinya bisa kembali ke wujud semula. Dalam usaha-usaha Cherry bersama Melly untuk mencari jawaban dan alasan atas apa yang terjadi pada hidupnya, Cherry mengganti namanya menjadi Gerry.

Kover belakang


Secara seklias novel ini mengingatkan saya, setidaknya pada dua film: Secret Garden (2010) dan The Beauty Inside (2015).

Di film Secret Garden, kedua tokoh utama Gil Ra-Im yang karena meminum sebuah ramuan jadi bertukar jiwanya dengan Kim Joo-won (yang kelak setelah melalui pahit, manis, suka, duka, bahagia, dan getir hidup akan menjadi pasangan tak terlupakan sepanjang masa, oke ini lebay!).

Sedangkan di film The Beauty Inside yang merupakan remake dari film Amerika tahun 2012 yang berjudul sama, bercerita tentang seorang pria Desaigner Furniture (Woo Jin) yang setiap bangun tidur akan berubah menjadi sosok orang lain. Pilihan perubahan wujudnya bisa beragam dan random, dari perempuan, gadis, ibu-ibu, nenek-nenek, sampai laki-laki, om-om, bapak-bapak, juga kakek-kakek. (Bayangkanla, itu hidup yang ribet!). Film ini salah satu yang saya favoritkan satu alasan pasti karena tokoh utama wanitanya Yi Soo adalah kakak cantik Han Hyo Joo. (Heheheee). Selain dua tokoh utama film ini juga diisi oleh sederet pemain yang tak saya hapal namanya, salah satu film yang melibatkan banyak aktor dan aktris.. Selebihnya pada tahulah bagaimana misrisnya jalan cerita hidup kedua tokoh itu. Yang setelah menontonnya membuat saya sadar, bahwa “keindahan” di dalam diri seseorang itu lebih berharga daripada tampilan luarnya. Dan saya menduga hal-hal seperti yang ada di dua film di atas yang coba Awie Awan suguhkan dalam novelnya ini.

Secara keseluruhan saya cukup menikmati membaca novel Kiss The Sun ini. Sebagaimana yang saya yakini bahwa seni dalam bercerita adalah usaha dari seorang pencerita untuk bisa meyakinkan pembaca atau pendengar cerita bahwa cerita yang dituturkan/dituliskannya itu benar-benar mampu meyakinkan. Meski harus jujur saya akui, novel ini bukan selera bacaan saya. Tapi bagi kamu yang berniat menjadi penulis atau sedang belajar bagaimana membuat cerita yang menarik novel ini bisa jadi bahan belajar kamu. Saya juga belajar dari segala jenis macam bacaan (iklan alat pembesar ini itu pun saya baca, sobekan koran tentang berita kenaikan harga cabai pun saya baca, *abaikan).

Bagi saya novel ini sedikit banyak, dibangun oleh dialognya. Narasi pembawa cerita di novel ini tidak seperti novel-novel sastra yang membuai kamu dengan untaian kalimat magis nan indah. Narasi di novel ini cenderung datar dengan kalimat-kalimat yang tidak susah dicerna, kamu tidak akan dibuat bingung dengan anak kalimat yang banyak.

Yang saya suka memang dialog-dialog “nyeleneh” antar tokohnya. Sepertinya si penulis berusaha menyajikan unsur komedi untuk menghibur pembaca, yang bagi saya kadang berhasil kadang juga tidak. Namun, bagian cerita saat Cherry yang telah berubah menjadi Gerry harus berusaha meyakinkan Melly—sahabatnya jika Gerry benar-benar adalah Cherry, itu cukup mengharukan dan buat ngakak.

Hanya saja ide menjadikan ciuman cinta sejati sebagai salah satu suguhan konflik memang bukan selera saya (lagi-lagi ini soal selera). Saya jadi membayangkan kisah-kisah kalasik dongeng yang membuat seekor kodok menjadi pangeran tampan. Atau si binatang buruk rupa menjadi pewaris tahtah yang diidam-idamkan. Dalam kasus novel ini adalah Gerry cowok biasa-biasa saja yang berubah menjadi cewek cantik--Cherry setelah mendapat ciuman cinta sejati dari James kekasihnya seorang aktor yang baru saja berada di puncak ketenaran. Hhhmm…

Pada akhirnya, saya menghargai usaha-usaha Awie Awan untuk membuat saya sebagai pembaca, turut percaya pada ceritanya, turut bersedih dan ngakak pada ceritanya, dan turut berujar: “Hidup macam apa ini?!” pada ceritanya.
Sekali lagi selamat untuk terbitnya novel ini ya… Awie Awan. Sukses terus untuk karya-karya selanjutnya!

Kamu yang merasa tertarik dan ingin membaca. Novel ini sudah tersedia di seluruh toko buku. Selamat membaca, selamat belajar. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran