4 April 2014

10+1 Alasan Memilih Jurusan Sastra Indonesia



INILAH SEBELAS alasan kenapa saya memilih jurusan Sastra Indonesia (anggap saja ini sikap politik saya mengambil jurusan ini, hehehehe) :
1.      Memangnya tidak boleh?
2.      Tidak merasa yakin bisa di jurusan Kedokteran.
3.      Tidak peduli yang penting kuliah.
4.      Sangat peduli makanya saya ambil jurusan ini.
Dalam beberapa faktor saya cenderung bersikap tidak peduli perihal jurusan apa yang saya ambil, tapi di sisi lain saya sangatlah peduli. Kepedulian itu hadir dari pemicu sederhana: sejak di bangku SMA saya senang dengan kegiatan mengarang atau kepenulisan. Bahkan saya dulu punya cita-cita ingin jadi wartawan. Kegiatan berteater, drama, atau kegiatan-kegiatan berbau seni saya juga menyenanginya, sering tampil di depan umum membacakan puisi sejak SD membuat saya yakin, mengapa Sastra Indonesia tidak saya jadikan pilihan saat mendaftar PTN?
      Orang-orang mungkin sering bertanya: “Ngapain amil jurusan Sastra Indonesia, emangnya nggak bisa bahasa Indonesia?” kerap orang-orang cenderung berpikiran keliru seperti itu. Padahal banyak yang bisa dipelajari di jurusan Sastra Indoensia selain belajar bahasa Indoensia. Hei!!! Pelajaran bahasa Indonesia memang pelajaran wajib, bukan hanya saat kau mengenakan seragam putih-merah, putih-biru, putih-abu-abu, atau jika itu seragam putih-pelangi sekali pun kau tetap akan belajar bahasa Indonesia di negri ini. Karena keinginan meluruskan kekeliruan semacam itulah mengapa saya peduli untuk berada di Sastra Indonesia.
5.      Trauma dengan Matematika.
Sewaktu di bangku sekolah, matematika adalah pelajaran yang saya benci. Saya ambil Sastra Indonesia sebagai pelarian agar dapat menghindari pelajaran yang satu itu. Saya lebih tertarik menulis seribu puisi daripada disuruh menghitung nilai variable dari bilangan pecahan kelipatan seratus akar seribu pangkat kuadrat yang hasilnya sama dengan nol (abaikan kalimat saya ini, saya saja bingung dengan apa yang saya tulis).
6.      Tidak berbakat jadi pengacara.
Alasan yang aneh memang, tapi itulah kenyataannya.
7.      Jurusan Sastra Indonesia tidak begitu banyak yang meminati.
Loh, kalau tidak banyak yang berminat kenapa kamu ambil? Tanya seorang dari kejauhan puncak gunung Simeru. Coba bayangkan, kalau terus-terusan jurusan ini tidak ada yang meminatinya? Jurusan ini bisa saja ditutup. Apa?! Jurusan Sastra Indonesia akan ditutup karena tidak ada peminatnya? Kan gawat! Kembali ke alas an nomor empat, saya begitu peduli makanya saya ambil jurusan ini.
8.      Jurusan tidak lantas menentukan masa depan.
Anggap saja ini alasan menghibur diri. Walau saya lihat saat nanti akan melamar pekerjaan lulusan jurusan ini bakal sedikit banyaknya lebih berusaha bersaing dengan lulusan jurusan lain. Tapi masa depan, siapa yang tahu saudara-saudara.
9.      Takdir.
Saya ingat sewaktu SMA dulu sebelum menjalani UN, saya dan teman-teman iseng jalan-jalan ke USU. Kami mendatangi satu fakultas yang tidak cantik-cantik kali tapi tidak juga buruk-buruk kali. Baru setelah kuliah saya sadar, bahwa fakultas yang saya dan teman-teman datangi dahulu adalah Fakultas Ilmbu Budaya. Kebetulan ya?
10.  Sudahlah saya sudah terlanjur asik di jurusan ini buat apa dipertanyakan lagi.
Mahasiswa stambuk 2013 Bahasa dan Sastra Indonesia, FIB, USU


+1. Dan mengapa saya menuliskan alasan yang aneh-aneh ini? Sebab selalu ditanya. Jujur bukan baru kali ini saja saya ditanya mengapa mengambil jurusan Sastra Indonesia. Hal semacam itu membuat saya harus membentuk alasan agar bisa menamengi diri dari serangan pertanyaan rada idealis—diplomatis--politis: “mengapa mengambil jurusan Sastra Indoensia?” Padahal bagi saya, tidak ada sesuatu yang berlebihan mengapa saya mengambil jurusan ini. Barangkali begitulah kesadaran. Sebenarnya apa yang saya jalani dalam hidup saya mengalir begitu saja. Namun, ketika ditanya kenapa? Seperti pertanyaan, kenapa kamu makan? Kenapa kamu minum? Sebab ditanya saya seolah dipaksa untuk menyadari dan merumuskan sesuatu yang sebenarnya adalah hal wajar seperti makan atau minum tadi. Lantas hal yang sesungguhnya wajar tersebut menjelma sikap atau perinsip.

Mahasiswa stambuk 2013 Bahasa dan Sastra Indonesia, FIB, USU



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran