INILAH
SEBELAS alasan kenapa saya memilih jurusan Sastra Indonesia (anggap saja ini
sikap politik saya mengambil jurusan ini, hehehehe) :
1. Memangnya
tidak boleh?
2. Tidak
merasa yakin bisa di jurusan Kedokteran.
3. Tidak
peduli yang penting kuliah.
4. Sangat
peduli makanya saya ambil jurusan ini.
Dalam beberapa faktor
saya cenderung bersikap tidak peduli perihal jurusan apa yang saya ambil, tapi
di sisi lain saya sangatlah peduli. Kepedulian itu hadir dari pemicu sederhana:
sejak di bangku SMA saya senang dengan kegiatan mengarang atau kepenulisan.
Bahkan saya dulu punya cita-cita ingin jadi wartawan. Kegiatan berteater,
drama, atau kegiatan-kegiatan berbau seni saya juga menyenanginya, sering tampil
di depan umum membacakan puisi sejak SD membuat saya yakin, mengapa Sastra
Indonesia tidak saya jadikan pilihan saat mendaftar PTN?
Orang-orang mungkin sering bertanya: “Ngapain amil jurusan
Sastra Indonesia, emangnya nggak bisa bahasa Indonesia?” kerap orang-orang
cenderung berpikiran keliru seperti itu. Padahal banyak yang bisa dipelajari di
jurusan Sastra Indoensia selain belajar bahasa Indoensia. Hei!!! Pelajaran
bahasa Indonesia memang pelajaran wajib, bukan hanya saat kau mengenakan
seragam putih-merah, putih-biru, putih-abu-abu, atau jika itu seragam
putih-pelangi sekali pun kau tetap akan belajar bahasa Indonesia di negri ini.
Karena keinginan meluruskan kekeliruan semacam itulah mengapa saya peduli untuk
berada di Sastra Indonesia.
5. Trauma
dengan Matematika.
Sewaktu di bangku
sekolah, matematika adalah pelajaran yang saya benci. Saya ambil Sastra
Indonesia sebagai pelarian agar dapat menghindari pelajaran yang satu itu. Saya
lebih tertarik menulis seribu puisi daripada disuruh menghitung nilai variable
dari bilangan pecahan kelipatan seratus akar seribu pangkat kuadrat yang
hasilnya sama dengan nol (abaikan kalimat saya ini, saya saja bingung dengan
apa yang saya tulis).
6. Tidak
berbakat jadi pengacara.
Alasan yang aneh
memang, tapi itulah kenyataannya.
7. Jurusan
Sastra Indonesia tidak begitu banyak yang meminati.
Loh, kalau tidak banyak
yang berminat kenapa kamu ambil? Tanya seorang dari kejauhan puncak gunung
Simeru. Coba bayangkan, kalau terus-terusan jurusan ini tidak ada yang
meminatinya? Jurusan ini bisa saja ditutup. Apa?! Jurusan Sastra Indonesia akan
ditutup karena tidak ada peminatnya? Kan gawat! Kembali ke alas an nomor empat,
saya begitu peduli makanya saya ambil jurusan ini.
8. Jurusan
tidak lantas menentukan masa depan.
Anggap saja ini alasan menghibur
diri. Walau saya lihat saat nanti akan melamar pekerjaan lulusan jurusan ini
bakal sedikit banyaknya lebih berusaha bersaing dengan lulusan jurusan lain.
Tapi masa depan, siapa yang tahu saudara-saudara.
9. Takdir.
Saya ingat sewaktu SMA
dulu sebelum menjalani UN, saya dan teman-teman iseng jalan-jalan ke USU. Kami
mendatangi satu fakultas yang tidak cantik-cantik kali tapi tidak juga
buruk-buruk kali. Baru setelah kuliah saya sadar, bahwa fakultas yang saya dan
teman-teman datangi dahulu adalah Fakultas Ilmbu Budaya. Kebetulan ya?
10. Sudahlah
saya sudah terlanjur asik di jurusan ini buat apa dipertanyakan lagi.
Mahasiswa stambuk 2013 Bahasa dan Sastra Indonesia, FIB, USU |
+1.
Dan mengapa saya menuliskan alasan yang aneh-aneh ini? Sebab selalu ditanya.
Jujur bukan baru kali ini saja saya ditanya mengapa mengambil jurusan Sastra
Indonesia. Hal semacam itu membuat saya harus membentuk alasan agar bisa
menamengi diri dari serangan pertanyaan rada idealis—diplomatis--politis: “mengapa
mengambil jurusan Sastra Indoensia?” Padahal bagi saya, tidak ada sesuatu yang berlebihan
mengapa saya mengambil jurusan ini. Barangkali begitulah kesadaran. Sebenarnya
apa yang saya jalani dalam hidup saya mengalir begitu saja. Namun, ketika
ditanya kenapa? Seperti pertanyaan, kenapa kamu makan? Kenapa kamu minum? Sebab
ditanya saya seolah dipaksa untuk menyadari dan merumuskan sesuatu yang
sebenarnya adalah hal wajar seperti makan atau minum tadi. Lantas hal yang sesungguhnya
wajar tersebut menjelma sikap atau perinsip.
Mahasiswa stambuk 2013 Bahasa dan Sastra Indonesia, FIB, USU |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar