28 April 2014

Dalam Ruang Hasil Fusi


Untuk Manusia yang cuma ada satu di dunia, Abdul Ghafur.

Tttrrrrtttttt....

Ponsel pria bertubuh tinggi di sampingku bergetar. Bukan tanpa alasan dia berada tepat di sebelah kiriku. Perjalanan mencari tempat fotocopy  terasa seperti jadi perjalanan mencari jati diri jika bersamanya. Hampir dua puluh menit kami langkahkan kaki di sekitar area Fakultas Ekonomi, namun sang mesin pengganda bersebut fotocopy itu belum kami temukan. Perjalan semakin panjang. Aku semakin suka.
“Haloo, iya... nanti... nggak, pulang kok. Iya,” gumamnya. Entah perbincangan seperti apa yang tengah berlangsung di antara dia dan si penelepon. Sebelum intuisiku usai mencerna perbincangan mereka berakhir ditutup salam.
“Siapa bang, pacar?” Tebakku asal.
“Eh... bukan, Ayah nanyaain pulang enggak hari ini.”
“Enak kali ya, bisa dapat perhatian sebegitu penting dari orang yang penting.” Komentarku, kali ini tidak asal.
Pria tinggi ini cuma tersenyum, tidak pasti itu senyuman apa. Yang jelas dia tampak lebih berbeda saat tersenyum.
“Aku nggak pernahlah diperhatiin kayak gitu. Jangankan nanyak kapan pulang, nggak pulang pun mungkin nggak apa-apa. Pernah waktu itu, aku dua hari enggak pulang, begitu sampai di rumah, keadaan biasa-biasa aja, kayak aku ini makhluk astral nggak terlihat. Enggak ada yang peduli.” Celotehku sedikit mendramatisir.
“Itu semua kembali kepada Ikhsan,” pria tinggi ini menyebut namaku. Dia tahu atau tidak, yang pasti hal sederhana itu membuat aku merasa dipedulikan.
“Maksudnya?”
“Ikhsan merasa nyaman dengan itu atau tidak? Selama Ikhsan ngerasa nyaman, berarti semuanya baik-baik saja kan?”
Ada kalanya aku merasa iri dengan pria tinggi ini, dari pandangan fanaku dia terlihat sebagai sosok yang sempurna. Berintelegensi tinggi, punya intuisi yang jujur, penyabar, dan fisik yang semua wanita menyukainya: tinggi.
Aku tak pernah dapat jawaban pasti tentang apa itu hal yang disebut keadaan baik-baik saja. Yang pasti kuketahui bahwa aku hidup. Aku utuh. Itu saja.
Perjalanan mencari mesin fotocopy masih berlangsung, di sela sengatan sinar matahari. Terasa cahaya dari bintang besar itu menggigiti kulit kami.
Panasnya, bisa makin hitam ini.” Keluhnya. Jujur aku terkejut, baru pertama kali ini kudengar dia mengeluh.
“Nggak apa-apalah bang jadi hitam biar makin jantan.” Komentarku tanpa berpikir.
Dan perjalanan menjadi semakin seru. Bagaimana tidak seru? Di  kawasan universitas yang begitu besar ini, yang di dalamnya terdapat puluhan tempat fotocopy, tapi kami dengan lugunya hanya berhasrat pada satu tempat fotocopy dengan alasan: harga-cetak-perlembarnya-lebih-murah.
Pria tinggi di sampingku ini adalah pengamat paling ahli. Aku menduga. Sebab selain kaki berjalan, mata dan pikirannya pun dia fungsikan untuk mengamati lingkungan sekitar. Para kerumunan mahasiswa yang sibuk pada aktivitas mereka di jalan dengan berbagai macam ekspresi, pola, tingkah laku, tak luput dari observasi sederhana dari mata dan pikirannya.
Perbincangan kami pun beralih pada topik manusia. Manusia yang menciptakan makna. Manusia yang mencari tujuan. Dan manusia yang menentukan plihan.
“Hanya manusialah makhluk yang mempelajari dirinya sendiri.” Ujar pria tinggi ini.
“Dan cuma manusialah yang mencari-cari jawaban. Hidup untuk selangkah demi selangkah pertanyaan.” Timpaku.
Dalam jenak kuperhatikan raut wajahnya bersapu cahaya matahari. Kucoba memahami bahasa non-verbal yang tubuhnya utarakan. Aku tak pernah puas dengan hal itu. Ada satu sisi bersaput kelebihan yang kuanggap hanya dia saja yang punya. Berharap aku bisa miliki sisi itu. Satu sisi itu berusaha kutelan bulat-bulat. Sampai jiwaku kenyang karenanya. [*]



Untuk pria Mandailing bernama Araf Ali Wijaya Pasaribu.
            
              Di antara semua kegiatan pendakian yang pernah kulakukan. Pendakian gunung kali ini adalah hal paling berat yang aku rasakan. Jalur tersulit ini dipilih tanpa terlebih dahulu lakukan kesepakatan, asal jalan, pokoknya lanjut terus. Tapi di atas kelelahan dan gerutuku, setidaknya pendakian ini kulakukan bersama orang yang tepat. Pria bersuku Mandailing dengan julukan si penggila tantangan. Itu julukan dariku, tapi aku tak pernah memberi tahu.
            Sedikit mengenainya, dia terlalu ramah dan hangat untuk seorang laki-laki. Setiap kali berbicara dengannya, selalu ada sampah hatiku yang ingin keluar. Biasanya, aku bisa dengan mudah membuat obrolan dengan orang lain menjadi pancaran rahasia dan kegelisahan. Tapi berbeda dengan dia. Aku merasa tertelanjangi tanpa penawar rasa malu. Walau kuat inginku menempel padanya bak benalu, menyerap habis rahasia dan gelisahnya, sekali pun tak pernah bisa kudapatkan hal itu.
            Kadang di dekatnya, aku menjadi kurang manusia. Ketenangannya, kendalinya atas setiap emosi dan intonasi membuatku iri. Wajah kantuknya dan kemahirannya berbahasa daerah malah membuatku lebih iri lagi. Dia memang bukan manusia standar, dia di atas rata-rata. Dan dengan segala pengakuan itu, sekali lagi, aku tak pernah memberi tahu.
            Banyak yang kupelajari darinya, sekedar bercermin pada diri dan bahan referensi. Aku belajar untuk tidak terlalu banyak meminta. Aku belajar untuk lebih banyak memberi, mensyukuri dan menerima apa yang telah diberi. Setelah aku sadar betapa banyaknya perjalan dan pilihan yang telah aku lewatkan. Bahkan dengan semua kesusahan atau lebih tepatnya tantangan yang Allah berikan ketika pendakian waktu itu, dingin awan hitam yang menggantung dan akirnya tumpah menjadi hujan lebat, menusuk kulit sampai ketulang, tak sempat beristirahat untuk makan siang, perjalanan pulang yang rumit, di mana semua orang tampak resah dan kehilanagn arah, ditambah lagi hari yang berganti gelap. Dia adalah satu sosok dalam penglihatanku yang tahu bagaiman harus mengatur segala emosi, segala ketakutan, segala kecemasan, menjadi pelajaran dan tantangan tak terlupakan.
            Di pendakian waktu itu, dia bercerita tentang tujuannya, tentang janji terhadap orang tua, terutama janji “Jangan pernah menyakiti hati seorang Ibu.” Janji yang setia dicengkramnya kuat-kuat. Pemikiran-pemikirannya. Hal-hal unik dalam benaknya. Juga segala hal luar biasa yang bisa kuingat namun sulit kuceritakan.
           Aku sempat menanyakan ini padanya, pertanyaan yang kulontarkan tanpa menyaringya terlebih dahulu. “Wanita macam apa ya, yang cocok dengan abang?”
            Dan dia hanya tertawa.
            Aku jadi teringat pada buah hutan yang diberikannya sewaktu pendakian itu. Buah berwarna merah, dengan ukuran kecil berbentuk seperti Berry. Rasanya manis juga asing di lidah. Aku lupa apa namanya, tapi jika kita bisa mendaki gunung lagi, aku ingin mencari buah itu. Memakannya bersama dan melihat lidah menjadi ungu karenanya. [*]


Untuk yang selalu ada di saat saya membutuhkannya, Muhammad Rozy Patrick.

Bulan tak pernah bertanya
Apakah dirinya indah hanya pada waktu malam saja
Bagaimana bintang bisa setia menemaninya dari kejauhan sana
Apa penyebab pasang-surut laut bisa mengikuti peredarannya
Ia hanya berputar, merajut cinta bersama matahari dan bumi
Hingga segala terpesona dengan kemolekan sinarnya.

Awan tak dapat bertanya
Apa penyebab labil gerakannya
Apakah bentuknya membentang megah
Apa itu yang disebut kabut
Ia hanya terbang, menyusun cinta bersama angin dan cuaca
Hingga segala rupa tercengang dengan perbuatannya

Pelangi tak sempat bertanya
Apakah dirinya mewah
Apa itu yang menguap, memenuhi langit dan menciptakan kehidupan
Ia hanya melengkung, merangkai cinta dengan warna dan pola
Hingga segala isi alam raya, terkagum-kagum padanya

Seorang pemuda tak sabar bertanya
Apa makna kehadiran sesungguhnya
Mengapa dia selalu ikhlas untuk ada
Tanpa perlu menghitung 1,2,3
Tanpa harus berujar apa-apa
Ia tak kuasa bertanya
Hingga seluruh jiwa, bergetar saat melihat matanya.



Untuk si penjelajah daratan Cin(t)a, Dzulfiqar.

I can play him  poetres, all through the night,
And he will listen to every line,
He is one of a thousand and a thousand of one.
And admirable of him is
He  threw my head back laughing like a little kid

And yes he is a beautiful man,
But he is also a beautiful friend.

He heals me because my love as deep
anything new? XD 




  Di tulis, di antara rasa kantuk
Dan Alhamdulillah, saya lega!
      

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran