Untuk Manusia yang cuma ada satu di dunia, Abdul Ghafur.
Tttrrrrtttttt....
Ponsel pria
bertubuh tinggi di sampingku bergetar. Bukan tanpa alasan dia berada tepat di
sebelah kiriku. Perjalanan mencari tempat fotocopy terasa seperti
jadi perjalanan mencari jati diri jika bersamanya. Hampir dua puluh menit kami
langkahkan kaki di sekitar area Fakultas Ekonomi, namun sang mesin pengganda
bersebut fotocopy itu belum kami
temukan. Perjalan semakin panjang. Aku semakin suka.
“Haloo,
iya... nanti... nggak, pulang kok. Iya,” gumamnya. Entah perbincangan seperti
apa yang tengah berlangsung di antara dia dan si penelepon. Sebelum intuisiku usai
mencerna perbincangan mereka berakhir ditutup salam.
“Siapa bang,
pacar?” Tebakku asal.
“Eh... bukan,
Ayah nanyaain pulang enggak hari ini.”
“Enak kali
ya, bisa dapat perhatian sebegitu penting dari orang yang penting.” Komentarku,
kali ini tidak asal.
Pria tinggi
ini cuma tersenyum, tidak pasti itu senyuman apa. Yang jelas dia tampak lebih
berbeda saat tersenyum.
“Aku nggak pernahlah
diperhatiin kayak gitu. Jangankan nanyak kapan pulang, nggak pulang pun mungkin
nggak apa-apa. Pernah waktu itu, aku dua hari enggak pulang, begitu sampai di
rumah, keadaan biasa-biasa aja, kayak aku ini makhluk astral nggak terlihat.
Enggak ada yang peduli.” Celotehku sedikit mendramatisir.
“Itu semua
kembali kepada Ikhsan,” pria tinggi ini menyebut namaku. Dia tahu atau tidak,
yang pasti hal sederhana itu membuat aku merasa dipedulikan.
“Maksudnya?”
“Ikhsan
merasa nyaman dengan itu atau tidak? Selama Ikhsan ngerasa nyaman, berarti
semuanya baik-baik saja kan?”
Ada kalanya
aku merasa iri dengan pria tinggi ini, dari pandangan fanaku dia terlihat
sebagai sosok yang sempurna. Berintelegensi tinggi, punya intuisi yang jujur,
penyabar, dan fisik yang semua wanita menyukainya: tinggi.
Aku tak
pernah dapat jawaban pasti tentang apa itu hal yang disebut keadaan baik-baik
saja. Yang pasti kuketahui bahwa aku hidup. Aku utuh. Itu saja.
Perjalanan
mencari mesin fotocopy masih
berlangsung, di sela sengatan sinar matahari. Terasa cahaya dari bintang besar
itu menggigiti kulit kami.
“Panasnya, bisa makin hitam ini.” Keluhnya. Jujur aku terkejut, baru pertama
kali ini kudengar dia mengeluh.
“Nggak
apa-apalah bang jadi hitam biar makin jantan.” Komentarku tanpa berpikir.
Dan
perjalanan menjadi semakin seru. Bagaimana tidak seru? Di kawasan universitas yang begitu besar ini,
yang di dalamnya terdapat puluhan tempat
fotocopy, tapi kami dengan lugunya hanya berhasrat pada satu tempat fotocopy dengan alasan: harga-cetak-perlembarnya-lebih-murah.
Pria tinggi
di sampingku ini adalah pengamat paling ahli. Aku menduga. Sebab selain kaki
berjalan, mata dan pikirannya pun dia fungsikan untuk mengamati lingkungan
sekitar. Para kerumunan mahasiswa yang sibuk pada aktivitas mereka di jalan
dengan berbagai macam ekspresi, pola, tingkah laku, tak luput dari observasi
sederhana dari mata dan pikirannya.
Perbincangan
kami pun beralih pada topik manusia. Manusia yang menciptakan makna. Manusia
yang mencari tujuan. Dan manusia yang menentukan plihan.
“Hanya
manusialah makhluk yang mempelajari dirinya sendiri.” Ujar pria tinggi ini.
“Dan cuma
manusialah yang mencari-cari jawaban. Hidup untuk selangkah demi selangkah
pertanyaan.” Timpaku.
Dalam jenak
kuperhatikan raut wajahnya bersapu cahaya matahari. Kucoba memahami bahasa
non-verbal yang tubuhnya utarakan. Aku tak pernah puas dengan hal itu. Ada satu
sisi bersaput kelebihan yang kuanggap hanya dia saja yang punya. Berharap aku bisa
miliki sisi itu. Satu sisi itu berusaha kutelan bulat-bulat. Sampai jiwaku
kenyang karenanya. [*]
Untuk pria Mandailing bernama Araf Ali Wijaya Pasaribu.
Di
antara semua kegiatan pendakian yang pernah kulakukan. Pendakian gunung kali ini
adalah hal paling berat yang aku rasakan. Jalur tersulit ini dipilih tanpa
terlebih dahulu lakukan kesepakatan, asal jalan, pokoknya lanjut terus. Tapi di
atas kelelahan dan gerutuku, setidaknya pendakian ini kulakukan bersama orang
yang tepat. Pria bersuku Mandailing dengan julukan si penggila tantangan. Itu
julukan dariku, tapi aku tak pernah memberi tahu.
Sedikit
mengenainya, dia terlalu ramah dan hangat untuk seorang laki-laki. Setiap kali
berbicara dengannya, selalu ada sampah hatiku yang ingin keluar. Biasanya, aku
bisa dengan mudah membuat obrolan dengan orang lain menjadi pancaran rahasia
dan kegelisahan. Tapi berbeda dengan dia. Aku merasa tertelanjangi tanpa
penawar rasa malu. Walau kuat inginku menempel padanya bak benalu, menyerap
habis rahasia dan gelisahnya, sekali pun tak pernah bisa kudapatkan hal itu.
Kadang
di dekatnya, aku menjadi kurang manusia. Ketenangannya, kendalinya atas setiap
emosi dan intonasi membuatku iri. Wajah kantuknya dan kemahirannya berbahasa
daerah malah membuatku lebih iri lagi. Dia memang bukan manusia standar, dia di
atas rata-rata. Dan dengan segala pengakuan itu, sekali lagi, aku tak pernah
memberi tahu.
Banyak
yang kupelajari darinya, sekedar bercermin pada diri dan bahan referensi. Aku
belajar untuk tidak terlalu banyak meminta. Aku belajar untuk lebih banyak
memberi, mensyukuri dan menerima apa yang telah diberi. Setelah aku sadar
betapa banyaknya perjalan dan pilihan yang telah aku lewatkan. Bahkan dengan
semua kesusahan atau lebih tepatnya tantangan yang Allah berikan ketika
pendakian waktu itu, dingin awan hitam yang menggantung dan akirnya tumpah
menjadi hujan lebat, menusuk kulit sampai ketulang, tak sempat beristirahat
untuk makan siang, perjalanan pulang yang rumit, di mana semua orang tampak
resah dan kehilanagn arah, ditambah lagi hari yang berganti gelap. Dia adalah
satu sosok dalam penglihatanku yang tahu bagaiman harus mengatur segala emosi,
segala ketakutan, segala kecemasan, menjadi pelajaran dan tantangan tak
terlupakan.
Di
pendakian waktu itu, dia bercerita tentang tujuannya, tentang janji terhadap
orang tua, terutama janji “Jangan pernah menyakiti hati seorang Ibu.” Janji
yang setia dicengkramnya kuat-kuat. Pemikiran-pemikirannya. Hal-hal unik dalam
benaknya. Juga segala hal luar biasa yang bisa kuingat namun sulit kuceritakan.
Aku
sempat menanyakan ini padanya, pertanyaan yang kulontarkan tanpa menyaringya
terlebih dahulu. “Wanita macam apa ya, yang cocok dengan abang?”
Dan
dia hanya tertawa.
Aku
jadi teringat pada buah hutan yang diberikannya sewaktu pendakian itu. Buah
berwarna merah, dengan ukuran kecil berbentuk seperti Berry. Rasanya manis juga
asing di lidah. Aku lupa apa namanya, tapi jika kita bisa mendaki gunung lagi,
aku ingin mencari buah itu. Memakannya bersama dan melihat lidah menjadi ungu
karenanya. [*]
Untuk yang selalu ada di saat saya membutuhkannya, Muhammad Rozy
Patrick.
Bulan tak pernah bertanya
Apakah dirinya indah hanya pada
waktu malam saja
Bagaimana bintang bisa setia
menemaninya dari kejauhan sana
Apa penyebab pasang-surut laut bisa
mengikuti peredarannya
Ia hanya berputar, merajut cinta
bersama matahari dan bumi
Hingga segala terpesona dengan
kemolekan sinarnya.
Awan tak dapat bertanya
Apa penyebab labil gerakannya
Apakah bentuknya membentang
megah
Apa itu yang disebut kabut
Ia hanya terbang, menyusun cinta
bersama angin dan cuaca
Hingga segala rupa tercengang
dengan perbuatannya
Pelangi tak sempat bertanya
Apakah dirinya mewah
Apa itu yang menguap, memenuhi
langit dan menciptakan kehidupan
Ia hanya melengkung, merangkai
cinta dengan warna dan pola
Hingga segala isi alam raya,
terkagum-kagum padanya
Seorang pemuda tak sabar bertanya
Apa makna kehadiran sesungguhnya
Mengapa dia selalu ikhlas untuk
ada
Tanpa perlu menghitung 1,2,3
Tanpa harus berujar apa-apa
Ia tak kuasa bertanya
Hingga seluruh jiwa, bergetar
saat melihat matanya.
Untuk
si penjelajah daratan Cin(t)a, Dzulfiqar.
I can play him poetres, all through the night,
And he will listen to every line,
He is one of a thousand and a thousand of one.
And he will listen to every line,
He is one of a thousand and a thousand of one.
And admirable of him is
He threw my head back laughing like a little kid
And yes he is a beautiful man,
But he is also a beautiful friend.
But he is also a beautiful friend.
He heals me because my love as deep
anything new? XD
anything new? XD
Di tulis, di antara rasa kantuk
Dan Alhamdulillah, saya lega!