Buat ARF…
Di
antara semua kegiatan pendakian yang pernah kulakukan. Pendakian gunung kali
itu adalah hal paling berat yang aku rasakan. Jalur tersulitnya dipilih tanpa
terlebih dahulu lakukan kesepakatan, asal jalan, pokoknya lanjut terus. Tapi di
atas kelelahan dan gerutuku, setidaknya pendakian itu kulakukan bersama orang
yang tepat. Pria Mandailing dengan julukan si “Penggila Tantangan”. Itu julukan
dariku, meski tak pernah kuberi tahu.
Sedikit
mengenainya: dia pria Mandailing pertama yang aku kenal, dirinya terlalu ramah
dan hangat untuk seorang laki-laki. Setiap kali berbicara dengannya, selalu ada
sampah hatiku yang ingin keluar. Biasanya, aku bisa dengan mudah membuat
obrolan dengan orang lain menjadi guyonan rahasia dan kegelisahan. Tapi berbeda
dengan dia. Aku merasa tertelanjangi, tanpa penawar rasa malu. Walau kuat
inginku menempel padanya bak benalu, menyerap habis rahasia dan gelisahnya,
sekali pun tak pernah bisa kudapatkan hal itu.
Kadang
di dekatnya, aku menjadi kurang manusia. Ketenangannya, kendalinya atas setiap
emosi dan intonasi, membuat aku iri. Wajah kantuknya dan kemahirannya berbahasa
daerah malah membuatku lebih iri lagi. Dia memang bukan manusia standar, dia di
atas rata-rata. Dan dengan segala pengakuan itu, sekali lagi, aku tak pernah
memberi tahu.
Banyak
yang kupelajari darinya, sekedar bercermin pada diri dan menjadikannya bahan
referensi. Aku belajar untuk tidak terlalu banyak meminta. Aku belajar untuk
lebih banyak memberi, mensyukuri dan menerima apa yang telah diberi. Setelah
aku sadar betapa banyaknya perjalan dan pilihan yang telah aku lewatkan. Bahkan
dengan semua kesusahan, atau lebih tepatnya tantangan yang Allah berikan ketika
pendakian waktu itu; dingin awan hitam yang menggantung akirnya tumpah menjadi
hujan lebat, menusuk kulit sampai ketulang. Tak sempat beristirahat untuk makan
siang, sungguh perjalanan pulang yang rumit, di mana semua orang tampak resah
dan kehilanagn arah, ditambah lagi hari telah berganti gelap. Namun di antara
intrik-intrik itu. Dia adalah satu sosok dalam penglihatanku yang tahu bagaiman
harus mengatur segala emosi, segala ketakutan, segala kecemasan, menjadi
pelajaran dan tantangan tak terlupakan.
Di
pendakian waktu itu, dia bercerita tentang tujuannya, tentang janji terhadap
orang tua, terutama janji “menjaga hati Ibu”. Janji yang sulit, pikirku. Janji
itu setia dicengkramnya kuat-kuat.
Pemikiran-pemikirannya,
hal-hal unik dalam benaknya. Juga segala yang luar biasa, yang bisa kuingat
namun sulit kuceritakan. Aku sempat menanyakan ini padanya, pertanyaan yang
kulontarkan tanpa menyaringya terlebih dahulu. “Wanita macam apa ya, yang cocok
dengan abang?”
Dan
dia hanya tertawa. Tawa yang sahaja.
Aku
jadi teringat pada buah hutan yang diberikannya sewaktu pendakian itu. Buah
berwarna merah dengan ukuran kecil berbentuk seperti Berry. Rasanya manis
sekaligus asing di lidah. Aku lupa apa namanya, tapi jika kami bisa mendaki
gunung lagi, aku ingin mencari buah itu. Memakannya bersama dan melihat lidah
menjadi ungu karenanya. [*]
at Gunung Sibayak |
Untuk
pinta maaf yang tak terucapkan
Dan
sapaan yang enggan diutarakan…