28 April 2014

Memori

Buat ARF…


Di antara semua kegiatan pendakian yang pernah kulakukan. Pendakian gunung kali itu adalah hal paling berat yang aku rasakan. Jalur tersulitnya dipilih tanpa terlebih dahulu lakukan kesepakatan, asal jalan, pokoknya lanjut terus. Tapi di atas kelelahan dan gerutuku, setidaknya pendakian itu kulakukan bersama orang yang tepat. Pria Mandailing dengan julukan si “Penggila Tantangan”. Itu julukan dariku, meski tak pernah kuberi tahu.

Sedikit mengenainya: dia pria Mandailing pertama yang aku kenal, dirinya terlalu ramah dan hangat untuk seorang laki-laki. Setiap kali berbicara dengannya, selalu ada sampah hatiku yang ingin keluar. Biasanya, aku bisa dengan mudah membuat obrolan dengan orang lain menjadi guyonan rahasia dan kegelisahan. Tapi berbeda dengan dia. Aku merasa tertelanjangi, tanpa penawar rasa malu. Walau kuat inginku menempel padanya bak benalu, menyerap habis rahasia dan gelisahnya, sekali pun tak pernah bisa kudapatkan hal itu.

Kadang di dekatnya, aku menjadi kurang manusia. Ketenangannya, kendalinya atas setiap emosi dan intonasi, membuat aku iri. Wajah kantuknya dan kemahirannya berbahasa daerah malah membuatku lebih iri lagi. Dia memang bukan manusia standar, dia di atas rata-rata. Dan dengan segala pengakuan itu, sekali lagi, aku tak pernah memberi tahu.

Banyak yang kupelajari darinya, sekedar bercermin pada diri dan menjadikannya bahan referensi. Aku belajar untuk tidak terlalu banyak meminta. Aku belajar untuk lebih banyak memberi, mensyukuri dan menerima apa yang telah diberi. Setelah aku sadar betapa banyaknya perjalan dan pilihan yang telah aku lewatkan. Bahkan dengan semua kesusahan, atau lebih tepatnya tantangan yang Allah berikan ketika pendakian waktu itu; dingin awan hitam yang menggantung akirnya tumpah menjadi hujan lebat, menusuk kulit sampai ketulang. Tak sempat beristirahat untuk makan siang, sungguh perjalanan pulang yang rumit, di mana semua orang tampak resah dan kehilanagn arah, ditambah lagi hari telah berganti gelap. Namun di antara intrik-intrik itu. Dia adalah satu sosok dalam penglihatanku yang tahu bagaiman harus mengatur segala emosi, segala ketakutan, segala kecemasan, menjadi pelajaran dan tantangan tak terlupakan.

Di pendakian waktu itu, dia bercerita tentang tujuannya, tentang janji terhadap orang tua, terutama janji “menjaga hati Ibu”. Janji yang sulit, pikirku. Janji itu setia dicengkramnya kuat-kuat.

Pemikiran-pemikirannya, hal-hal unik dalam benaknya. Juga segala yang luar biasa, yang bisa kuingat namun sulit kuceritakan. Aku sempat menanyakan ini padanya, pertanyaan yang kulontarkan tanpa menyaringya terlebih dahulu. “Wanita macam apa ya, yang cocok dengan abang?”

Dan dia hanya tertawa. Tawa yang sahaja.

Aku jadi teringat pada buah hutan yang diberikannya sewaktu pendakian itu. Buah berwarna merah dengan ukuran kecil berbentuk seperti Berry. Rasanya manis sekaligus asing di lidah. Aku lupa apa namanya, tapi jika kami bisa mendaki gunung lagi, aku ingin mencari buah itu. Memakannya bersama dan melihat lidah menjadi ungu karenanya. [*]


at Gunung Sibayak


Untuk pinta maaf  yang tak terucapkan

Dan sapaan yang enggan diutarakan…

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran