Pukul
00.43 WIB, Kamar Kos 05.
“Menurutmu apa itu manusia?” Sebuah pertanyaan terlontar begitu saja dari Ikrab tatkala seabrek tugas kuliahnya melanda.
Raf, teman satu kamar kosnya yang sedang berbaring mencari kantuk itu memutar kedua manik matanya. “Hhmm…tergantung kau mau melihatnya dari paham apa?”
“Maksudmu?” kini Ikrab yang gantian memutar manik matanya.
“Yang kutahu ada beberapa paham mengenai manusia: paham materialisme, paham idealisme, dan paham eksistensialisme.
“Bisa jelasin satu-satu?”
“Bisa nyimak?”
“Silahkan.”
“Paham materialisme menganggap manusia tidak lain tidak bukan hanyalah materi. Walaupun manusia itu punya kelebihan di antara materi-materi yang lain
namun pada hakikatnya sama saja; manusia adalah benda semata akibat proses
unsurkimia.
Sedangkan paham idealisme adalah paham yang bertentangan dengan paham materialisme. Paham ini berpandangan jika manusia adalah manusia, karena ia berpikir, karena ia mempunyai idea, karena ia sadar akan dirinya…”
“Cogito ergo sum?” potong Ikrap di sela penjelasan Raf.
“Yap…prinsip dari Descartes itu memang jadi prinsip klasik. Aku berpikir; maka aku ada. Tapi ada paham lain yang
menentang kedua paham terdahulu, yaitu paham eksistensialisme. Menurut paham ini, kesalahan aliran materialisme ialah bahwa materialisme mendetotalisasi manusia,
memungkiri totalitas manusia, manusia hanya dianggap benda, hanya dipandang unsur jasmaninya saja tidak secara keseluruhan. Sedangkan kesalahan pada paham idealisme adalah menganggap manusia hanya sebagai subjek, dan akhirnya cuma sekedar kesadaran saja. Idealisme lupa bahwa manusia berdiri sebagai manusia karena bersatu dengan alam sekitarnya.
Jadi menurut paham eksistensialisme,
manusia bukanlah hanya objek seperti pada pandangan materialisme, juga bukan subjek atau kesadaran seperti pandangan paham idealisme. Manusia adalah eksistensi. Bukan sekedar berarti “ada” atau
“berada” seperti “ada dan beradanya” barang lain, akan tetapi eksistensi terkhusus hanya untuk manusia. Manusia yang
dalam keberadaannya itu sadar akan dirinya sedang berada; berada di dunia dan menghadapi dunia, sebagai subjek yang menghadapi objek, bersatu dengan realitas sekitarnya. Bukan sekedar berpikir maka manusia itu ada, tetapi memilih dan bertindak maka manusia itu ada.” Raf, mengakhiri penjelasannya.
Ikrab menarik napas panjang, sel otaknya mencerna penjelasan Raf. Beberapa menit dia hanya diam, sorot matanya terfokus memandangi sahabatnya itu.
Raf menarik napas berat.”Kenapa, Akhir-akhir ini, pertanyaanmu aneh-aneh?”
tanya Raf bercampur curiga.
“Memangnya, pertanyaanku tadi aneh?”
“Bukan gitu, maksudku, seminggu yang
lalu pertanyaanmu tentang sinkronisitas, lalu soal reinkarnasi, dan hari ini
soal manusia, besok mau tanya apa lagi, soal Tuhan?”
“Mungkin.”
“Pertanyaan muskil.”
Sejenak Ikrab membisukan mulutnya.
Sorot matanya diam memandangi satu titik di jendela, seolah ada sebuah fragmen
di sana yang menyita ruang simulakrumnya.
“Raf... aku jatuh cinta.” Kalimat
yang layak disebut pengakuan itu keluar dari Ikrab setelah hampir sembilan
puluh detik menatap jendela, diselingi dengan helaan napas.
Raf sontak bangun dari rebahannya.“Barista wanita yang jadi objek tulisanmu
itu?” Tanyanya antusias.
Pelan. Penuh perasaan. Ikrab
mengangguk.
“Lalu...?”
“Entah, nggak tahu.”
“Loh?” Raf bingung.
“Ha?” Ikrab linglung. Tepatnya ia
tak punya kalimat yang pas untuk membuat Raf mengerti.
“Sudahlah...
keburu pagi, tugas semantikmu cepat siapkan.”
Ikrab
tersadar, seolah tadi baru saja dia bermimpi. Dan pada alam nyata ada tumpukan
kewajiban menamparnya. “Ahh, ini tugas gak ada habis-habisnya, tiap hari
begadang begini, aku bisa jadi tua sebelum waktunya.”
“Status mahasiswa mental murit TK.”
Komentar Raf.
Dan Ikrab tertawa.
Begitulah
setiap harinya, kelakar dua orang manusia di sepetak ruang 3 x 4 yang dibagi
dua. Dalam kamus mereka, pertemanan itu tercipta bukan karena banyaknya
kesamaan, melainkan begitu banyaknya perbedaan. Mereka berargumen, kadang
bertengkar, pernah saling tidak mengerti. Tapi mereka tidak pernah jengah
atau memilih pergi, terlebih mencari
pengganti.
“Mungkin besok aku nggak masuk
kelas,” sahut Ikrab.
“Mau ke Coffe shop itu lagi?”
Ikrab mengangguk.
Mungkin akan
dianggap aneh atau bahkan dicemooh orang-orang, ketika kita membicarakan
tentang sebuah pencarian tanpa arah tujuan.
Sejak satu bulan yang lalu Ikrab mulai melakukan pencarian tanpa arah
tujuan itu. Semenjak matanya mulai akrab mengamati satu sosok wanita yang
umurnya sepuluh tahun lebih tua darinya. Sejak itu pula Ikrab punya aktivitas
baru, seusai menyambangi Coffe shop tempat
wanita itu bekerja sebagai barista. Dia
selalu menyempatkan menulis surat yang isinya kadang puitis, kadang ngaur-ngidul.
Surat itu selalu Ikrab letakkan di dalam cangkir kosong bekas kopi yang selesai
ia minum. Dan menjelmalah surat tersebut menjadi perbincangan menarik bagi para
barista di sana.
Sedikit mengenai wanita itu.
Namanya, Gie Statistika Hosard. Nama yang jelas tak biasa untuk
singgah ditelinga Ikrab. Tapi itulah “ajaib”-nya orang bersuku Batak, mereka
terkenal dengan pemberian nama yang tak biasa. Teman-temannya di Coffe shop sering memanggilnya
dengan panggilan Gie. Tapi Ikrab punya nama sendiri untuk wanita itu, dia lebih
suka memanggilnya dengan sebutan Purnama. Jika ditanya apa alasannya. Ikrab
sungguh tidak tahu, yang jelas baginya wanita itu adalah Purnama.
Selayaknya hari-hari yang telah
berlalu, Ikrab sudah menuliskan sebuah surat untuk Purnama. Di paragraf
pertama, ia menuliskan kegelisahannya akan arah serta tujuan tentang aksara
yang seolah memaksanya memetik abjad untuk ditulis. Seperti ada seseorang dalam
jiwanya yang ternyata bukan dirinya−mengambil alih tubuhnya. Serasa ia
kesurupan. Sesuatu mendesaknya untuk terjaga di tengah malam buta hingga
kelelahan, hanya untuk merenungkan hal yang dirinya tidak pahami. Dalam surat
itu Ikrab meminta pada Purnama untuk sama-sama bekerja sama, agar dirinya bisa
mengatasi sekelumit resah dalam dadanya. Ikrab ingin mengajak Purnama
menjelajahi dimensi gelap dalam kesadarannya, merambah ingatan yang tak pernah
ia kenang, menjelajahi angan yang tak semestinya ia miliki. Di antara kelusuhan
itu ia sadar. Ia hanya tak pernah benar-benar memahami.
Paragraf kedua, Ikrab mengisahkan
tentang pertemuan juga perpisahan dalam sebuah kebetulan atau sinkronisitas
kehidupan. Ia menuliskan tentang cangkir berisi kopi dengan satu sendok gula
kesukaannya, meja nomor delapan dekat dengan meja kerja para barista, juga daftar lagu-lagu
kegemarannya. Ikrab menerangkan
bagaimana tatapan mata menjelma jadi cinta yang nyata. Dan bagaimana tatapan
mata dapat menipu semua indra. Ia pun menjelaskan tentang eksistensi manusia
juga teori-teori mengenai manusia yang bahu membahu saling menjatuhkan. Teori
pertama dikalahkan teori kedua, teori kedua dibantah teori ketiga. Tak
ketinggalan mengenai tabula rasa[1],
serta mimpi-mimpi yang dalam kasusnya sering kali membohongi.
Di paragraf ketiga, Ikrab sampai pada pemahaman bagaimana
esensi rasa bekerja. Ia berusaha mengerti tentang dirinya dan bagaimana rasa
menjadi ragi untuk proses jatuh cinta.
Ikrab merasa ada sesuatu yang harus diperbaiki atau mungkin
didekor ulang sekali lagi, seolah telah menemukan tendensi yang ia sendiri tak
tahu kalau tendensi itu sedang ia cari.
Tapi pada ketidakjelasan, ia menemukannya. Ikrab menemukan Purnama.
[Di
dekatmu jiwaku bagai paku. Menancap kuat ke tanah, hingga merenggut kebebasanku.
Bagai lentera di tengah malam; kau, arah mata menuju. Tak dapat kuingkari
penglihatan ini. Kau merpati berbulu salju di antara ribuan gagak bak benalu.]
Ikrab melipat suratnya, meletakkan
surat itu di dalam cangkir, kemudian berjalan meninggalkan Coffe shop dengan langkah
tergesa-gesa.
Tergesa-tergesa karena kini ia sudah terlambat untuk
berhenti.
2.
Malam itu terasa
sangat lama bagi Ikrab. Memang, ketika kelusuhan menyambangi hati dan
pikirannya, waktu seolah melambat. Ia masih terjaga di tempat tidur. Telentang
sambil memandangi langit-langit kamar kosnya dengan perasaan campur aduk. Ia
tidak mengerti, mengapa sosok wanita itu dapat meninggalkan dampak yang begitu dalam,
seolah melumpuhkan semua sistemnya.
Semalam, Ikrab bangun tidur dalam
keadaan layak disebut mayat hidup. Ya... bayangkan mayat yang telah mati
tiba-tiba hidup kembali. Matanya terpejam tapi ia tak benar-benar kehilangan
kesadaran. Suara-suara di sekelilingnya dapat ia dengar. Otaknya tidak tidur,
jelas pada saat itu ia mampu mencerna situasi. Tapi seberapa besar pun
keinginannya untuk bangun, Ikrab seolah tak punya daya. Napasnya terasa
tercekat-cekat, seolah tempat badannya berbaring dipenuhi oleh air dan pasir,
menyebabkan ia tenggelam di dalamnya. Jiwanya berontak namun raganya tidak.
Ikrab tidak tahu apa penyebabnya, yang ia tahu pristiwa itu terjadi setelah
kehadiran wanita itu dalam fragmen mimpinya.
Ikrab
melemparkan arah pandangan ke sebelah kanan. Di sana Raf tengah tertidur lelap.
Sejenak Ikrab mengambil napas berat, menghembuskannya perlahan.
“Raf...”
Panggilnya.
Tak
ada respon.
“Raf...”
Panggil Ikrab sekali lagi diselingi dengan tepukan pelan di bahu Raf. Tak ada
respon.
“Raf...”
panggil Ikrab lagi dengan tepukan lebih bertenaga. Tetap tak ada respon.
“RAAAAAAAFFF!”
Raf
kaget, sontak bangun dari tidurnya. Jeritan berutal dari Ikrab melemparkannya
ke alam nyata.
“Kenapa?!”
tanya Raf heran.
“Aku
nggak bisa tidur.”
“Huuhh...kirain
ada apa.”
“Semalam
aku bermimpi.”
“Kebanyakan mimpi tak memberi
apa-apa,” ucap Raf setengah membisik. Ia kembali berbaring.
“Jadi apa itu mimpi, Mr Freud?”
“Ah... bakalan panjang,” Raf
mengernyit.
“Apa harus aku ungkapkan. Kami
seolah terikat, kebetulan-kebetulan ini membingungkan. Aku harus gimana?”
“Kau menanyakannya setiap hari.”
“Ah... ini rumit.”
“Yasudah, nikmati aja prosesnya.
Kita kan nggak pernah tahu. Sama seperti matahari, ia nggak pernah terbit atau
terbenam, nyatanya bumi yang berputar. Sama juga seperti bulan yang memutari
bumi, nggak pernah konstan.”
Ikrab terpukau. Ia merasa beruntung
tinggal satu kamar kos bersama seorang pertapa berwujud Raf. Istimewanya
pertapa yang satu ini telah membuat Copernicus di alam baka bangga dengan
pemahamannya mengenai tata surya.
“Bisa aku tidur sekarang?”
Ikrab membiarkan Raf kembali ke alam
mimpi dan meninggalkan dirinya sendiri bersama kesadaran dan mimpi yang tak
sempat ia ceritakan. Lama merenung, akhirnya Ikrab membuat keputusan.
Harus aku lakukan!
Ia
memejamkan mata dan membenamkan wajahnya di bantal.
***
Coffe shop
Derasta, sebuah tempan nongkrong sederhana bagi para pengunjungnya. Coffe shop dengan selogan “Gudangnya Berjuta
Rasa” itu, selalu ramai di jam-jam makan siang. Lokasi yang strategis di area
perkantoran membuat Coffe shop itu
sering dipenuhi oleh para pekerja kantoran, ditambah nuansa cozy dari warna toska, sedikit coklat
tua dan warna kuning cerah yang dipernis dari meja dan kursi bermotif antik di
seluruh ruangan.
Tapi hari ini, ada hal yang berbeda.
Walaupun sudah masuk jam makan siang namun pengunjung di coffe shop Derasta tidak sebanyak biasanya. Yang terlihat hanya dua
laki-laki yang seharusnya memberi perhatian penuh pada makanan mereka, tapi
malah tampak sibuk dengan laptop, kertas-kertas, tas besar dan rokok yang sudah
masuk bungkus ke dua. Kabarnya, mereka dikejar waktu untuk presentasi proyek
besar besok. Pemandangan yang agak mengerikan di tengah jam makan siang.
“Lihat
surat-surat ini...orang iseng macam apa ya, yang bisa seromantis ini,” komentar
Daren, salah satu barista yang
bekerja di Coffe shop Derasta. Ia
berdecak kagum seraya sibuk merapikan tumpukan surat yang dikumpulkannya.
“Kira-kira siapa ya?” Tanyanya penasaran.
“Siapa apanya?” Gie, barista yang bekerja di balik bar dekat
mesin-mesin pembuat kopi, bertanya kemudian tergelak.
“Ini... orang yang dimaksud dalam
surat ini.”
“Sudah pasti kamu Daren, di Coffe shop ini, cuma kamu yang punya
wajah kepundan bak rembulan.” Gie tergelak lagi.
“Benarkah? Waahh!” Ujar Daren
terkagum-kagum. “Yang aku tahu, kata barista
yang lain, surat-surat ini berasal dari meja nomor delapan. Kamu tahu nggak
Gie... siapa orangnya?”
“Aku tahu, tapi nggak gitu yakin.”
“Ganteng nggak orangnya?” cetus
Daren asal.
Gie tidak begitu memerdulikan
pertanyaan Daren, perhatiannya diambil alih oleh dua laki-laki kantoran itu,
mereka meminta tambahan kopi.
3.
Ikrab mempercepat
langakahnya. Dua kali lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu yang harus segera
ia rengguh, harus segera ia jumpai dan puncaknya sesuatu itu harus segera ia
miliki. Ia berharap hari ini dapat menjadi hari yang mewujudkan mimpi-mimpinya
menjadi kenyataan yang lebih konkret.
Dalam gerak langkahnya, Ikrab terus
bertanya-tanya dalam putaran waktu yan ia curi simpan: haruskah ia lakukan ini?
Haruskah berakhir dengan pengungkapan? Dan mengapa harus ada kata “harus”?
Langkah kakinya seperti diperintah oleh seorang Bos dalam bentuk kata “harus”.
[Disebut apa ini? Karawitan perasaan? Ketukanmu
tanpa aba-aba, tanpa menggunakan apa-apa. Kau personal yang merangkum semua. Sampai pada saat
aku mencintai momentum. Sampai pada saat kau dalam simulakrum. Aku dapatkan
cerminan diriku ada padamu. Di jenak pintu hatiku tak menerima tamu. Aku akan
datang menuju cahaya purnama, meminta kau mengajariku cara menyudahi rasa yang masih rahasia.]
Ikrab
sampai di depan pintu kaca coffe shop
Derasta. Perlahan ia meraih gagang pintu.
Matanya menangap sosok wanita yang menjadi alasan kakinya dua kali lebih
cepat melangkah. Ia mendapati purnamanya bersinar di siang hari. Purnama itu
tengah mengantarkan kopi pesanan untuk pengunjung. Bersama angin yang menyeruak masuk ke dalam coffe shop, ada senyum beserta decak kagum yang dilontarkan air
muka Ikrab.
Angin
mengantarkan aroma tubuh Ikrab. Secara naluri Gie menoleh ke arah pintu.
Didapatinya pria yang setia duduk di meja nomor delapan berada di sana.
Beberapa
detik waktu berlalu, meninggalkan jejak mata mereka yang saling beradu. Kedua
pasang mata itu saling mengunci. Ada pesan yang seolah sedang mereka tukarkan.
Di detik seperti inilah alunan dawai biola memenuhi ruangan. Di detik itu juga
alunan denting piano menjadi latar—tempat senyum mereka saling menyembur
keluar.
Ikrab melangkah masuk. Ia merasa Déjà vu...ini pernah terjadi di dimensi lain dalam ketidaksadarannya.
Situasi ini pernah jadi fragmen dalam mimpinya. Realitas dan ilusi yang tak
sempat diceritakannya pada Raf.
Sekarang... mimpi itu hidup. Utuh. Dan nyata. [*]
[1] Teori tabula rasa menyatakan bahwa
manusia dilahirkan dengan pikiran kosong dan bersih dan diisi dengan pengalaman
yang didapat panca indra. Umumnya para
pendukung pandangan tabula rasa akan melihat bahwa pengalamanlah yang
berpengaruh terhadap kepribadian, perilaku sosial dan emosional, serta kecerdasan. Dan juga
ditekankan tentang kebebasan individu untuk mengisi jiwanya sendiri. Setiap
individu bebas mendefinisikan isi dari karakternya namun identitas dasarnya
sebagai umat manusia tidak bisa ditukar. Dari asumsi tentang jiwa yang bebas
dan ditentukan sendiri serta dikombinasikan dengan kodrat manusia inilah, lahir doktrin Lockean tentang apa
yang disebut alami.