27 Mei 2014

Elegi II

Kepada si pemilik suara nasal yang langkah kakinya coba kuikuti.

Dari sini. Di kesunyian apabila telah gelap mata memandang. Di keberisikan apabila telah berselang dan gelap menghilang. Kulantunkan seujar syukur atas setiap pemberianNya. Termasuk rasa yang membuatku seribu kali berpikir bahwa ini tidak mungkin. Dan kusadari, benar tidak ada yang tidak mungkin, jika pembicaraan kita menyinggung kekuasaanNya. Atas itu pula ingin aku berkelakar, di setiap gugus kilau warna-warni hari, aku inginkan kamu ada, terserah dari mana datangnya, boleh lewat retina, barangkali udara, atau mungkin alam abstrak yang dapat satukan kita, meleburkan kita, menyarukan kita. Aamiin.

Dari sini. Di antara kebisingan dalam sepi juga sepi di dalam kebisingan. Aku berdoa agar setiap saat kamu bingung, kamu linglung, kamu canggung, kamu mendadak jadi ayam kampung, ketika kita berada dalam satu zona. Di sana, di ruang dalam jiwa yang Sigmund Freud coba mengkajinya. Kuharap aku ada, menjelma sebuah keberadaan yang nyata. Terkhusus untukmu, terlebih dunia. Aamiin.

Dari sini. Tatkala ketakutan menghampiri di detik aroma feromonmu hinggap di seluruh indra. Aku berdoa, semoga kamu selalu sumbangkan bau yang sama dan tak akan pernah berubah. Dan jika pun berubah, kusumpahi aku penyebabnya! Di jenak waktu yang membawakan langkahmu, tak jemu-jemu kuberitahu, mendoktrin setiap centinya adalah tapak yang panjangnya melebihi tapakku, yang luasnya sama denganku. Sampai sepasang telapak kita beriringan bersama di satu jalan serupa. Aamiin.

Dari sini. Aku setia meminta, jika pun ada sisahkan untukku tempat di ruang hatimu, meski hanya ruang tamu. Di sini masih kulantunkan lagu cinta berirama sendu. Aku hanya sedang menunggu, sampai kau datang memberikanku lagu baru.


Sumber gambar: vokalpers.co

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran