Kata puisi berasal dari bahasa Yunani,
yaitu poieses yang berarti
‘penciptaan’. Dalam bahasa Latin, kata puisi disebut poietes atau poeta. Pada
awalnya, kata puisi adalah poieo; paio atau poea, yang
artinya ‘membangun; menyebabkan; menimbulkan; menyair’.
Cukup! Hapalanku
berhenti sampai di situ. Hal yang paling menyenagkan dari memelajari etimologi
atau leksikon dari suatu kata adalah kaudapat mengenalnya lebih dari sekedar
istilah, namun juga asal-usul ia tercipta. Seperti manusia, yang ingin selalu
mempelajari dirinya dan juga selalu penasaran tentang dari mana dan bagaimana
ia dicipta.
“Mau tambah teh manis
dinginnya lagi?
Aku mendongak, ada
banyak tempat makan siang di fakultas ini. Tapi kantin sastra selalu jadi tempat
favorit kami berdua. Dia yang menanyaiku, bernama Elegi, teman satu jurusan
denganku. Nama, Elegi jelas bukan nama yang biasa. Aku pernah menemukan nama
itu di halaman 3 dari buku Apresiasi Puisi, hasil penelitian H. Ahmad Samin Siregar.
Elegi adalah nama lain dari puisi luka, rindu, nelangsa atau resah. Jujur,
Elegi yang tengah melahap sepiring nasi goreng di hadapanku, bukanlah tipe
wanita yang seperti itu. Dia muda. Dia bersemangat, kadang gila. Dia berselera
tinggi, tapi tak selalu menuntut semua harus sempurna. Dia juga humoris. Dan
yang terpenting dia ciptaan Tuhan.
“Ab...kenapa bengong,
kalau mau teh manis dinginnya lagi, pesan aja, aku yang bayar.”
“Iya, terima kasih,”
ujarku. Jangan heran dengan dua huruf yang digunakan Elegi untuk memanggilku.
Itu memang namaku. Ab. Terdiri dari vokal rendah A dan konsonan yang posisi
artikulasinya bilabial dengan cara artikulasinya, hambat bersuara; B. Dan akan
terdengar seperti nama golongan darah.
“Belajarnya nanti,
makan aja dulu. Kamu itu terlalu ngejar target.” Katanya, di sela mulutnya terisi
nasi goreng.
“Itu kan udah tugas
mahasiswa. Ngejar target!”
Elegi tertawa. “Ab...Ab.
di kelas kita itu, nggak perlu mahasiswa cerdas. Kau hanya harus pandai cari
muka di depan dosen, bersikap manis dan manut-manut sama semua yang Dosen itu
bilang. Termasuk gagasannya yang salah sekalipun.”
“Maaf, itu bukan
gayaku. Dan tolong jangan samakan aku dengan mahasiswa macam itu, najis!”
Umpatku.
“Aku berencana, mau
ikut SBMPTN tahun ini.”
“Lohh, kok kamu gitu,
kita udah semester dua, kan sayang.”
“Kan, baru semester
dua.”
Aku diam. Di susul Elegi
yang juga ikut diam. Andai Elegi tahu, ada segelombang badai bening dalam
dadaku, tatkala mendengarkan pernyataan ‘baru semester dua’ darinya. Selama ini
kuanggap semester dua yang kami lalui, berarti banyak untukku juga untuknya.
Begitulah mungkin manusia, sering menyimpulkan bahwa apa yang dia rasa juga
dirasakan manusia lain. Aku menduga, dan masih banyak dugaan-dugaan lainnya.
“Kamu yakin?” tanyaku
ragu.
Elegi mengangguk. “Di jurusan
Sastra Indonesia ini nggak mudah, Ab. Orang-orang tahunya kita cuma bisa
berkhayal, ngarang-ngarang cerita, coba-coba mereka puisi dan sajak. Dan yang
paling menjengkelkan orang-orang yang sibuk mendekte itu, bahkan tak tahu kalau
puisi dan sajak itu sama!”
“Jurusan kan, nggak
menjamin bagaimana kita nanti di masa depan..”
“Nah, itu poinnya.”
Sambar Elegi.
“Nggak menjamin juga
kan, jurusan baru yang kamu pilih nanti bakalan ngasi masa depan cerah buat kamu.”
Elegi, lagi-lagi
tertawa, tapi tawa yang ini lebih dianggunkannya. Tidak jelas juga tawa anggun
itu macam apa. Yang jelas kuanggap tawanya ini anggun.
“Simak ini, wahai Ab. Ketika kau mengira telah berhasil
menebak logika hidup, malah saat itu pula hidup kembali memuntir dirinya ke
arah tak terduga dan kita tak pernah tahu masa depan. Kita cukup membuat
pilihan.”
Begitulah Elegi dan segala perspektifnya
mengenai hidup. Seperti pertapa yang telah lama bertapa di dalam gua, menemukan
kebijaksanaan dari hal yang diyakininya akan memberi pencerahan hidup. Padahal
hal itu sia-sia, lama kelamaan pertapa itu jadi gila.
“Aku nggak setuju kamu pindah jurusan,” protesku.
“Kenapa? Takut kangen ya?”
Aku mengatupkan bibir. Pertanyaan itu terlampau
pelik untuk di jawab di tengah hari, di jam makan siang seperti ini. Untuk
menyembunyikan kebingungan yang ada, kembali kufokuskan diri pada buku yang
tadi sempat kubaca. Kucoba berpikir realistis. Elegi, tidak akan lulus seleksi
masuk perguruan tinggi jalur ujian itu. Dia tidak akan bisa.
Dan aku akan berdoa untuk itu.
***
. . . . .Keberadaanmu. . . . .
Dalam
diamku, aku berbicara kepadamu. Di sini, di sepetak ruang tak bernama tapi
sering disebut hati. Di ruangan itu telah lahir penghuni baru. Namnya, Rasa.
Sebelumnya dia hanya gumpalan roh magis saja. Tapi seiring dengan semakin besar
tendensinya, dia menjelma dian dalam dada. Rasa ada, dia menjadi penghuni yang
paling mendominasi, sebab di sepetak ruang bersebut hati itu, dia tinggal
sendiri. Tak ada yang bisa diajak bicara,
bertegur sapa, atau sekedar minum teh bersama. Rasa cuma sendiri, di sepetak
ruang bersebut hati.
Pernah,
di suatu pagi, gerimis melanda. Lama kelamaan gerimis menjadi hujan lebat. Hati
diobrak-abrik angin topan. Rasa ketakutan, sekali lagi karena dia sendirian.
Pintu hati, si Rasa tutup rapat, tak lupa dikuncinya. Jendela hati pun sama.
Tak boleh ada celah, ini badai besar. Rasa takut hati tempatnya tinggal bakalan
roboh. Rasa ketakutan, karena guntur dan halilintar. Rasa gemetaran, dia sibuk
mencari tempat peraduan. Ruang hati terlalu sempit. Dan rasa tak tahu harus
kemana.
Rasa
duduk diam. Memandangi kilat dan petir melalui jendela. Namun, tiba-tiba ada
yang mengetuk pintu hati. Siapa yang berada di luar di tengah hujan badai
begini? Rasa bertanya. Rasa mengintip lewat jendela, mencari tahu siapa
gerangan yang ada di luar sana. Rasa mendapati satu sosok. Sosok itu basah
kuyup. Kedinginan. Rasa menuju pintu, tapi dia ragu. Dia mengambil kunci, dia
masih ragu. Haruskah aku membuka pintu? Rasa kebingungan. Siapa tahu dia sosok
yang jahat? Rasa makin paranoit. Tapi dia di luar kedinginan dan sendirian,
Rasa menjadi iba. Akhirnya pintu hati dia buka.
Sosok
itu langsung masuk, bahkan tanpa sapa. Rasa menutup pintu. Hujan di luar makin
mem-ba-bi-bu. Sosok itu berterima kasih pada Rasa. Rasa tertegun, dia tak
pernah berinteraksi sebelumnya dengan apa pun, bahkan siapa pun. Rasa merasa
senang, namun juga khawatir. Dia punya teman baru sekarang.
Lama
waktu berlalu setelah badai besar itu. Rasa tinggal bersama sosok itu di ruang
bersebut hati. Sosok itu berbakat, pandai memasak makanan enak. Sosok itu juga
humoris, mampu membuat guyonan manis. Sosok itu bersemangat muda. Sosok itu
pantang menyerah. Sosok itu cinta lingkungan. Sosok itu berwawasan global, bercita
rasa lokal. Sosok itu berselera tinggi. Sosok itu ciptaan Tuhan.
Rasa
takjub, dia tak lagi merasa sepi. Hati tak lagi sunyi. Rasa bahagia lebih dari
sebelumnya. Sosok itu berbeda lebih dari yang Rasa duga. Rasa berharap semoga
ini bertahan lama, bukan sekedar sementara.
Sosok
itu bernama: Keberadaanmu...Elegi
Aku tertawa terbahak-bahak di atas ranjang, melihat
hasil kerja tangan dan penaku. Rencananya tulisan ini akan aku berikan kepada
Elegi, dengan cara melipatnya dan menyelipkannya ke dalam salah satu buku di
tas Elegi. Dan jadilah kisah ini serupa kisah FTV yang menggelikan, tak jarang
memuakkan. Tidak. Aku tidak akan melakukan itu. Jelas itu bukan caraku.
Kertas berisi prosa kepuisi-puisian itu kulipat
membentuk pesawat kertas. Kemudian, menerbangkannya, terbangnya pesawat
kertasku meluncur sempurna, mengitari kamarku sampai pada akhirnya pesawat
kertas itu menabrak pintu kamar dan jatuh di sana.
Aku menghela napas, menghembuskannya bernas. Hari
ini duniaku runtuh. Pertama, kebosanan menjalari setiap detik dalam hariku.
Jangan buru-buru mau tahu apa penyebabnya. Kedua, hidup ini membuatku geli,
setelah dilanda kebosanan tingkat tinggi, semesta mengirimkanku penyakit. Aku
terkena flu. Lumayan menyiksa plus
demamnya. Selera makanku menurun derastis. Tapi penyebab kebosanan ini, bukan
karena flu, melainkan...doa!
Ya, doaku sama sekali tidak terkabul. Elegi lolos ujian
itu, betapa kesalnya aku jika kembali membayangkan bagaimana bahagianya Elegi
dengan jurusan Psikologi yang kini menjadi jurusan barunya. Ya, aku memang aneh.
Seharusnya aku juga bahagia melihat sahabatku bahagia. Namun ini lain cerita.
Itu artinya aku tidak akan lagi melalui matakuliah dan semester bersama Elegi. Dan
sudah bisa kutebak: aku akan dilanda bosan akut tingkat dewa plus alam semesta.
Aku mebayangkan bagaimana nanti hari-hariku akan
terasa monoton, dan di akhir nanti aku mati bosan karena begitu tergantungnya
aku dengan keberadaan Elegi. Aku mereka-reka jenazahku yang mati bosan: kedua
mataku, yang satu tertutup rapat, yang satunya lagi setengah membuka. Bibirku
manyun dua senti, aku mencontohkan eksprei itu, dan betapa terkejutnya aku saat
kulihat bayanganku di cermin. Sialan, jelek banget wajahku.
Tok...Tok...Tok..
Pintu kamarku di ketuk seseorang.
“Siapa?”
“Ab, ini aku Elegi.”
Sontak ini menjadi kejutan. Hariku yang kudoktrin
akan membosankan, kini sedikit berwarna. “E-eh, masuk aja, pintunya nggak
dikunci kok.”
Elegi membuka pintu. Di saat inilah alunan dawai
biola dan lentingan piano memenuhi kamarku. Segalanya menjadi melambat......di
jenak mataku dan mata Elegi beradu.
Oke, stop, ini berlebihan. Cerita ini sudah
menyerupai FTV menggelikan yang kutonton setiap pagi.
“Kamu kenapa nggak ngabarin kalau lagi sakit.” Protesnya,
masih di depan pintu.
“Untuk apa? Aku butuh dokter sekarang bukan seoarang
Psikolog,” terdengar nada jengkel dari ucapanku.
“Kamu kok ngomong gitu,” terdengar nada sendu dari
ucapan Elegi, dan aku merasa sangat bersalah.
Elegi melangkah masuk. “Aku bawain kamu buah.” Ucapnya,
masih dengan nada sendu, dua langkah dan kakinya menginjak pesawat kertasku
yang tadi terjatuh. Sial! Makin sial lagi, Elegi mengambilnya.
“Aku nggak nyangka kamu masih suka buat ginian,”
Elegi tertawa ringan.
“Iseng, seminggu di kamar karena sakit, siapa yang
nggak bosan.”
Elegi duduk di atas tempat tidurku. Masih dengan
pesawat kertas di tangannya. Jangan sampai Elegi membuka terlebih membaca
isinya, jangan! Aku akan berdoa untuk itu. Dan tolong, doaku kali ini harus
terkabul!
“Aku tahu kamu kecewa, tapi aku udah pikirkan ini,
ini pilihanku Ab.”
“Iya, aku ngerti, maaf kalau aku terlalu egois.”
“Kita cuma beda fakultas, nggak ada halangan untuk
makan siang sama-sama kan?”
“Tergantung, seberapa padat SKS di jurusan Psikologi
itu.”
Mendadak Elegi memelukku. Sungguh ini kejutan kedua,
rasanya seolah menjatuhkan diri dari ketinggian seribu kaki, dan menikmati
dentuman di tanah.
Elegi memelukku erat. Erat sekali, aku merasakan
hangat.
“Elegi, ada apa?” gumamku, dengan lidah nyaris kelu.
Elegi melepaskan pelukannya. “Enggak ada apa-apa, aku
cuma ingin meluk kamu aja. Sudah ya, aku harus ngurus berkas-berkas pendaftaran
ulang, kamu cempat sembuh.” Dan Elegi pegi, meninggalkanku yang masih tak
percaya mendapatkan pelukan hangat darinya tepat di saat aku tengah demam.
Anggap aku gila. Tunggu, tidak mungkin aku gila,
orang gila tidak pernah ngaku gila. Baik, anggap aku manusia paling beruntung
hari ini karena mendapat pelukan dari Elegi. Dan anggap aku bernasip sial hari
ini karena Elegi pergi sambil membawa pesawat kertas berisikan prosa
menggelikan yang kubuat tadi. [*]
*) Diikutsertakan dalam tantangan #KalimatPertama @KampusFiksi.
Kalimat pertamanya,
saya ambil dari buku non-fiksi berjudul Apresiasi
Puisi, hasil penelitian Almarhum H. Ahmad Samin Siregar. Dia juga dosen di
jurusan Sastra Indonesia USU, dan saya bersedih karena tak dapat kesempatan
diberi ilmu oleh beliau.
Catatan:
Ketika mendapat tantangan ini, buku Apresiasi Puisi itu tepat berada di sebelah
saya.