18 Mei 2014

Elegi



Kata puisi berasal dari bahasa Yunani, yaitu poieses yang berarti ‘penciptaan’. Dalam bahasa Latin, kata puisi disebut poietes atau poeta. Pada awalnya, kata puisi adalah poieo; paio atau poea, yang artinya ‘membangun; menyebabkan; menimbulkan; menyair’.
Cukup! Hapalanku berhenti sampai di situ. Hal yang paling menyenagkan dari memelajari etimologi atau leksikon dari suatu kata adalah kaudapat mengenalnya lebih dari sekedar istilah, namun juga asal-usul ia tercipta. Seperti manusia, yang ingin selalu mempelajari dirinya dan juga selalu penasaran tentang dari mana dan bagaimana ia dicipta.
“Mau tambah teh manis dinginnya lagi?
Aku mendongak, ada banyak tempat makan siang di fakultas ini. Tapi kantin sastra selalu jadi tempat favorit kami berdua. Dia yang menanyaiku, bernama Elegi, teman satu jurusan denganku. Nama, Elegi jelas bukan nama yang biasa. Aku pernah menemukan nama itu di halaman 3 dari buku Apresiasi Puisi, hasil penelitian H. Ahmad Samin Siregar. Elegi adalah nama lain dari puisi luka, rindu, nelangsa atau resah. Jujur, Elegi yang tengah melahap sepiring nasi goreng di hadapanku, bukanlah tipe wanita yang seperti itu. Dia muda. Dia bersemangat, kadang gila. Dia berselera tinggi, tapi tak selalu menuntut semua harus sempurna. Dia juga humoris. Dan yang terpenting dia ciptaan Tuhan.
“Ab...kenapa bengong, kalau mau teh manis dinginnya lagi, pesan aja, aku yang bayar.”
“Iya, terima kasih,” ujarku. Jangan heran dengan dua huruf yang digunakan Elegi untuk memanggilku. Itu memang namaku. Ab. Terdiri dari vokal rendah A dan konsonan yang posisi artikulasinya bilabial dengan cara artikulasinya, hambat bersuara; B. Dan akan terdengar seperti nama golongan darah.
“Belajarnya nanti, makan aja dulu. Kamu itu terlalu ngejar target.” Katanya, di sela mulutnya terisi nasi goreng.
“Itu kan udah tugas mahasiswa. Ngejar target!”
Elegi tertawa. “Ab...Ab. di kelas kita itu, nggak perlu mahasiswa cerdas. Kau hanya harus pandai cari muka di depan dosen, bersikap manis dan manut-manut sama semua yang Dosen itu bilang. Termasuk gagasannya yang salah sekalipun.”
“Maaf, itu bukan gayaku. Dan tolong jangan samakan aku dengan mahasiswa macam itu, najis!” Umpatku.
“Aku berencana, mau ikut SBMPTN tahun ini.”
“Lohh, kok kamu gitu, kita udah semester dua, kan sayang.”
“Kan, baru semester dua.”
Aku diam. Di susul Elegi yang juga ikut diam. Andai Elegi tahu, ada segelombang badai bening dalam dadaku, tatkala mendengarkan pernyataan ‘baru semester dua’ darinya. Selama ini kuanggap semester dua yang kami lalui, berarti banyak untukku juga untuknya. Begitulah mungkin manusia, sering menyimpulkan bahwa apa yang dia rasa juga dirasakan manusia lain. Aku menduga, dan masih banyak dugaan-dugaan lainnya.
“Kamu yakin?” tanyaku ragu.
Elegi mengangguk. “Di jurusan Sastra Indonesia ini nggak mudah, Ab. Orang-orang tahunya kita cuma bisa berkhayal, ngarang-ngarang cerita, coba-coba mereka puisi dan sajak. Dan yang paling menjengkelkan orang-orang yang sibuk mendekte itu, bahkan tak tahu kalau puisi dan sajak itu sama!”
“Jurusan kan, nggak menjamin bagaimana kita nanti di masa depan..”
“Nah, itu poinnya.” Sambar Elegi.
“Nggak menjamin juga kan, jurusan baru yang kamu pilih nanti bakalan ngasi masa depan cerah buat kamu.”
Elegi, lagi-lagi tertawa, tapi tawa yang ini lebih dianggunkannya. Tidak jelas juga tawa anggun itu macam apa. Yang jelas kuanggap tawanya ini anggun.
“Simak ini, wahai Ab. Ketika kau mengira telah berhasil menebak logika hidup, malah saat itu pula hidup kembali memuntir dirinya ke arah tak terduga dan kita tak pernah tahu masa depan. Kita cukup membuat pilihan.”
Begitulah Elegi dan segala perspektifnya mengenai hidup. Seperti pertapa yang telah lama bertapa di dalam gua, menemukan kebijaksanaan dari hal yang diyakininya akan memberi pencerahan hidup. Padahal hal itu sia-sia, lama kelamaan pertapa itu jadi gila.
“Aku nggak setuju kamu pindah jurusan,” protesku.
“Kenapa? Takut kangen ya?”
Aku mengatupkan bibir. Pertanyaan itu terlampau pelik untuk di jawab di tengah hari, di jam makan siang seperti ini. Untuk menyembunyikan kebingungan yang ada, kembali kufokuskan diri pada buku yang tadi sempat kubaca. Kucoba berpikir realistis. Elegi, tidak akan lulus seleksi masuk perguruan tinggi jalur ujian itu. Dia tidak akan bisa.
Dan aku akan berdoa untuk itu.
***

. . . . .Keberadaanmu. . . . .

Dalam diamku, aku berbicara kepadamu. Di sini, di sepetak ruang tak bernama tapi sering disebut hati. Di ruangan itu telah lahir penghuni baru. Namnya, Rasa. Sebelumnya dia hanya gumpalan roh magis saja. Tapi seiring dengan semakin besar tendensinya, dia menjelma dian dalam dada. Rasa ada, dia menjadi penghuni yang paling mendominasi, sebab di sepetak ruang bersebut hati itu, dia tinggal sendiri.  Tak ada yang bisa diajak bicara, bertegur sapa, atau sekedar minum teh bersama. Rasa cuma sendiri, di sepetak ruang bersebut hati.
Pernah, di suatu pagi, gerimis melanda. Lama kelamaan gerimis menjadi hujan lebat. Hati diobrak-abrik angin topan. Rasa ketakutan, sekali lagi karena dia sendirian. Pintu hati, si Rasa tutup rapat, tak lupa dikuncinya. Jendela hati pun sama. Tak boleh ada celah, ini badai besar. Rasa takut hati tempatnya tinggal bakalan roboh. Rasa ketakutan, karena guntur dan halilintar. Rasa gemetaran, dia sibuk mencari tempat peraduan. Ruang hati terlalu sempit. Dan rasa tak tahu harus kemana.
Rasa duduk diam. Memandangi kilat dan petir melalui jendela. Namun, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu hati. Siapa yang berada di luar di tengah hujan badai begini? Rasa bertanya. Rasa mengintip lewat jendela, mencari tahu siapa gerangan yang ada di luar sana. Rasa mendapati satu sosok. Sosok itu basah kuyup. Kedinginan. Rasa menuju pintu, tapi dia ragu. Dia mengambil kunci, dia masih ragu. Haruskah aku membuka pintu? Rasa kebingungan. Siapa tahu dia sosok yang jahat? Rasa makin paranoit. Tapi dia di luar kedinginan dan sendirian, Rasa menjadi iba. Akhirnya pintu hati dia buka.
Sosok itu langsung masuk, bahkan tanpa sapa. Rasa menutup pintu. Hujan di luar makin mem-ba-bi-bu. Sosok itu berterima kasih pada Rasa. Rasa tertegun, dia tak pernah berinteraksi sebelumnya dengan apa pun, bahkan siapa pun. Rasa merasa senang, namun juga khawatir. Dia punya teman baru sekarang.
Lama waktu berlalu setelah badai besar itu. Rasa tinggal bersama sosok itu di ruang bersebut hati. Sosok itu berbakat, pandai memasak makanan enak. Sosok itu juga humoris, mampu membuat guyonan manis. Sosok itu bersemangat muda. Sosok itu pantang menyerah. Sosok itu cinta lingkungan. Sosok itu berwawasan global, bercita rasa lokal. Sosok itu berselera tinggi. Sosok itu ciptaan Tuhan.
Rasa takjub, dia tak lagi merasa sepi. Hati tak lagi sunyi. Rasa bahagia lebih dari sebelumnya. Sosok itu berbeda lebih dari yang Rasa duga. Rasa berharap semoga ini bertahan lama, bukan sekedar sementara.

Sosok itu bernama: Keberadaanmu...Elegi

Aku tertawa terbahak-bahak di atas ranjang, melihat hasil kerja tangan dan penaku. Rencananya tulisan ini akan aku berikan kepada Elegi, dengan cara melipatnya dan menyelipkannya ke dalam salah satu buku di tas Elegi. Dan jadilah kisah ini serupa kisah FTV yang menggelikan, tak jarang memuakkan. Tidak. Aku tidak akan melakukan itu. Jelas itu bukan caraku.
Kertas berisi prosa kepuisi-puisian itu kulipat membentuk pesawat kertas. Kemudian, menerbangkannya, terbangnya pesawat kertasku meluncur sempurna, mengitari kamarku sampai pada akhirnya pesawat kertas itu menabrak pintu kamar dan jatuh di sana.
Aku menghela napas, menghembuskannya bernas. Hari ini duniaku runtuh. Pertama, kebosanan menjalari setiap detik dalam hariku. Jangan buru-buru mau tahu apa penyebabnya. Kedua, hidup ini membuatku geli, setelah dilanda kebosanan tingkat tinggi, semesta mengirimkanku penyakit. Aku terkena flu. Lumayan menyiksa plus demamnya. Selera makanku menurun derastis. Tapi penyebab kebosanan ini, bukan karena flu, melainkan...doa!
Ya, doaku sama sekali tidak terkabul. Elegi lolos ujian itu, betapa kesalnya aku jika kembali membayangkan bagaimana bahagianya Elegi dengan jurusan Psikologi yang kini menjadi jurusan barunya. Ya, aku memang aneh. Seharusnya aku juga bahagia melihat sahabatku bahagia. Namun ini lain cerita. Itu artinya aku tidak akan lagi melalui matakuliah dan semester bersama Elegi. Dan sudah bisa kutebak: aku akan dilanda bosan akut tingkat dewa plus alam semesta.
Aku mebayangkan bagaimana nanti hari-hariku akan terasa monoton, dan di akhir nanti aku mati bosan karena begitu tergantungnya aku dengan keberadaan Elegi. Aku mereka-reka jenazahku yang mati bosan: kedua mataku, yang satu tertutup rapat, yang satunya lagi setengah membuka. Bibirku manyun dua senti, aku mencontohkan eksprei itu, dan betapa terkejutnya aku saat kulihat bayanganku di cermin. Sialan, jelek banget wajahku.
Tok...Tok...Tok..
Pintu kamarku di ketuk seseorang.
“Siapa?”
“Ab, ini aku Elegi.”
Sontak ini menjadi kejutan. Hariku yang kudoktrin akan membosankan, kini sedikit berwarna. “E-eh, masuk aja, pintunya nggak dikunci kok.”
Elegi membuka pintu. Di saat inilah alunan dawai biola dan lentingan piano memenuhi kamarku. Segalanya menjadi melambat......di jenak mataku dan mata Elegi beradu.
Oke, stop, ini berlebihan. Cerita ini sudah menyerupai FTV menggelikan yang kutonton setiap pagi.
“Kamu kenapa nggak ngabarin kalau lagi sakit.” Protesnya, masih di depan pintu.
“Untuk apa? Aku butuh dokter sekarang bukan seoarang Psikolog,” terdengar nada jengkel dari ucapanku.
“Kamu kok ngomong gitu,” terdengar nada sendu dari ucapan Elegi, dan aku merasa sangat bersalah.
Elegi melangkah masuk. “Aku bawain kamu buah.” Ucapnya, masih dengan nada sendu, dua langkah dan kakinya menginjak pesawat kertasku yang tadi terjatuh. Sial! Makin sial lagi, Elegi mengambilnya.
“Aku nggak nyangka kamu masih suka buat ginian,” Elegi tertawa ringan.
“Iseng,  seminggu di kamar karena sakit, siapa yang nggak bosan.”
Elegi duduk di atas tempat tidurku. Masih dengan pesawat kertas di tangannya. Jangan sampai Elegi membuka terlebih membaca isinya, jangan! Aku akan berdoa untuk itu. Dan tolong, doaku kali ini harus terkabul!
“Aku tahu kamu kecewa, tapi aku udah pikirkan ini, ini pilihanku Ab.”
“Iya, aku ngerti, maaf kalau aku terlalu egois.”
“Kita cuma beda fakultas, nggak ada halangan untuk makan siang sama-sama kan?”
“Tergantung, seberapa padat SKS di jurusan Psikologi itu.”
Mendadak Elegi memelukku. Sungguh ini kejutan kedua, rasanya seolah menjatuhkan diri dari ketinggian seribu kaki, dan menikmati dentuman di tanah.
Elegi memelukku erat. Erat sekali, aku merasakan hangat.
“Elegi, ada apa?” gumamku, dengan lidah nyaris kelu.
Elegi melepaskan pelukannya. “Enggak ada apa-apa, aku cuma ingin meluk kamu aja. Sudah ya, aku harus ngurus berkas-berkas pendaftaran ulang, kamu cempat sembuh.” Dan Elegi pegi, meninggalkanku yang masih tak percaya mendapatkan pelukan hangat darinya tepat di saat aku tengah demam.
Anggap aku gila. Tunggu, tidak mungkin aku gila, orang gila tidak pernah ngaku gila. Baik, anggap aku manusia paling beruntung hari ini karena mendapat pelukan dari Elegi. Dan anggap aku bernasip sial hari ini karena Elegi pergi sambil membawa pesawat kertas berisikan prosa menggelikan yang kubuat tadi. [*]


*) Diikutsertakan dalam tantangan #KalimatPertama @KampusFiksi. 
Kalimat pertamanya, saya ambil dari buku non-fiksi berjudul Apresiasi Puisi, hasil penelitian Almarhum H. Ahmad Samin Siregar. Dia juga dosen di jurusan Sastra Indonesia USU, dan saya bersedih karena tak dapat kesempatan diberi ilmu oleh beliau. 
Catatan: Ketika mendapat tantangan ini, buku Apresiasi Puisi itu tepat berada di sebelah saya.


Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran