Si
perindu berjalan dengan langkah bingung, berulangkali dia menatap jam
tangannya. Pukul sembilan tepat, sembari dia berharap, semoga kini dia berada
dalam waktu yang tepat. Saat ini tujuannya hanya satu; bertemu sosok objek
rindu. Saat ini kakinya melangkah cuma pada satu tempat, tempat di mana hatinya
pertama kali terjerat: kantin.
Sesampainya
di kantin, suasana yang berulangkali serupa didapatinya. Asap rokok, teriakan
meminta pesanan silih berganti menggangu indra penciuman dan indra pendengarannya.
Namun tidak untuk indra penglihatannya, matanya sibuk mencari objek rindu.
Sosok yang selalu ingin dia jumpai, jika bisa setiap waktu.
Dapat!
Sosok itu ada di sana, tengah memberi perhatian penuh pada seporsi nasi telur
di hadapannya. Dengan tenang, si perindu melangkah memasuki kantin. Ada decak
syukur memenuhi ruang dadanya. Ada simpulan senyum menghiasi wajahnya. Mendadak
dia bahagia. Mendadak dia ingin hidup selamanya.
“Saya
pesan nasi telurnya satu, Buk, sama jus mangganya satu,” si perindu memesan.
Sebenarnya tadi pagi dia sudah sarapan, juga belum terlalu lapar untuk makan
lagi, tapi kali ini alasannya berbeda, dia hanya ingin bersama dalam satu zona
dengan objek rindunya, meski terhalang jarak dia tak peduli. Dia menikmati
tingkah konyolnya ini.
Sambil
membawa pesanannya, si perindu memilih tempat yang sesuai dengan ingin hatinya.
Sudut kantin menjadi tempat yang cocok untuk bisa menatap objek rindunya lebih
lama. Keadaan kantin juga mendukung, tak begitu ramai, tak banyak jasad menghalangi
pandangannya.
Sosok
itu melahap sarapannya. Hal itu menjadi fragmen terbaik yang pernah si perindu
dapati. Membenamkan mata pada aktivitas objek rindunya adalah hal terlancang
namun mengasyikan yang sering si perindu lakukan.
“Andai
aku, bisa satu meja denganmu.” Gumam si perindu, volume suaranya pelan namun
volume jerit hatinya tak tertahankan.
“Bisakah
aku makan di sampinmu?” tanya si perindu, untuk dirinya sendiri, untuk
keberaniannya saat ini dan untuk rasa yang dia punya, yang setia disembunyikannya.
Si
perindu tak kuasa, selalu ada samar setipis kertas setia memberikannya batas.
Sering menatap hanya sebatas punggung. Berujar rindu dari jarak yang tak tentu.
Cinta baginya selalu sama. Beberapa jenak dia harus menunggu lebih lama.
Beberapa kesan dia mesti mencintai tanpa harus mengukur berapa banyak balasan
yang akan diterimanya nanti. Si perindu kini menjelma si pecinta yang tak mampu
meluahkan perasaannya. Salahkah dia? Mungkin.
Objek
rindu itu tak luput dari sorot mata si perindu, sosok itu masih sibuk dengan
sarapannya. Si perindu tak kalah sibuk dengan obeservasinya. Mata itu, hidung
itu, air muka itu dan segala gesture dari objek rindu direkam sedetail mungkin
olehnya. Disimpan seutuhnya. Dan akan diingat-ingat nanti, jika rindu mulai
seenaknya menyakiti. Salahkah dia? Mungkin!
Objek
rindu telah mengahabiskan makananya. Diakhiri dengan tegukan segelas air minum,
dia pun pergi meninggalkan kantin tanpa menunggu kenyangnya reda. Dia pergi
bahkan tanpa tahu, jika sedari tadi ada sosok yang merekam kegiatan sarapannya.
Dia pergi tanpa tahu ada sosok yang setia mengabadikan senyum, terlebih
tawanya. Dia pergi tanpa sadar ada sosok yang terlalu mengagumi dirinya.
Salahkah si objek rindu? Mungkin.
Kini
tertinggal si perindu, masih di sudut ruangan kantin. Sendirian.
Terheran-heran. Masih tak percaya, sudah hampir satu bulan dia melakukan hal
menggelikan ini. Entah, apakah ungkapan “Bahwa cinta adalah memberi, bukan
sepenuhnya memiliki” adalah ungkapan yang menguatkannya, memeberi alasan untuk
tingkah bodoh yang dilakukannya, si perindu tak tahu. Bahkan si perindu tak
peduli. Si perindu menikmati hal ini. Meski dia sadar, ketika rindu tidak mampu
dia utarakan. Ketika rasa tak bisa dia luahkan. Maka kini yang bisa dia lakukan
hanya: tersenyum-senyum sendiri. Tertawa-tawa sendiri dan puncaknya sakit hati
sendiri.
Bolehkah
menyalahkan si objek rindu? Mungkin.
Si
perindu mengalihkan fokusnya pada sepiring penuh nasi telur yang tadi dia
pesan. Hebatnya sejak tadi tak ada sesendok pun nasi itu dia telan. Dia tersenyum
hampir tertawa, karena menyadari kelakuan anehnya.
Satu
sendok nasi telur dia telan. Si perindu memulai sarapan yang ke dua kalinya. Sembari
dalam hati dia bertanya-tanya:
Kapan kita bisa makan bersama?