5 Mei 2014

Kapan Kita Bisa Makan Bersama?



Si perindu berjalan dengan langkah bingung, berulangkali dia menatap jam tangannya. Pukul sembilan tepat, sembari dia berharap, semoga kini dia berada dalam waktu yang tepat. Saat ini tujuannya hanya satu; bertemu sosok objek rindu. Saat ini kakinya melangkah cuma pada satu tempat, tempat di mana hatinya pertama kali terjerat: kantin.
Sesampainya di kantin, suasana yang berulangkali serupa didapatinya. Asap rokok, teriakan meminta pesanan silih berganti menggangu indra penciuman dan indra pendengarannya. Namun tidak untuk indra penglihatannya, matanya sibuk mencari objek rindu. Sosok yang selalu ingin dia jumpai, jika bisa setiap waktu.
Dapat! Sosok itu ada di sana, tengah memberi perhatian penuh pada seporsi nasi telur di hadapannya. Dengan tenang, si perindu melangkah memasuki kantin. Ada decak syukur memenuhi ruang dadanya. Ada simpulan senyum menghiasi wajahnya. Mendadak dia bahagia. Mendadak dia ingin hidup selamanya.
“Saya pesan nasi telurnya satu, Buk, sama jus mangganya satu,” si perindu memesan. Sebenarnya tadi pagi dia sudah sarapan, juga belum terlalu lapar untuk makan lagi, tapi kali ini alasannya berbeda, dia hanya ingin bersama dalam satu zona dengan objek rindunya, meski terhalang jarak dia tak peduli. Dia menikmati tingkah konyolnya ini.
Sambil membawa pesanannya, si perindu memilih tempat yang sesuai dengan ingin hatinya. Sudut kantin menjadi tempat yang cocok untuk bisa menatap objek rindunya lebih lama. Keadaan kantin juga mendukung, tak begitu ramai, tak banyak jasad menghalangi pandangannya.
Sosok itu melahap sarapannya. Hal itu menjadi fragmen terbaik yang pernah si perindu dapati. Membenamkan mata pada aktivitas objek rindunya adalah hal terlancang namun mengasyikan yang sering si perindu lakukan.
“Andai aku, bisa satu meja denganmu.” Gumam si perindu, volume suaranya pelan namun volume jerit hatinya tak tertahankan.
“Bisakah aku makan di sampinmu?” tanya si perindu, untuk dirinya sendiri, untuk keberaniannya saat ini dan untuk rasa yang dia punya, yang setia disembunyikannya.
 Si perindu tak kuasa, selalu ada samar setipis kertas setia memberikannya batas. Sering menatap hanya sebatas punggung. Berujar rindu dari jarak yang tak tentu. Cinta baginya selalu sama. Beberapa jenak dia harus menunggu lebih lama. Beberapa kesan dia mesti mencintai tanpa harus mengukur berapa banyak balasan yang akan diterimanya nanti. Si perindu kini menjelma si pecinta yang tak mampu meluahkan perasaannya. Salahkah dia? Mungkin.
Objek rindu itu tak luput dari sorot mata si perindu, sosok itu masih sibuk dengan sarapannya. Si perindu tak kalah sibuk dengan obeservasinya. Mata itu, hidung itu, air muka itu dan segala gesture dari objek rindu direkam sedetail mungkin olehnya. Disimpan seutuhnya. Dan akan diingat-ingat nanti, jika rindu mulai seenaknya menyakiti. Salahkah dia? Mungkin!
Objek rindu telah mengahabiskan makananya. Diakhiri dengan tegukan segelas air minum, dia pun pergi meninggalkan kantin tanpa menunggu kenyangnya reda. Dia pergi bahkan tanpa tahu, jika sedari tadi ada sosok yang merekam kegiatan sarapannya. Dia pergi tanpa tahu ada sosok yang setia mengabadikan senyum, terlebih tawanya. Dia pergi tanpa sadar ada sosok yang terlalu mengagumi dirinya. Salahkah si objek rindu? Mungkin.
Kini tertinggal si perindu, masih di sudut ruangan kantin. Sendirian. Terheran-heran. Masih tak percaya, sudah hampir satu bulan dia melakukan hal menggelikan ini. Entah, apakah ungkapan “Bahwa cinta adalah memberi, bukan sepenuhnya memiliki” adalah ungkapan yang menguatkannya, memeberi alasan untuk tingkah bodoh yang dilakukannya, si perindu tak tahu. Bahkan si perindu tak peduli. Si perindu menikmati hal ini. Meski dia sadar, ketika rindu tidak mampu dia utarakan. Ketika rasa tak bisa dia luahkan. Maka kini yang bisa dia lakukan hanya: tersenyum-senyum sendiri. Tertawa-tawa sendiri dan puncaknya sakit hati sendiri. 
Bolehkah menyalahkan si objek rindu? Mungkin.
Si perindu mengalihkan fokusnya pada sepiring penuh nasi telur yang tadi dia pesan. Hebatnya sejak tadi tak ada sesendok pun nasi itu dia telan. Dia tersenyum hampir tertawa, karena menyadari kelakuan anehnya.
Satu sendok nasi telur dia telan. Si perindu memulai sarapan yang ke dua kalinya. Sembari dalam hati dia bertanya-tanya:
Kapan kita bisa makan bersama?
 

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran