Kepada dia
yang mungkin saja
tidak akan pernah membaca
entri ini.
Assalamualaikum!
Hati... Sudah sejauh mana engkau mencari? Beradu dengan segala bias absorben yang membentang, menyerap energimu, menyudutkanmu hingga kautemukan berulang jalan panjang. Kadang aku percaya bahwa kau mampu menjelma alunan mayor dengan denting sempurna. Tanpa harus ciptakan ketukan atau suara. Dentingan terakhirmu terus mengusik di segala indra, memberi notasi nada yang tak kutahu apa jenisnya. Notasi itu terpetik tipis, indah menggenapi. Dan aku sadar, ketika notasi itu berputar-putar, melayang di setiap sel otak. Sosok itu biang segala. Dia yang memainkan musiknya, aku terjerembab dalam alunan biola tak berdawai, harpa tak bersenar, dan piano tak bertuts.
Butuh belasan tahun waktu untuk aku dipertemukan dengan sosok yang sebelumnya hanya ada di sel otaku itu. Dan tak harus menunggu belasan menit untuk aku dirasuki perasaan abstrak dengan konotasi tak tentu, tak terhitung, tak terdefenisi. Dia jiwa perabun sunset-ku, dia kabut yang tak tergenggam, siluetnya tajam, diamnya yang paling menjatuhkanku di titik terdalam. Akhhh...aku tidak ingat sejak kapan aku begini. Selama apa pun itu, kuyakini dia ada di sana, di setiap inti jam, menit, detik, dan di dalamnya lagi...lagi...dan lagi...
Pengarah waktu yang kupunya tak harus bermerek mahal. Memandangi dirinya memberikan sensasi keabadian sekaligus mortalitas. Waktuku terus memuai, kutambah lagi angka untuk menjadikanku kaya. Kaya sebab mengamatinya terlalu lama. Meski kadang, terasa seperti aku tengah main petak umpet dengan sesuatu yang gelap dan abstrak namun dekat. Sampailah waktu membawaku di sosok itu. Seseorang yang menjadi cermin bagiku. Seseorang yang kerap membuat pikiranku beku hanya di jenak aku meresapi kehangatannya yang bersumber entah dari mana. Mungkin dari diamnya, atau barangkali...matanya.
Bicara soal identitas, aku tak pernah sanggup mengidentitaskan dirinya di setiap bualanku, gurauanku, terlebih tulisan ini. Hati tak pernah sanggup untuk sepuluh abjad dalam namanya. Itu bukan dosa kan? Aku malah takut jika nanti kutuliskan malah itu akan menjadi dosa? Aku pikir pun perasaan ini sudah sangat banyak membawa dosa. Apa yang bisa dipandang wajar, apa yang bisa dibilang normal. Hidup mungkin akan lebih berat jika tanpa diimbangi tipu muslihat.
Jauh sampai di sini. Aku jadi teringat pada persoalan tahun cahaya. Ukuran jarak yang sangat jauh. Untuk tahu seberapa jauh jarak itu, ia harus dikalikan dengan 186.000 mil, yakni seberapa cepat perjalan itu dalam hitungan detik, dikalikan 60 detik, dikalikan 60 menit, dikalikan 24 jam, dikalikan 365 hari. Makan hitungan tadi akan membawa kita pada jarak yang dinamakan tahun cahaya itu dalam setahun. terlalu jauh. Planet kecil ini, kurang lebih 30.000 tahun cahaya jauhnya dari pusat gugus bintang Milky Way. Aku tidak berlebihan kan, jika menganalogikannya sebagai jarak terjauh bagi material aku dan dia?
Jarak? Selalu jadi masalah besar ya?! Kadang memuakkan, bikin mual, hingga kau kepingin muntah. BLAAH! PUUAAH! HOEEK! Hrrrggggtt.... Kendati pernah kita dalam satu ruang, hanya dipisah beberapa spasi, tetap itu akan setia memunculkan tendensi bahwa kau tak akan pernah kumiliki.
Hati. Terima kasih karena sudah bekerja dengan baik, mengirimkan rasa itu ke sekujur badan, mengembungkan setiap pori-pori dengan atensinya. Atensi rasa ingin diinginkan. Ingin dimiliki. Ingin diakui. Ingin dicintai sebab cinta adalah mengalami.
Ya... perasaan semacam itu. Aku harap kalian mengerti apa yang kumaksud.