7 Juni 2014

Dalam Ruang Hasil Fusi 2

Dari ruang fusi di semangkuk penuh mie bakso
Kemarin ia titip pesan padaku, katanya...
"Teima kasih."



Dalam setiap denah hari ada begitu banyak harapan yang dipertaruhkan. Setiap napas yang berat. Setiap langkah yang terkatung juga mata yang cekung bahkan cembung. Di setiap itu kuhirup udara-udara dari kisah-kisah manusia, sering ragu kerap menghimpit kalbuku.
Kita manusia terancang untuk bergolak dengan titah nasib. Tak terpungkiri ada yang patah sampai remuk di tengah jalan, bahkan terkubur, mungkin juga lebur. Dunia bukan tempat aman yang penuh hiburan, akan ada tingkah-tingkah  manusia yang kautertawakan dalam hati, akan ada hal-hal yang selalu bisa kau kritisi juga komentari. Dan dari kesemuanya, secara tak langsung kupikir telah membentuk diriku sebagai penonton budiman pada layar besar bioskop. Cuma penonton yang berada di kursi paling sepi dan gelap. Namun aku sadar, tak semudah itu hidup dapat kujalankan. Hidup tak akan mengizinkanmu jika hanya jadi penonton. Ada masanya kau harus merasakan goncangan, ombak beserta semilir angin seperti di pantai.
Di saat diam seperti ini, pikiranku selalu punya kehendaknya sendiri. Menerawang ke sana ke mari. Dan dengan segala ke-maha-sok-tahuan-nya, ia berfilosofi mengenai hidup. Mungkin perenungan ini akan bertambah mewah jika sekarang bisa kudengar Sidney Buchet dengan semua lagunya atau musik-musik klasik sepanjang masa atau alunan jazz ala kafe-kafe. Tidak! Di pinggir jalan sumber ini tidak akan kutemukan hal macam itu. Yang bisa kujumpai adalah para pedagang pinggir jalan, orang-orang berlalu-lalang, dan semangkok penuh mie bakso di tangan. Tidak ada yang lebih mengesankan ketika kau ditraktir makan semangkuk mie bakso di pinggir jalan di tambah pemandangan para penghuni gedung Asrama Putri yang sibuk menyisiri rambut mereka di depan jendela kamar (hal yang cuma bisa kau dapatkan di pinggiran jalan sumber).
Aku nyengir lebar mendengar guyonan empat pemuda di sampingku. Mereka, para pemuda berwawasan global penuh cita rasa lokal. Mereka bahagia. Mereka raja-raja dunia. Mereka para pecinta di lembah dunia cita-cita.
            “Gimana kang Ghafur, jelas ini kan?” Fiqar, salah satu dari ke empat pemuda itu bertanya.
            “Jelas... jelas..” Yang ditanya menjawab sambil manut-manut.
           “Biar kita observasi sama kang Anwar di martubung, sambil lihat lokasinya.” Ujar  bang Fiqar antusias, “Kapan kita bisa ke lokasi kang Anwar?”
            “Terserah... besok pun ayok.” Bang Anwar merespon dengan penuh bakso di mulutnya.
            “Kalau makin cepat makin bagus itu.” Sesekali bang Jaka menimpali.
Percakapan mereka makin panjang. Dialog yang kubuat tak akan jelas menggambarkan apa yang tengah mereka perbincangkan. Mungkin ini akan semakin bertambah ribet, jika topik pembicaraan mereka sudah sampai di ranah ilmu pengetahuan yang coba menguak ke-eksis-tenstensian Tuhan atau lontaran kalimat-kalimat muskil mengenai hubungan-hubungan mutual, atau lebih ekstrim lagi mereka akan berbicara mengenai  planet-planet yang berputar dan teramati oleh teleskop, atau hal magis dari suara Sang Pencipta dalam musik alam semesta, atau opini bahwa ilmu pengetahuan dan agama bukanlah musuh, tetapi rekanan—dua bahasa berbeda yang menceritakan sebuah kisah yang sama, kisah tentang simetri dan keseimbangan, bisa jadi surga dan neraka, malam dan siang, panas dan dingin, ilmu pengetahuan dan agama: eksistensi yang bergembira bersama dalam simetri-Nya. Atau yang lebih berat, topik perbincangan di pinggir jalan dekat pedagang bakso itu akan membahas mengenai simbol-simbol perkumpulan setan terkuat di dunia yang tak jelas di mana rimbanya. Cukup! Aku mual! menarasikannya saja sudah cukup membuatku kepingin muntah apa lagi menuliskannya dalam dialog.
            Hal sederhana yang mereka perbincangkan di tengah sendok demi sendokan semangkuk mie bakso adalah tentang bisnis peternakan. Rencana-rencana untuk menjadi pengusaha muda yang sukses dengan menaruh harapan penuh pada ikan lele, ayam dan bebek. Sesederhana itu.
            “Mas, baksonya dua.”
            Perhatianku diambil alih oleh kedatangan dua wanita yang sungguh aku mengenalnya, mereka berdua bekerja di kantin tempat aku sering memesan nasi telor.
            “Piringnya kotor semua, yang nyuci piringnya ke sana tadi..”
            “Oalah, mau makan pun aku mesti nyuci piring dulu.”
            Aku tertegun, seolah sudah ada relasi yang cukup kental antara dua wanita itu dengan para pedang di pinggir jalan ini. Satu di antara dua wanita itu tidak sungkan untuk mencuci piring, sepertinya pekerjaan itu sudah setia mengekal di tangannya.
            “Kalian tahu, kenapa Aisyah di serial Ayat-Ayat Cinta, tertarik sekali untuk meneliti wanita Jawa. Ikhsan tahu? Bang jaka tahu?” Bang Fiqar tiba-tiba betanya.
Aku sontak menggeleng. Bang jaka tak kalah beda.
            “Jawabannya ada di depan kita...”
            Kupandangi lagi kedua wanita yang berbicara dengan dialeg medok itu. Aku juga sependapat, kebanyakan wanita zaman ini akan lebih mementingkan cat di kuku panjangnya ketimbang harus rela membantu pedangan bakso membersihkan mangkok dan piring-piring kotor tanpa sungkan, tanpa meminta imbalan.
            Aku masih diam, sesekali ikut tertawa oleh kelakar jenaka yang ke empat seniorku ini buat. Kadang hanya satu hal kecil dapat menjadi begitu menggelikan bila sudah mereka yang mengolah.  Aku masih diam, sembari seksama memerhatikan, satu orang di antara mereka yang saput hatinya ingin sekali aku dapatkan, namun sampai sekarang belum juga kesampaian. Tak perlu diberitahu identitasnya, dia makhluk paling tinggi sendiri di antara kami. :p
Segala harmoni fragmen saat itu melebur di pinggiran jalan sumber. Selama masih  ada empat pemuda seperti mereka. Selama aku masih bisa terus meneliti tanpa harus pilih-pilih. Walau diamku kadang jadi perotes sebagian orang. Mereka harus merasa tersanjung, sebab tanpa aku, mungkin mereka hanya empat pemuda tanpa pengagum. [*]

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran