Dari ruang fusi di semangkuk penuh mie bakso
Kemarin ia titip pesan padaku, katanya...
"Teima kasih."
Dalam setiap denah hari
ada begitu banyak harapan yang dipertaruhkan. Setiap napas yang berat. Setiap
langkah yang terkatung juga mata yang cekung bahkan cembung. Di setiap itu
kuhirup udara-udara dari kisah-kisah manusia, sering ragu kerap menghimpit
kalbuku.
Kita manusia terancang
untuk bergolak dengan titah nasib. Tak terpungkiri ada yang patah sampai remuk
di tengah jalan, bahkan terkubur, mungkin juga lebur. Dunia bukan tempat aman
yang penuh hiburan, akan ada tingkah-tingkah
manusia yang kautertawakan dalam hati, akan ada hal-hal yang selalu bisa
kau kritisi juga komentari. Dan dari kesemuanya, secara tak langsung kupikir
telah membentuk diriku sebagai penonton budiman pada layar besar bioskop. Cuma
penonton yang berada di kursi paling sepi dan gelap. Namun aku sadar, tak
semudah itu hidup dapat kujalankan. Hidup tak akan mengizinkanmu jika hanya
jadi penonton. Ada masanya kau harus merasakan goncangan, ombak beserta semilir
angin seperti di pantai.
Di saat diam seperti
ini, pikiranku selalu punya kehendaknya sendiri. Menerawang ke sana ke mari. Dan
dengan segala ke-maha-sok-tahuan-nya, ia berfilosofi mengenai hidup. Mungkin
perenungan ini akan bertambah mewah jika sekarang bisa kudengar Sidney Buchet
dengan semua lagunya atau musik-musik klasik sepanjang masa atau alunan jazz
ala kafe-kafe. Tidak! Di pinggir jalan sumber ini tidak akan kutemukan hal
macam itu. Yang bisa kujumpai adalah para pedagang pinggir jalan, orang-orang
berlalu-lalang, dan semangkok penuh mie bakso di tangan. Tidak ada yang lebih
mengesankan ketika kau ditraktir makan semangkuk mie bakso di pinggir jalan di
tambah pemandangan para penghuni gedung Asrama Putri yang sibuk menyisiri
rambut mereka di depan jendela kamar (hal yang cuma bisa kau dapatkan di
pinggiran jalan sumber).
Aku nyengir lebar
mendengar guyonan empat pemuda di sampingku. Mereka, para pemuda berwawasan
global penuh cita rasa lokal. Mereka bahagia. Mereka raja-raja dunia. Mereka para
pecinta di lembah dunia cita-cita.
“Gimana
kang Ghafur, jelas ini kan?” Fiqar, salah satu dari ke empat pemuda itu
bertanya.
“Jelas...
jelas..” Yang ditanya menjawab sambil manut-manut.
“Biar
kita observasi sama kang Anwar di martubung, sambil lihat lokasinya.” Ujar bang Fiqar antusias, “Kapan kita bisa ke
lokasi kang Anwar?”
“Terserah...
besok pun ayok.” Bang Anwar merespon dengan penuh bakso di mulutnya.
“Kalau
makin cepat makin bagus itu.” Sesekali bang Jaka menimpali.
Percakapan mereka makin panjang. Dialog yang kubuat
tak akan jelas menggambarkan apa yang tengah mereka perbincangkan. Mungkin ini
akan semakin bertambah ribet, jika topik pembicaraan mereka sudah sampai di
ranah ilmu pengetahuan yang coba menguak ke-eksis-tenstensian Tuhan atau
lontaran kalimat-kalimat muskil mengenai hubungan-hubungan mutual, atau lebih
ekstrim lagi mereka akan berbicara mengenai planet-planet yang berputar dan teramati oleh
teleskop, atau hal magis dari suara Sang Pencipta dalam musik alam semesta,
atau opini bahwa ilmu pengetahuan dan agama bukanlah musuh, tetapi rekanan—dua
bahasa berbeda yang menceritakan sebuah kisah yang sama, kisah tentang simetri
dan keseimbangan, bisa jadi surga dan neraka, malam dan siang, panas dan
dingin, ilmu pengetahuan dan agama: eksistensi yang bergembira bersama dalam simetri-Nya.
Atau yang lebih berat, topik perbincangan di pinggir jalan dekat pedagang bakso
itu akan membahas mengenai simbol-simbol perkumpulan setan terkuat di dunia
yang tak jelas di mana rimbanya. Cukup! Aku mual! menarasikannya saja sudah
cukup membuatku kepingin muntah apa lagi menuliskannya dalam dialog.
Hal sederhana yang mereka perbincangkan
di tengah sendok demi sendokan semangkuk mie bakso adalah tentang bisnis
peternakan. Rencana-rencana untuk menjadi pengusaha muda yang sukses dengan
menaruh harapan penuh pada ikan lele, ayam dan bebek. Sesederhana itu.
“Mas, baksonya dua.”
Perhatianku diambil alih oleh
kedatangan dua wanita yang sungguh aku mengenalnya, mereka berdua bekerja di
kantin tempat aku sering memesan nasi telor.
“Piringnya kotor semua, yang nyuci
piringnya ke sana tadi..”
“Oalah, mau makan pun aku mesti
nyuci piring dulu.”
Aku tertegun, seolah sudah ada
relasi yang cukup kental antara dua wanita itu dengan para pedang di pinggir jalan
ini. Satu di antara dua wanita itu tidak sungkan untuk mencuci piring,
sepertinya pekerjaan itu sudah setia mengekal di tangannya.
“Kalian tahu, kenapa Aisyah di
serial Ayat-Ayat Cinta, tertarik sekali untuk meneliti wanita Jawa. Ikhsan
tahu? Bang jaka tahu?” Bang Fiqar tiba-tiba betanya.
Aku
sontak menggeleng. Bang jaka tak kalah beda.
“Jawabannya ada di depan kita...”
Kupandangi lagi kedua wanita yang
berbicara dengan dialeg medok itu. Aku juga sependapat, kebanyakan wanita zaman
ini akan lebih mementingkan cat di kuku panjangnya ketimbang harus rela
membantu pedangan bakso membersihkan mangkok dan piring-piring kotor tanpa
sungkan, tanpa meminta imbalan.
Aku
masih diam, sesekali ikut tertawa oleh kelakar jenaka yang ke empat seniorku
ini buat. Kadang hanya satu hal kecil dapat menjadi begitu menggelikan bila
sudah mereka yang mengolah. Aku masih
diam, sembari seksama memerhatikan, satu orang di antara mereka yang saput
hatinya ingin sekali aku dapatkan, namun sampai sekarang belum juga kesampaian.
Tak perlu diberitahu identitasnya, dia makhluk paling tinggi sendiri di antara
kami. :p
Segala harmoni fragmen
saat itu melebur di pinggiran jalan sumber. Selama masih ada empat pemuda seperti mereka. Selama aku
masih bisa terus meneliti tanpa harus pilih-pilih. Walau diamku kadang jadi
perotes sebagian orang. Mereka harus merasa tersanjung, sebab tanpa aku,
mungkin mereka hanya empat pemuda tanpa pengagum. [*]