Permukaannya licin, menciptkan pantulan, membentuk bayangan. Cermin. Boleh jadi, dalam beberapa situasi harus kauletakkan dirimu di depannya. Membedah refleksimu, mencari hal yang sesungguhnya kaucari. Selain membedah refleksi, boleh jadi, bercermin dapat menguak image pembentuk dirimu selama ini, jika saja kaumau melihat lebih dalam lagi. Image atau citra, sadar atau tidak, ia adalah fenomena budaya gelobal klasik hingga saat ini. Citra itulah yang telah membentuk visualitas dirimu sedemikian rupa.
Citra, bertebaran di sekeliling dan di sepanjang hidup kita. Pada gerak antisetatis hidup, pada putaran jarum jam momentum sejarah, citra senantiasa melekat pada gulingan mainstream masa lalu menuju benih mainstream masa kini. Hal-hal mengagumkan di masa terdahulu, sekarang bagai fosil tulang kehidupan masa silam. Dan hal-hal yang kini kita kagumi, banggakan, cengangkan, pada akhirnya akan terlewati, hilang, bahkan bisa saja terasa tak memberi makna.
Di antara semua hal-hal mainstream dan pengulangan-pengulangan ketidakpastian yang telah kita alami, maka pertanyaan yang muncul adalah siapa yang mengambil peran penting dalam setiap perubahan-perubahan itu? Mungkin para petinggi negri, mungkin raja-raja adidaya, atau negara-negara adikuasa, atau para entertainer baik kelas lokal ataupun kelas global yang begitu banyak memberikan efek citra?
Mari, kuberikan kau sebuah cermin. Ambil, dan tataplah cermin itu. Di detik pertama amatilah setiapa bayangan yang terpantul. Perhatikan setiap celah dan bentuk fisik yang ada. Kalau kaubisa membelah refleksi itu, akan kautemukan sesuatu tentang dirimu. Tentang penyebab kaumemilih pakaian hari ini, tentang penyebab kaumembeli sepatu, memilih kendaraan, dan puncaknya tentang penyebab keputusan-keputusan yang selama ini kauambil dan jalankan. Sekarang pertanyaannya, citra seperti apa yang tengah kauperankan? Sudahkah trendi? Sudahkah keren? Apakah Memukau? Apakah semua itu? Hal yeng memang harus ada atau jejeran citra yang ingin diberi makan, dirawat bagai anak kandung sendiri?
Indera pembentuk persepsi, selanjutnya menentukan cara kita bertindak. Mesin robot yang diprogram lingkungan. Apabila benar di luar hanyalah citra holografis, mungkin di dalam otak kita ada proyektornya? Namun ada
keanehan di semesta ini dari
partikel terkecil, sampai yang terbesar planet, galaksi, mereka
berputar berlawanan arah jarum jam. Mungkin kesadaran adalah kuncinya. Kita mengaku sebagai mahluk yang miliki kesadaran. Dan tak berlebihankan
kalau mengatakan kesadaran itu adalah citra kita sendiri?
Sadarkah jika kita, penggerak utama, partisipan sesungguhnya dari dunia citra itu sendiri. Kita baik secara langsung atau pun tidak langsung berkutat pada gerak dunia citra itu, terlepas dirimu adalah seorang apatis sejati atau pecinta budaya atau golongan pengikut mode saja. Citra begitu menggiyurkan. Mencoba lepas darinya adalah omongkosong belaka. Dalam segala urusan citra ada. realitas hidup kita terletak pada materi, semua benda yang dilihat mata. Citra memakan perhatian kita. Dalam segala hal, bahkan urusan ruhiniah terlebih jasaniah.
Setiap kali kaubercermin, maka cermatilah setiap citra yang telah melekat selama kauhidup. Pada apa yang telah kita perbuat. Saat kita mengambil tindakan, coba tanyakan pada diri sendiri, untuk apa itu? Adakah itu hanya citra saja?
Kita kembali pada bulan kesembilan dalam penanggalan Hijriyah nan penuh berkah. Ramadhan. Mari sama-sama senantiasa kita jangan lupa bercermin, menguak setiap senti refleksi dalam karsa kita. Dan jadikanlah bulan Ramadhan ini sebagai bulan pembakar citra.
Semoga bukan hanya lambung kita saja yang berpuasa, namun citra dalam diri kita juga harus ikut berpuasa. Terkususnya saya. :')