"Untuk apa?"
"Sadar tidak kalau kau buang-buang waktu dan tenaga?"
"Apa yang bisa kaudapat?"
Tanya mereka mengudara. Tak terhitung sudah berapa banyak versi dari pertanyaan mereka yang senada. Itu terjadi tat kala mereka tahu, aku tengah mengikut sertakan kepala dan hati untuk memperioritaskan kamu dalam lamunan yang menghasilkan kesia-siaan. Begitu kata mereka.
Kadang jika ditanya seperti itu, bagai ditimpuki puluhan batu. Membuat kesakitan dan ingin menangis. Di posisi terlemah mampu membuat aku jadi orang paling salah. "Apa yang aku dapat?" Kenapa malah jadi pribadi yang pamrih? Sekali pun mereka bilang ini sia-sia. Jujur aku tak pernah sebegitu memusingkannya. Apa yang mereka tahu tentangku? Mereka sekedar paham lapis pertama, paling hebat lapis ke dua dari kesekian banyak lapis yang kupunya. Hatiku yang mengusahakan ini itu. Jiwaku yang jadi lentera penerang jalan yang kupilih dan kulalui. Maaf, kalau aku jadi sinis. Tapi mengapa tiba-tiba seolah mereka yang tahu segalanya?
Biarpun puluhan, ratusan, atau jutaan kali mereka bilang itu sia-sia. Malah aku berpendapat, di detik pertama kudengar mentah-mentah ucapan mereka di situlah lahir yang namnya kesia-siaan. Asal tahu saja. Aku rela melakukannya. Mereka harus tahu, ada cake termanis hadir ketika cinta yang dipunya tak didasari imbalan apa-apa. Dia yang sekedar ada di ruang simulakrumku, tak pernah meminta apa-apa, tapi justru aku yang akan suka-rela memberikan apa pun untuknya. Jadi, peduli setan dengan kata 'sia-sia' yang mereka punya. Musnahlah dari segala alam yang ada. Terlebih dunia dan surga.
 |
| Sumber Gambar: Web. |
Karena cuma aku yang diberi wewenang membuka lembar demi lembar hidupku. Karena seyogianya aku yang merasa, bukan sesiapa. Dan terima kasih untuk semua perhatian dan lontaran pertanyaan superfisial. Aku tak berpikir yang kurasa adalah sia-sia. Biarkan kuikuti alirannya, izinkan kudekap indah setiap tikungan ia berpecah. Sebab setiap rasa bagiku adalah bunga yang akan indah jika memang sudah waktunya. :')
