19 Juli 2014

Ternyata Bukan Aku




Bus yang menampung kami (para mahasiswa jurusan Sastra Indonesia, FIB, USU) berjalan santai meninggalkan Kota Medan menuju arah utara. Mengambil rute melewati Jalan Rotan, lalu mengambil belokan kiri kedua lewat Jalan Jend Gatot Subroto, belok kiri lagi menuju Jalan Iskandar Muda, belok kanan mengambil Jalan Jamin Ginting, terus menuju Jalan Sibolangit, lalu dilanjutkan ke Jalan Bandar Baru, hingga sampai di sebuah bundaran––langsung mengambil jalan keluar kedua melewati Jalan Veteran-Berastagi, kemudian belok kanan dan belok kanan lagi. Aku selalu ingat setiap nama jalan dan belokan itu.
Hingga akhirnya perjalanan astral yang memakan waktu sekitar dua jam lebih ini, membawa kami tiba di Kota Berastagi.
            Hal pertama yang menyambut kami: sebuah Tugu Perjuangan. Tiga ratus meter dari tugu tersebut, kami disambut lagi oleh sebuah tugu. Bukan sembarang tugu, disebabkan daerah ini adalah penghasil sayur kol, tugu itu pun sengaja dibentuk menyerupai sayur kol berwarna hijau cerah. Perjalanan ini, bukan perjalanan pertamaku. Sudah sering aku mengunjungi Berastagi. Pemandangan yang disuguhkannya pun sudah kuanggap biasa. Yang tidak biasa dari perjalalan kali ini. Kami para mahasiswa yang rata-rata berstambuk 2011 mengemban tugas untuk menjadi relawan pengajar bagi pengungsi Sinabung.
Pengalaman pertamaku, sekaligus penyebab kegugupanku kali ini.
Bus kami terus melaju membelah hari yang kian sore, kami sampi di sebuah kamp pengungsian. Kebetulan kamp yang kami datangi adalah kamp yang paling ramai. Penanggung jawab kamp menyambut kami ramah, begitu juga dengan para pengungsi. Jika sebelum ke sini, aku dijejali dengan berita-berita perihal kacaunya Gunung Sinabung, para warga memboyong barang-barang mereka dengan wajah resah, juga berhektar-hektar lahan pertanian gagal panen, hewan-hewan ternak yang mati, sampai abu vulkanik yang menginfeksi udara hingga menimbulkan polusi, tapi begitu sampai dan disambut senyum hangat mereka, berita-berita itu sirna dan tak lagi mengusik perasaanku.
Aku jadi percaya bahwa hati memang dirancang sempurna. Mampu menampung rasa gundah dan bahagia, bahkan dalam waktu bersamaan.
Sambil menyapa lembut para pengungsi, seseorang mengejutkanku dari belakang, sampai membuatku tersentak kaget.
“Nova!!” pekikku pada pelaku yang mengagetkanku.
“Maaf..maaf, jangan serem gitulah wajahmu.” Nova malah tertawa meledek, selalu seperti itu. Jiwa kanak-kanak sahabatku, terkurung dalam raganya yang kini bersetatus mahasiswa. Kalau hanya bicara berdua dengaku, Nova bisa lebih gila lagi.
“Mahasiswa looh, jaga wibawa,” ucapku setengah berbisik.
“Iya, iya, Mbak Tio, yang berwibawa,” ledeknya.
Kusudahi perhatianku pada Nova, kusibukkan diri mengamati keadaan kamp ini. Selain rombongan kami, ternyata sudah ada rombongan relawan dari berbagai macam komunitas. Mereka datang dengan membawa bahan logistik untuk para pengungsi. Tidak seperti rombongan kami. Kami datang, tidak dengan bahan makanan atau pakaian, kami datang dengan ilmu. Ya, tujuan utama kami adalah menjadi pengajar bagi para pelajar muda di kamp pengungsian ini. Karena jurusan yang kugeluti adalah Sastra Indonesia, sudah pasti pelajaran Bahasa Indonesia yang akan kuajarkan nanti. Berbekal modul yang telah kupelajari sebelumnya aku siap mengajari mereka.
Mahasiswa yang lain bergegas berbenah, hal awal yang kami lakukan adalah berkenalan dengan anak-anak di kamp. Tak terkeculai aku dan Nova. Wajah-wajah lugu mereka tampak bersahabat. Meski ada beberapa di antaranya terlihat takut bertemu kami, mungkin dengan segala macam hal baru atas bencana yang sudah mereka lewati––masih meninggalkan nelangsa di hati mereka.
Aku menyapa ramah pada anak perempuan yang kutaksir berumur enam tahun, ia tampak malu-malu menyapaku kembali. Juga kuberanikan diri menggendong seorang bocah kecil yang kuambil dari gendongan Ibunya. Bersendagurau dengan anak-anak di sini tak lagi membuatku canggung, akibat di rumah, aku punya keponakan-keponakan kecil yang tak pernah lelah kalau sudah diajak bermain.
Aku jadi menyukai keadaan ini.
Kuyakin setiap perjalanan akan selalu meninggalkan kisah. Tiada yang pasti dengan hidup kecuali ketidakpastian itu sendiri. Siapa bisa sangka, selama empat hari aku di sini, apa nanti yang akan terjadi? Aku menebak-nebak sambil memandangi Gunung Sinabung yang kini samar tak terlihat karena tertutup abu.



2

Butuh beberapa lama untuk Nova terbiasa dengan keadaan, pagi-pagi kami sudah harus mengantri untuk mandi. Nova tampak gusar, jadwal mandinya tidak selama seperti biasa. Beberapa kali ia harus diganggu dengan ketukan para pengungsi yang memintanya cepat keluar dari kamar mandi. Ketukan itu memang tidak keras untuk dilempari sandal jepit, tidak juga pelan untuk diabaikan, namun cukup membuat Nova––seorang perempuan kota, terusik aktivitas mandinya.
            “Sudahlah.. namanya juga di kamp pengungsian, mulai dari hari ini kauharus terbiasa,” cetusku tatkala kami berkemas di dalam tenda.
            “Bisa cacat mental kalau lama-lama di sini. Aku cuma mandi sepuluh menit, Tio, bayangin sepuluh menit! Kamar mandinya juga menyeramkan!” Nova masih nyerocos, penuh penekanan pada kata ‘sepuluh menit’ seolah  langit akan runtuh sebentar lagi.
            “Nggak usah cengeng...ayuk cepat, kita udah ditunggu.”
            Kami langsung bergabung bersama teman yang lain, ikut sarapan pagi dengan para pengungsi juga para relawan.
            Nova memandang aneh pada piring pelastik yang mewadahi sarapan paginya. Pelan ia menowel lenganku.
            “Kenapa?” seruku berbisik.
            “Kalau makan ini, nggak akan sakit perut kan?”
            Kupandangi sarapan yang tengah kunikmati. Berisikan nasi putih, beberapa jenis sayuran dimasak santan, dan sambal tempe.
            “Nova..Nova..di sini kau nggak punya apa-apa, jangan banyak tingkah, udah makan aja,” bisikku lagi ke arah telinganya yang hanya beberapa centi dari bibirku.
            Kembali lenganku ditowelnya, “kalau aku sakit perut gimana?”
            “Itu lebih bagus, daripada nanti kelaparan.”
            Lenganku ditowelnya lagi, “kita cari restoran aja, ya, Tio,” ajaknya. Memaksa.
            “Ya ampun, Nova, kita di sini jadi relawan bukan mau wisata kuliner,” kugeser posisi duduk menjauh darinya, berharap aksi towel-towelan ini berhenti.
            Meski terpaksa, akhirnya Nova luluh juga. Ia tahu hari ini bakalan panjang, dan di tengah-tengah para pengungsi sangat tak sopan kalau kami meributi menu sarapan pagi ini.
            Tawa kecil seseorang mengusikku. Seorang pria dari salah satu rombongan relawan. Aku mengambil sikap tak peduli, tapi semakin lama, tawa kecilnya makin mengambil perhatianku. Pria itu cekikikan melihat ulah Nova dengan sarapaannnya. Nova mengepal nasinya agar mudah ditelan dengan ekspresi muka tidak rela menelan nasi itu.
            Kuperhatikan, raut muka pria itu yang sekarang menahan tawa, bola matanya bulat besar sinkron dengan kelopak matanya yang tegas. Dagunya lumayan runcing, tidak bertolak belakang dengan hidungnya yang seperti pria asia pada umumnya. Dan satu lagi, bibirnya....
Oh, tidak! Sadar sudah memandangi pria itu terlalu lama, kugumbris perhatianku darinya.
Mendadak suasana ini membuatku kaku. Namun selang beberapa menit menghangat. Perbincangan dari beberapa orang yang memicu tawa, jadi pelebur untuk pagi ini. Awal yang menarik, pikirku.



3

Tidak perlu terburu-buru bertanya di mana tempat kami akan mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia hari ini, karena alam adalah ruang kelas bagi kami, dengan tanah sebagai lantai dan langit menjelma atap yang menaungi.
            Anak-anak desa Tanah Karo memang sudah terbiasa dengan aktivitas di luar ruangan. Jadi tidak terlalu susah meng-handle mereka. Meski kadang dibuat kewalahan dengan beberapa anak yang terlalu aktif, tapi suasana kelas pada saat itu cukup menyenangkan.
            Aku kebagian tugas menjadi guru untuk anak-anak SMP, mereka adalah gabungan murit-murit dari beberapa sekolah yang harus libur karena bangunan sekolahnya rusak parah. Dari kampus, kami memang sengaja dikirim ke sini, mengingat jadwal Ujian Negara yang tinggal menghitung bulan. Ada beberapa point mengenai Morfologi dan EYD yang harus kuajarkan. Tidak begitu sulit, ternyata anak-anak ini dapat cepat mencerna.
            Di sela kegiatan belajar-mengajar, suara seseorang yang sedang bernyanyi mencuri perhatianku. Pria yang kulihat waktu sarapan tadi. Di sebuah pohon rindang tak jauh dari tempatku, dia tengah bernyanyi diiringi permainan gitar sederhana. Dia tidak bernyanyi sendiri, sebagian anak-anak kamp yang tidak ada kegiatan belajar, hidmat mendengarkannya menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa Karo yang tak kumengerti. Tepat juga tindakannya, berbulan-bulan dalam tenda pengungsian, tanpa hiburan, pastilah membuat psikologis anak-anak di sini terguncang, belum lagi kabar perihal sanak-saudara yang kehilangan tempat tinggal bahkan ada kabar duka dari mereka yang meninggal, akibat shock pada realitas.
            Bukan cuma itu, dari arah lain, ada peristiwa unik menggemparkanku. Tepatnya menggemparkan kami. Bagaimana tidak gempar? Gerombolan anak-anak berlarian menuju arah tempatku sedang mengajar. Di antara anak-anak yang berlari itu ada Nova di sana, kucar-kacir berlari dari sesuatu. Seekor kambing jantan berusia cukup tua mengejar mereka. Sontak seluruh orang-orang yang ada di lapangan waktu itu berhamburan membantu mereka, kambing tegap itu mengamuk. Kulihat Nova terengah-engah berlari ke arahku. Geraknya limbung, tubuhnya mendekap tubuhku.
            “To–to..long..” Nova tergagap karena detak jantung dan hembusan napas yang tak normal.
            “Kenapa?” wajahnya penuh cucuran keringat.
            “Kambing itu...” tak sempat menjelaskan, Nova yang tak pernah kulihat berlari sekencang tadi, ambruk dalam pelukanku. Ia sangat kelelahan. Ada luka memar di lututnya, pasti ia terjatuh.
            Orang-orang masih sibuk menghalau kambing itu, tak terkecuali pria yang sedang bernyanyi tadi. Gitar di tangannya sampai ia gunakan jadi penghalang bagi kambing itu.
            Nova...Nova, nggak henti-hentinya membuat masalah.



4

“AAAAAAAAARRRRRRRGGGGGGHHHH!!” Nova menjerit. Aku yang tengah membawa semangkuk air hangat sampai terlonjak kaget. Di kamp, lukanya sedang diobati. Pria tadi mengambil inisiatif menggendong Nova sampai ke tenda. Dengan kapas dan obat merah beralkohol pria itu mengobatinya.
            “Tahan..” katanya, sedikit membentak.
            Seharusnya itu tugasku, tapi dengan alasan yang tidak jelas, pria itu seenaknya menyuruhku mengambil air hangat. Dan langsung memberikan pertolongan pertama pada Nova.
            Kembali Nova terlonjak, ia menggigiti bibirnya sendiri, mencengkram bantal di dekatnya, berupaya tidak berteriak lagi. Setelah beberapa saat, akhirnya aktivitas itu selesai. Terdengar pria itu menghela napas.
            Aku langsung mengompres Nova dengan haduk yang kucelupkan ke air hangat.
            “Terima kasih, ya,” ucapku padanya.
            “Sama-sama,” katanya berlalu pergi.
            “Tunggu..” sergahku menahan langkah pria itu.
            “Nama kamu?”
            Ia sempat diam beberapa saat.
            “Panggil saja Ergi.”
            Aku mengangguk sambil tersenyum...mengetahui ternyata namanya Ergi.



5


Malam di tenda pengungsian berjalan seperti kemarin. Di sampingku Nova sudah tertidur pulas. Belum sempat kutanyakan padanya apa yang telah ia perbuat sampai kambing itu mengamuk. Seharusnya aku pun sudah tidur, tapi kurasa sulit juga mencari posisi tidur ternyaman. Kuputuskan beranjak keluar mencari dingin malam.
            Di sebuah kursi yang ada di luar, kududukkan diriku di sana. Masih kulihat beberapa orang mengobrol sembari berjaga-jaga. Kudongakkan kepala sampai pandanganku mengarah ke langit memandangi bintang. Jaket yang melekat di badan kuulur agar dapat menjaga suhu hangat di badanku. Udara Berastagi pada malam hari memang terasa sedingin es. Di sela kegiatanku mengamati cahaya perak di langit, langkah seseorang mendekatiku. Kuambil arah pandang menuju asal suara langkah itu. Ergi.
            Ia berjalan santai dan kemudian ikut duduk pada sbuah kursi di depanku. “Kenapa belum tidur?”
            Posisi dudukku langsung kutegakan.
“Belum bisa tidur..” jawabku seadanya.
            Tak ada tanggapan, selain suara jangkrik mengudara. Lama hanya diam, terasa aku tengah diperhatikan. Sengaja kulirik Ergi, ternyata benar, matanya sedang memerhatikanku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Seketika perasaan aneh mendatangi. Aku jadi kegerahan dalam keadaan sedingin ini. Dengan sigap kubalas tatapannya. Dia hanya tersenyum, berdehem, lalu menatap sekitar. Dapat kubaca geraknya. Ia salah tingkah.
            “Temanmu tadi lucu, ya?” ia bertanya mengusir sepi yang sempat ada.
            “Nova? Dia memang seperti itu,” kutanggapi pertanyaannya sewajar mungkin.
            “Kalian berteman?”
            “Bukan cuma teman, kami udah kayak kakak adik.”
            Hening....
            “Kamu relawan asal mana?” lama melihat Ergi diam, kuberanikan diri bertanya.
            “Aku dari klub pendaki, karena nggak bisa lagi mendaki Sinabung, jadi lari ke sini,” dia tertawa.
            Itu dia, tawa kecil yang kulihat tadi pagi. Tawa yang sempat mencuri perhatianku.
            Malam itu kami lewati dengan perbincangan kecil mengenai kegiatan sampai ranah personal. Ia cukup pandai membuat guyonan lucu, tak jarang aku sampai tertawa lepas dibuatnya. Ia bercerita mengenai dirinya yang sudah hidup sendiri sejak remaja. Orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan, hanya dirinya sendiri yang selamat waktu itu. Sempat aku terhanyut pada kisahnya, menjadikanku memerhatikan sosoknya lebih lama.
            “Sudah mendaki ke mana aja?” tanyaku lagi, di setelah ia selesai bercerita.
            “Ke Sibayak pernah, ke Sinabung juga sudah, ke Bromo beberapa kali, yang paling berkesan saat aku ke Alaska.”
            “Alaska? Kamu pernah ke sana?” tanyaku antusias.
            “Setahun lalu,” Ergi tersenyum polos. “Kota pertama yang kusinggahi adalah Ketchikan, waktu itu di sana sedang musim panas, suasana malam harinya sangat terang, seperti matahari bersinar di tengah malam. Di sana jam sembilan malamnya, seperti jam tiga sore di sini. Matahari bersinar dua puluh tiga jam sehari, jadi cuma ada satu jam keadaan gelap. Di gelap satu jam itulah, kusaksikan Aurora Borealis, cahaya hijau, merah, biru, dan ungu, berpendar megah di langit. Aurora pertamaku.” Ergi mendongakkan kepalanya ke atas langit. Ia seolah menerawang jauh ke sana.
“Kamu tahu, selain itu apalagi yang mengagumkan di sana?”
            “Apa?” aku semakin penasaran dengan Alaska.
Selain gunung salju, keadaan hari, serta auroranya yang menakjubkan, nggak pernah aku lihat ada pohon pinus selebat di sana, “ Ergi bersemangat bercerita. Aku sampai takjub dibuatnya. Dulu pernah juga aku berkeinginan pergi mengambil studi di Alaska. Tapi sampai sekarang masih belum terlaksana.
            Berangsur-angsur waktu berjalan, aku dan Ergi masih bercerita panjang lebar. Cerita-cerita perjalanannya memang mengejutkanku, pantas saja tubuhnya terpatri gagah, apalagi jenjang kedua kakinya. Entah sudah berapa gunung yang ia lewati. Aku makin tertarik. Ia semakin menarik.
            Seketika terasa ada kabut tebal menjalar di sekujur tubuhku, kabut itu keluar dari rongga tak bernama, perlahan namun pasti membawakan kesan itu. Kesan ketika alunan musik terdengar meski tak ada yang memainkan alat musik. Aneh memang, tapi itulah adanya, seolah sesuatu berdenting membentuk harmoni mayor manis nan indah, bahkan bisa ditangkap telinga, meski tak gunakan suara atau petikan senar gitar. Dentingan itu terpetik rapi, terkonsep apik.
            Buru-buru kutepis perasaan aneh itu. Sontak aku bangkit dari dudukku.
            “Mau ke mana?” Ergi menatap heran.
            “Aku merasa ngantuk, mau langsung tidur.” Kilahku beralasan.
            Ergi mengangguk maklum. “Selamat tidur,” ucapnya, entah mengapa ia kian tampak berbeda.
            Bergegas kulayangkan kaki menjauhi dia. Sebisa mungkin kututupi kegugupan ini. Sampai di dalam tenda, langsung kuambil posisi rebahan di samping Nova.
Kenapa aku? Kok jadi aneh gini? Langsung kupejamkan mata memutuskan tidur secepatnya.
            Aku bermimpi, tersesat di hutan pinus Alaska.



6


Sinar mentari pagi membangunkan pengungsi di kamp secara alami. Namun tidak denganku, aku telat bangun, mataku samar-samar melihat tema-teman sudah bergegas melanjutkan tugas di hari ini. Hari terakhir kami di kamp.
“Cepat bangun, tumben telat?” suara Nova jadi pelengkap dari ruhku yang belum terkumpul seutuhnya.
“Kepalaku agak pusing.” Kuupayakan bangkit dari rebahan.
“Kau sakit?” suara Nova panik. “Aku semalam yang di kejar-kejar kambing, malah kau yang sakit hari ini,” ucapnya penuh keterkejutan.
“Mungkin karena kelamaan di luar tadi malam.”
“Di luar? Tadi malam? Ngapain?” sifat kepo Nova mendadak muncul.
“Nggak ngapa-ngapain? Kau sendiri, kenapa di kejar kambing semalam?” tembakku langsung.
“Hehehee.. aku juga nggak ngerti, padahal aku sama anak-anak itu lagi main bola,” tandas nova. “Yaudah, cepat mandi sana, hari ini kita mau ke Bukit Gundaling.”
Kupehatikan Nova yang kini lebih baikan dari semalam, untuk beberapa alasan, kadang aku susah menebak gelagat sahabatku satu itu.



Di Bukit Gundaling....
            Udara segar masih terasa di indra penciumanku, satu-satu para mahasiswa menuruni bus. Perjalanan ke Bukit Gundaling memang jadi salah satu agenda yang sudah panitia buat. Setelah berdiskusi bersama penanggung jawab Kamp, kami akhirnya diizinkan membawa anak-anak di kamp ikut serta. Tujuannya untuk menekan rasa tak nyaman juga stres yang mereka alami. Berbulan-bulan berada di kamp tanpa tahu kejelasan keadaan meraka, pasti hal-hal semAcam itu sangat menyiksa, apalagi terhadap anak-anak yang lugu-lugu ini.
            Dari Bukit Gundaling dapat terlihat jelas Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung menghapit berastagi. Gunung Sinabung yang masih ‘lusuh’ itu sewaktu-waktu dapat menjadi meriam dan kapan saja dapat melemparkan laharnya. Tapi tidak saat ini, dikabarkan aktivitas gunung itu sudah mereda, meski masih ada ancang-ancang untuk letusan selanjutnya.
            Peralatan langsung kami siapkan. Ada kertas origami, beragam bentuk balon, dan alat-alat tulis.
            Aku langsung dikerumuni oleh anak-anak itu, ketika kubagikan kertas origami kepada mereka. Nova tak kalah beda, anak-anak itu merebuti balon yang ada di tangannya. Ia sampai tak kuasa menahan anak-anak itu.
            “Sekarang yang sudah dapat kertas origami, segera lipat kertasnya. Terserah mau bentuk apa aja, pesawat kertas, perahu kertas, bunga kertas juga boleh,” intruksiku kepada mereka.
            Dari kejauhan sebuah mobil pickup mendekati kami. Ternyata Ergi dan klub Pendakinya juga singgah ke Bukit Gundaling. Kebetulan sekali, pikirku. Di atas pickup itu ia menatap ke arahku. Langsung kusibukkan diri dengan anak-anak. Sekali lagi kulirik ke arah pickup itu. Dia sudah tidak ada. Ke mana dia? Kuedarkan pandangan ke sekeliling bukit. Tetap tidak kutemukan. Dari belakang kurasakan seseorang memegang pundakku.
            “Ergi!” aku tersentak kaget.
            “Sori, sori, kaget ya?”
            “Enggak..” aku berlagak pilon.
            “Seru, ya..” ucapnya memerhatikan kegiatan kami.
            “Bagaimana untuk yang buat pesawat kertas, kita terbangkan di dekat sana,” tunjuk Ergi kedataran yang lebih tinggi.
            “Boleh, tapi lomba ya,” timpalku.
            Seluruh anak-anak baik yang membuat pesawat kertas ataupun tidak, ikut bersiap-siap berlari.
            “Aku hitung,” sergahku, “satu...dua....”
            “TIGA!”
            Tanpa sembat kuselesaikan hitungan, Ergi malah berlari duluan. “Sial!” umpatku.
            Meski tergopoh-gopoh karena ketinggalan, akhirnya aku sampai di tempat mereka berkumpul. Berbagai macam warna kertas origami melayang dalam bentuk pesawat kertas. Aku kagum sendiri melihatnya. Ramai anak-anak itu mengerumuni Ergi, dengan mudah ia mampu menarik perhatian anak-anak itu. Kembali aku terkagum. Kini anak-anak itu sudah sampai ditindak anarkis, Ergi sampai terjatuh karena dikeroyok mereka.
            “Sudah..sudah..” ia memohon sembari tertawa lepas.
            Sementara aku terhipnotis melihat hal tersebut.
Sial perasaan itu lagi!
***
            Mereka semua tergolek di tanah. Kelelahan. Aku pun tak kalah lelahnya, lelah karena tertawa.
            “Malah tidur-tiduran di sini,” Nova datang menghampiri kami. “Ayo cepat, semua ngumpul, bentar lagi kita mau balik ke kamp,” sambungnya memberi tahu.
            “Iya sebentar lagi,” ucapku.
            Kusadari Ergi memalingkan perhatiannya ke arah Nova. Meski begitu, Nova beranjak tidak mengetahui.
            Aku juga jadi ikut memerhatikan Nova. Sudah lama aku bersahabat dengannya, memang begitulah Nova. Selalu cuek dengan sekitar, tapi justru karena itu selalu banyak perhatian mampu ditariknya, bukan karena semata-mata bentuk atau lekuk tubuh, tapi karena sikap ketidakpeduliannya. Di dimensi ketidakpeduliannya ia menjelma lebih anggun.
            Sempat lama Ergi memandangi Nova. Sengaja aku berdehem. “Ayuk, anak-anak kita pulang ke kamp, sudah sore.”


7

Waktu bergulir tanpa celah kalau kita bisa menikmatinya. Empat hari berada di kamp pengungsian membuat aku sadar akan sesuatu. Seperti pagi ini, bersama senda gurau para pengungsi, lamat-lamat kuamati sarapan di piring pelastikku. Banyak pengalaman berharga kudapat. Tentang umur manusia yang bisa sekedip cahaya kunang-kunang, dan sekuat dengus banteng di padang rumput. Tentang kebudayaan tidak terhingga di antara ancaman lahar panas. Tentang ikatan kepedulian dalam tenda pengungsian. Tentang aku...tentang Ergi. Tunggu? Tentang Ergi? Siapa dia? Kenapa tiba-tiba aku jadi memikirkannya. Atau jangan-jangan...tidak! Tapi mungkin saja? Ah.. perasaan ini membingungkan!
            Kususun piringku ditumpukan piring kotor, secepatnya aku pergi sebelum nanti aku terseyum, cemberut, atau tertawa-tawa sendiri. Kutumpuki lagi barang-barang ke dalam traveling bag-ku. Nova pun tidak kalah sibuknya.
            “Akhirnya, setelah empat hari,” ia berdecak girang.
            “Kenapa setelah empat hari?”
            “Aku bisa mandi lebih lama,” cetusnya bercampur tawa.
            Senyum menyembul dari wajahku. Setidaknya ada yang merasa bahagia dalam kepulangan ini.
            Setelah berkemas, kubiarkan untuk sesaat diriku berjalan-jalan di sekitar kamp, sambil memegang kamera, kubidik lensaku pada semua aktivitas para pengungsi. Sangking asiknya, sampai tak kusadari ada seseorang di belakangku, hal itu kuketahui tatkala kaki ini memijak kakinya.
            “Aduh..” suara seseorang mengaduh.
            Kubalikkan badan, “Ergi?!” kadang aku merasa semua ini rekayasa, di beberapa segemen dalam hariku, kenapa dirinya selalu ada. Di aman-mana!
“Ngapain di sini?”
            “Aku sengaja memang mau ketemu kamu.” Ucapnya lembut. “kalian mau balik ke Medan hari ini kan?”
            Aku mengangguk. “Ketemu aku?” jelas bagiku itu suatu keanehan. Namun, kebetulan sekali, aku pun ingin menjumpainya sebelum berangkat pulang.
            “Aku mau ngomong sesuatu,” Ergi berkata terbata, gelagatnya mulai tak wajar. Kulihat ada amplop putih di tangan kanannya.
            “Mau ngomong apa? Bilang aja.” Wajahku kusantai-santaikan.
            “Gimana ya, malu juga bilangnya.” Ia semakin salah tingkah.
            Perlahan kudekatkan diriku padanya. Mengambil jarak interpersonal.
            “Kenapa malu, bilang aja.” Cepat bilang, kamu suka sama aku kan? Mendadak atmosfer itu pun membuatku gugup.
            “Hhhmmm..aku...” tanpa disadarinya Ergi bergumam-gumam tak jelas, ”Aku.. Hhmm..”
            “Aku kenapa? Sakit perut?” aku mulai penasaran.
            “Bukan, kamu jangan tertawa ya?” kali ini suaranya bergetar.
            “Iya, iya, aku nggak akan tertawa.” Cepat bilang, kamu juga masih ingin kita bertemu lagi kan? Aku mulai tak sabar.
            Perlahan ia menyodorkanku amplop yang sejak tadi dipeganggnya.
            “Apa ini?”
            “Bisa kamu berikan ini sama Nova.”
            “Ha? Nova?”
            “Iya, sahabat kamu itu. Entah kenapa sejak hari pertama rombongan kalian datang, aku... hhmmm....kamu tahu maksudku kan?”
            Tiada yang dapat kugambarkan untuk menunjukkan perasaanku saat ini. Nova? Kenapa? Bagaimana bisa?!
            “Kamu bisa kan ngasi ini,” ucapnya lagi penuh penekanan.
            “Kamu ini, masih pakai surat-suratan, jumpai aja langsung,” meski tak kentara tapi jelas nada itu nada kekecewaan.
            “Tolonglah...aku malu, kamu kan sahabatnya, please, Tio.”
          Ragu, namun kuambil amplop itu. “Yasudah nanti akan kusampaikan.” Ucapku mengiyakinkan permintaannya.
            “Terima kasih, terima kasih,” wajahnya sarat kegembiraan seperti habis memenangkan undian lotre.
            Dan Ergi langsung beranjak pergi meninggalkanku.
Lama aku tecenung, mengoreksi lagi apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan-lahan ada sesuatu yang aneh. Kedua ujung bibirku secara insting tertarik ke atas. Aku tersenyum lebar. Dan, beberapa detik kemudian, tertawa. Sekelebat tendensi dalam pikiranku mencari apa sebenarnya yang lucu. Tidak ada sedikit pun hal yang layak ditertawakan. Tapi, sangking tidak ada yang lucu, malah tawaku bertambah makin keras. Mendadak segalanya menjadi lucu. Aku terpingkal-pingkal, sampai membuat perutku sakit. Ingatan terakhir dalam hidupku, belum pernah aku tertawa sepanjang ini. Senikmat dan selepas  ini.
            Kuseka air mata yang tergenang. Selama ini, ternyata Ergi mendekatiku karena diam-diam tertarik dengan Nova? Sementara aku, tanpa kendali mulai diam-diam jatuh hati padanya. Kekonyolan ini membuatku makin sadar. Segera aku pergi menuju tenda sambil membawa amplop dari Erga yang ternyata untuk Nova.
***

“Apa! Dia suka sama aku?!” dalam tenda, Nova terheran-heran sekaligus tidak percaya.
            Amplop itu sudah dibukanya. Berisikan sepucuk surat, dan biarpun tanpa kubaca, aku sudah tahu apa point surat itu.
            “Dia orangnya kayak gimana?” Nova mulai mengintropeksi diriku.
            “Baik...dia anggota klub pendaki, udah mendaki sampai ke Alaska katanya.” Tandasku.
            “Alaska? Hebat dong..aku jadi penasaran.” Nova menatap lekat amplop itu.
            Dari percakapan ini kekosongan mulai kurasakan.
            “Sudahlah, nanti sebelum pulang, lihat dulu orangnya,” ucapku sewajar mungkin.
            Kami langsung beranjak mengambil tas lalu pergi menuju bus yang sudah menunggu.
           Setelah berpamitan dengan Nande-nande[1], orangtua dan anak-anak di kamp. Kuayunkan kaki segera menuju bus. Tempat duduk di samping jendela adalah kesukaanku. Sekilas dari jendela kaca bus kuperhatikan lagi tempat pengungsian ini. Kuhela napas berat. Dan sinkronitas seperti sengaja mengarahkan mataku pada Ergi dan Nova yang sedang bercakap-cakap. Selaksa rasa gundah memuncah dalam dadaku. Namun, perasaan lain datang. Perasaan sebab melihat Nova yang begitu sumringah di hadapan Ergi.
            Nova sahabat terbaikku walau kadang gila. Ergi juga pria sopan, lucu pula. Mereka cocok. Padanan pas.
Aku kembali percaya bahwa hati memang dirancang sempurna. Telah tertata dan terkonsep rapi. Di empat hari ini, aku mengalaminya sendiri. Bagaimana hatiku mampu menampung rasa gundah dan bahagia dalam waktu bersamaan.*



[1] Panggilan dalam bahasa Karo untuk wanita yang lebih tua.

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran