Bus yang menampung kami (para mahasiswa
jurusan Sastra Indonesia, FIB, USU) berjalan santai meninggalkan Kota Medan menuju
arah utara. Mengambil rute melewati Jalan Rotan, lalu mengambil belokan kiri kedua lewat Jalan Jend Gatot Subroto, belok kiri lagi menuju Jalan Iskandar Muda, belok kanan
mengambil Jalan Jamin Ginting, terus menuju Jalan Sibolangit, lalu dilanjutkan ke
Jalan Bandar Baru, hingga sampai di sebuah bundaran––langsung mengambil jalan
keluar kedua melewati Jalan Veteran-Berastagi, kemudian belok kanan dan
belok kanan lagi. Aku selalu ingat setiap nama jalan dan belokan itu.
Hingga
akhirnya perjalanan astral yang memakan waktu sekitar dua jam lebih ini,
membawa kami tiba di Kota Berastagi.
Hal pertama yang menyambut kami: sebuah Tugu Perjuangan. Tiga
ratus meter dari tugu tersebut, kami disambut lagi oleh sebuah tugu. Bukan
sembarang tugu, disebabkan daerah ini adalah penghasil sayur kol, tugu itu pun
sengaja dibentuk menyerupai sayur kol berwarna hijau cerah. Perjalanan ini,
bukan perjalanan pertamaku. Sudah sering aku mengunjungi Berastagi. Pemandangan
yang disuguhkannya pun sudah kuanggap biasa. Yang tidak biasa dari perjalalan
kali ini. Kami para mahasiswa yang rata-rata berstambuk 2011 mengemban tugas
untuk menjadi relawan pengajar bagi pengungsi Sinabung.
Pengalaman
pertamaku, sekaligus penyebab kegugupanku kali ini.
Bus kami
terus melaju membelah hari yang kian sore, kami sampi di sebuah kamp
pengungsian. Kebetulan kamp yang kami datangi adalah kamp yang paling ramai.
Penanggung jawab kamp menyambut kami ramah, begitu juga dengan para pengungsi.
Jika sebelum ke sini, aku dijejali dengan berita-berita perihal kacaunya Gunung
Sinabung, para warga memboyong barang-barang mereka dengan wajah resah, juga
berhektar-hektar lahan pertanian gagal panen, hewan-hewan ternak yang mati,
sampai abu vulkanik yang menginfeksi udara hingga menimbulkan polusi, tapi
begitu sampai dan disambut senyum hangat mereka, berita-berita itu sirna dan
tak lagi mengusik perasaanku.
Aku jadi
percaya bahwa hati memang dirancang sempurna. Mampu menampung rasa gundah dan
bahagia, bahkan dalam waktu bersamaan.
Sambil menyapa lembut
para pengungsi, seseorang mengejutkanku dari belakang, sampai membuatku
tersentak kaget.
“Nova!!” pekikku pada pelaku
yang mengagetkanku.
“Maaf..maaf, jangan
serem gitulah wajahmu.” Nova malah tertawa meledek, selalu seperti itu. Jiwa
kanak-kanak sahabatku, terkurung dalam raganya yang kini bersetatus mahasiswa.
Kalau hanya bicara berdua dengaku, Nova bisa lebih gila lagi.
“Mahasiswa looh, jaga
wibawa,” ucapku setengah berbisik.
“Iya, iya, Mbak Tio,
yang berwibawa,” ledeknya.
Kusudahi perhatianku pada
Nova, kusibukkan diri mengamati keadaan kamp ini. Selain rombongan kami,
ternyata sudah ada rombongan relawan dari berbagai macam komunitas. Mereka
datang dengan membawa bahan logistik untuk para pengungsi. Tidak seperti
rombongan kami. Kami datang, tidak dengan bahan makanan atau pakaian, kami
datang dengan ilmu. Ya, tujuan utama kami adalah menjadi pengajar bagi para pelajar
muda di kamp pengungsian ini. Karena jurusan yang kugeluti adalah Sastra
Indonesia, sudah pasti pelajaran Bahasa Indonesia yang akan kuajarkan nanti.
Berbekal modul yang telah kupelajari sebelumnya aku siap mengajari mereka.
Mahasiswa yang lain bergegas
berbenah, hal awal yang kami lakukan adalah berkenalan dengan anak-anak di
kamp. Tak terkeculai aku dan Nova. Wajah-wajah lugu mereka tampak bersahabat.
Meski ada beberapa di antaranya terlihat takut bertemu kami, mungkin dengan
segala macam hal baru atas bencana yang sudah mereka lewati––masih meninggalkan
nelangsa di hati mereka.
Aku menyapa ramah pada
anak perempuan yang kutaksir berumur enam tahun, ia tampak malu-malu menyapaku
kembali. Juga kuberanikan diri menggendong seorang bocah kecil yang kuambil
dari gendongan Ibunya. Bersendagurau dengan anak-anak di sini tak lagi membuatku
canggung, akibat di rumah, aku punya keponakan-keponakan kecil yang tak pernah
lelah kalau sudah diajak bermain.
Aku jadi menyukai keadaan
ini.
Kuyakin setiap
perjalanan akan selalu meninggalkan kisah. Tiada yang pasti dengan hidup
kecuali ketidakpastian itu sendiri. Siapa bisa sangka, selama empat hari aku di
sini, apa nanti yang akan terjadi? Aku menebak-nebak sambil memandangi Gunung
Sinabung yang kini samar tak terlihat karena tertutup abu.
2
Butuh beberapa lama untuk Nova terbiasa
dengan keadaan, pagi-pagi kami sudah harus mengantri untuk mandi. Nova tampak
gusar, jadwal mandinya tidak selama seperti biasa. Beberapa kali ia harus
diganggu dengan ketukan para pengungsi yang memintanya cepat keluar dari kamar
mandi. Ketukan itu memang tidak keras untuk dilempari sandal jepit, tidak juga
pelan untuk diabaikan, namun cukup membuat Nova––seorang perempuan kota,
terusik aktivitas mandinya.
“Sudahlah..
namanya juga di kamp pengungsian, mulai dari hari ini kauharus terbiasa,”
cetusku tatkala kami berkemas di dalam tenda.
“Bisa
cacat mental kalau lama-lama di sini. Aku cuma mandi sepuluh menit, Tio,
bayangin sepuluh menit! Kamar mandinya juga menyeramkan!” Nova masih nyerocos, penuh
penekanan pada kata ‘sepuluh menit’ seolah
langit akan runtuh sebentar lagi.
“Nggak
usah cengeng...ayuk cepat, kita udah ditunggu.”
Kami
langsung bergabung bersama teman yang lain, ikut sarapan pagi dengan para
pengungsi juga para relawan.
Nova
memandang aneh pada piring pelastik yang mewadahi sarapan paginya. Pelan ia
menowel lenganku.
“Kenapa?”
seruku berbisik.
“Kalau
makan ini, nggak akan sakit perut kan?”
Kupandangi
sarapan yang tengah kunikmati. Berisikan nasi putih, beberapa jenis sayuran
dimasak santan, dan sambal tempe.
“Nova..Nova..di
sini kau nggak punya apa-apa, jangan banyak tingkah, udah makan aja,” bisikku
lagi ke arah telinganya yang hanya beberapa centi dari bibirku.
Kembali
lenganku ditowelnya, “kalau aku sakit perut gimana?”
“Itu
lebih bagus, daripada nanti kelaparan.”
Lenganku
ditowelnya lagi, “kita cari restoran aja, ya, Tio,” ajaknya. Memaksa.
“Ya
ampun, Nova, kita di sini jadi relawan bukan mau wisata kuliner,” kugeser posisi duduk
menjauh darinya, berharap aksi towel-towelan ini berhenti.
Meski
terpaksa, akhirnya Nova luluh juga. Ia tahu hari ini bakalan panjang, dan di
tengah-tengah para pengungsi sangat tak sopan kalau kami meributi menu sarapan
pagi ini.
Tawa
kecil seseorang mengusikku. Seorang pria dari salah satu rombongan relawan. Aku
mengambil sikap tak peduli, tapi semakin lama, tawa kecilnya makin mengambil
perhatianku. Pria itu cekikikan melihat ulah Nova dengan sarapaannnya. Nova
mengepal nasinya agar mudah ditelan dengan ekspresi muka tidak rela menelan nasi
itu.
Kuperhatikan,
raut muka pria itu yang sekarang menahan tawa, bola matanya bulat besar sinkron
dengan kelopak matanya yang tegas. Dagunya lumayan runcing, tidak bertolak
belakang dengan hidungnya yang seperti pria asia pada umumnya. Dan satu lagi, bibirnya....
Oh, tidak! Sadar sudah
memandangi pria itu terlalu lama, kugumbris perhatianku darinya.
Mendadak suasana
ini membuatku kaku. Namun selang beberapa menit menghangat. Perbincangan dari beberapa orang yang memicu tawa, jadi pelebur untuk
pagi ini. Awal yang menarik, pikirku.
3
Tidak perlu terburu-buru bertanya di mana
tempat kami akan mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia hari ini, karena alam
adalah ruang kelas bagi kami, dengan tanah sebagai lantai dan langit menjelma
atap yang menaungi.
Anak-anak
desa Tanah Karo memang sudah terbiasa dengan aktivitas di luar ruangan. Jadi
tidak terlalu susah meng-handle mereka.
Meski kadang dibuat kewalahan dengan beberapa anak yang terlalu aktif, tapi
suasana kelas pada saat itu cukup menyenangkan.
Aku
kebagian tugas menjadi guru untuk anak-anak SMP, mereka adalah gabungan murit-murit
dari beberapa sekolah yang harus libur karena bangunan sekolahnya rusak parah.
Dari kampus, kami memang sengaja dikirim ke sini, mengingat jadwal Ujian Negara
yang tinggal menghitung bulan. Ada beberapa point
mengenai Morfologi dan EYD yang harus kuajarkan. Tidak begitu sulit,
ternyata anak-anak ini dapat cepat mencerna.
Di
sela kegiatan belajar-mengajar, suara seseorang yang sedang bernyanyi mencuri
perhatianku. Pria yang kulihat waktu sarapan tadi. Di sebuah pohon rindang tak
jauh dari tempatku, dia tengah bernyanyi diiringi permainan gitar sederhana. Dia
tidak bernyanyi sendiri, sebagian anak-anak kamp yang tidak ada kegiatan
belajar, hidmat mendengarkannya menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa Karo yang
tak kumengerti. Tepat juga tindakannya, berbulan-bulan dalam tenda pengungsian,
tanpa hiburan, pastilah membuat psikologis anak-anak di sini terguncang, belum
lagi kabar perihal sanak-saudara yang kehilangan tempat tinggal bahkan ada kabar
duka dari mereka yang meninggal, akibat shock
pada realitas.
Bukan
cuma itu, dari arah lain, ada peristiwa unik menggemparkanku. Tepatnya menggemparkan
kami. Bagaimana tidak gempar? Gerombolan anak-anak berlarian menuju arah
tempatku sedang mengajar. Di antara anak-anak yang berlari itu ada Nova di
sana, kucar-kacir berlari dari sesuatu. Seekor kambing jantan berusia cukup tua
mengejar mereka. Sontak seluruh orang-orang yang ada di lapangan waktu itu
berhamburan membantu mereka, kambing tegap itu mengamuk. Kulihat Nova terengah-engah berlari
ke arahku. Geraknya limbung, tubuhnya mendekap tubuhku.
“To–to..long..”
Nova tergagap karena detak jantung dan hembusan napas yang tak normal.
“Kenapa?” wajahnya penuh cucuran keringat.
“Kambing
itu...” tak sempat menjelaskan, Nova yang tak pernah kulihat berlari sekencang
tadi, ambruk dalam pelukanku. Ia sangat kelelahan. Ada luka memar di lututnya,
pasti ia terjatuh.
Orang-orang
masih sibuk menghalau kambing itu, tak terkecuali pria yang sedang bernyanyi
tadi. Gitar di tangannya sampai ia gunakan jadi penghalang bagi kambing itu.
Nova...Nova, nggak henti-hentinya membuat
masalah.
4
“AAAAAAAAARRRRRRRGGGGGGHHHH!!” Nova
menjerit. Aku yang tengah membawa semangkuk air hangat sampai terlonjak kaget.
Di kamp, lukanya sedang diobati. Pria tadi mengambil inisiatif menggendong Nova
sampai ke tenda. Dengan kapas dan obat merah beralkohol pria itu mengobatinya.
“Tahan..”
katanya, sedikit membentak.
Seharusnya
itu tugasku, tapi dengan alasan yang tidak jelas, pria itu seenaknya menyuruhku
mengambil air hangat. Dan langsung memberikan pertolongan pertama pada Nova.
Kembali
Nova terlonjak, ia menggigiti bibirnya sendiri, mencengkram bantal di dekatnya,
berupaya tidak berteriak lagi. Setelah beberapa saat, akhirnya aktivitas itu
selesai. Terdengar pria itu menghela napas.
Aku
langsung mengompres Nova dengan haduk yang kucelupkan ke air hangat.
“Terima
kasih, ya,” ucapku padanya.
“Sama-sama,”
katanya berlalu pergi.
“Tunggu..”
sergahku menahan langkah pria itu.
“Nama
kamu?”
Ia
sempat diam beberapa saat.
“Panggil
saja Ergi.”
Aku
mengangguk sambil tersenyum...mengetahui ternyata namanya Ergi.
5
Malam di tenda pengungsian berjalan
seperti kemarin. Di sampingku Nova sudah tertidur pulas. Belum sempat
kutanyakan padanya apa yang telah ia perbuat sampai kambing itu mengamuk.
Seharusnya aku pun sudah tidur, tapi kurasa sulit juga mencari posisi tidur ternyaman.
Kuputuskan beranjak keluar mencari dingin malam.
Di
sebuah kursi yang ada di luar, kududukkan diriku di sana. Masih kulihat
beberapa orang mengobrol sembari berjaga-jaga. Kudongakkan kepala sampai
pandanganku mengarah ke langit memandangi bintang. Jaket yang melekat di badan
kuulur agar dapat menjaga suhu hangat di badanku. Udara Berastagi pada malam
hari memang terasa sedingin es. Di sela kegiatanku mengamati cahaya perak di
langit, langkah seseorang mendekatiku. Kuambil arah pandang menuju asal suara
langkah itu. Ergi.
Ia
berjalan santai dan kemudian ikut duduk pada sbuah kursi di depanku. “Kenapa
belum tidur?”
Posisi
dudukku langsung kutegakan.
“Belum bisa tidur..”
jawabku seadanya.
Tak
ada tanggapan, selain suara jangkrik mengudara. Lama hanya diam, terasa aku
tengah diperhatikan. Sengaja kulirik Ergi, ternyata benar, matanya sedang
memerhatikanku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Seketika perasaan aneh
mendatangi. Aku jadi kegerahan dalam keadaan sedingin ini. Dengan sigap kubalas
tatapannya. Dia hanya tersenyum, berdehem, lalu menatap sekitar. Dapat kubaca
geraknya. Ia salah tingkah.
“Temanmu
tadi lucu, ya?” ia bertanya mengusir sepi yang sempat ada.
“Nova?
Dia memang seperti itu,” kutanggapi pertanyaannya sewajar mungkin.
“Kalian
berteman?”
“Bukan
cuma teman, kami udah kayak kakak adik.”
Hening....
“Kamu
relawan asal mana?” lama melihat Ergi diam, kuberanikan diri bertanya.
“Aku
dari klub pendaki, karena nggak bisa lagi mendaki Sinabung, jadi lari ke sini,”
dia tertawa.
Itu
dia, tawa kecil yang kulihat tadi pagi. Tawa yang sempat mencuri perhatianku.
Malam
itu kami lewati dengan perbincangan kecil mengenai kegiatan sampai ranah
personal. Ia cukup pandai membuat guyonan lucu, tak jarang aku sampai tertawa
lepas dibuatnya. Ia bercerita mengenai dirinya yang sudah hidup sendiri sejak
remaja. Orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan, hanya dirinya sendiri
yang selamat waktu itu. Sempat aku terhanyut pada kisahnya, menjadikanku
memerhatikan sosoknya lebih lama.
“Sudah
mendaki ke mana aja?” tanyaku lagi, di setelah ia selesai bercerita.
“Ke
Sibayak pernah, ke Sinabung juga sudah, ke Bromo beberapa kali, yang paling
berkesan saat aku ke Alaska.”
“Alaska? Kamu pernah ke sana?”
tanyaku antusias.
“Setahun
lalu,” Ergi tersenyum polos. “Kota pertama yang kusinggahi adalah Ketchikan,
waktu
itu di sana sedang musim panas, suasana malam harinya sangat terang, seperti
matahari bersinar di tengah malam. Di sana jam sembilan malamnya, seperti jam
tiga sore di sini. Matahari bersinar dua puluh tiga jam sehari, jadi cuma ada
satu jam keadaan gelap. Di gelap satu jam itulah, kusaksikan Aurora
Borealis,
cahaya hijau, merah, biru, dan ungu, berpendar megah di langit. Aurora
pertamaku.” Ergi mendongakkan kepalanya ke atas langit. Ia seolah menerawang
jauh ke sana.
“Kamu tahu, selain itu
apalagi yang mengagumkan di sana?”
“Apa?”
aku semakin penasaran dengan Alaska.
“Selain
gunung salju, keadaan hari, serta auroranya yang menakjubkan, nggak pernah aku
lihat ada pohon pinus selebat di sana, “ Ergi bersemangat bercerita. Aku sampai
takjub dibuatnya. Dulu pernah juga aku berkeinginan pergi mengambil studi di Alaska.
Tapi sampai sekarang masih belum terlaksana.
Berangsur-angsur
waktu berjalan, aku dan Ergi masih bercerita panjang lebar. Cerita-cerita
perjalanannya memang mengejutkanku, pantas saja tubuhnya terpatri gagah,
apalagi jenjang kedua kakinya. Entah sudah berapa gunung yang ia lewati. Aku
makin tertarik. Ia semakin menarik.
Seketika
terasa ada kabut tebal menjalar di sekujur tubuhku, kabut itu keluar dari
rongga tak bernama, perlahan namun pasti membawakan kesan itu. Kesan ketika
alunan musik terdengar meski tak ada yang memainkan alat musik. Aneh memang,
tapi itulah adanya, seolah sesuatu berdenting membentuk harmoni mayor manis nan
indah, bahkan bisa ditangkap telinga, meski tak gunakan suara atau petikan
senar gitar. Dentingan itu terpetik rapi, terkonsep apik.
Buru-buru
kutepis perasaan aneh itu. Sontak aku bangkit dari dudukku.
“Mau
ke mana?” Ergi menatap heran.
“Aku
merasa ngantuk, mau langsung tidur.” Kilahku beralasan.
Ergi
mengangguk maklum. “Selamat tidur,” ucapnya, entah mengapa ia kian tampak
berbeda.
Bergegas
kulayangkan kaki menjauhi dia. Sebisa mungkin kututupi kegugupan ini. Sampai di
dalam tenda, langsung kuambil posisi rebahan di samping Nova.
Kenapa
aku? Kok jadi aneh gini? Langsung kupejamkan mata memutuskan
tidur secepatnya.
Aku
bermimpi, tersesat di hutan pinus Alaska.
6
Sinar
mentari pagi membangunkan pengungsi di kamp secara alami. Namun tidak denganku,
aku telat bangun, mataku samar-samar melihat tema-teman sudah bergegas
melanjutkan tugas di hari ini. Hari terakhir kami di kamp.
“Cepat
bangun, tumben telat?” suara Nova jadi pelengkap dari ruhku yang belum
terkumpul seutuhnya.
“Kepalaku
agak pusing.” Kuupayakan bangkit dari rebahan.
“Kau
sakit?” suara Nova panik. “Aku semalam yang di kejar-kejar kambing, malah kau
yang sakit hari ini,” ucapnya penuh keterkejutan.
“Mungkin
karena kelamaan di luar tadi malam.”
“Di
luar? Tadi malam? Ngapain?” sifat kepo Nova mendadak muncul.
“Nggak
ngapa-ngapain? Kau sendiri, kenapa di kejar kambing semalam?” tembakku
langsung.
“Hehehee..
aku juga nggak ngerti, padahal aku sama anak-anak itu lagi main bola,” tandas
nova. “Yaudah, cepat mandi sana, hari ini kita mau ke Bukit Gundaling.”
Kupehatikan
Nova yang kini lebih baikan dari semalam, untuk beberapa alasan, kadang aku
susah menebak gelagat sahabatku satu itu.
Di
Bukit Gundaling....
Udara segar masih terasa di indra
penciumanku, satu-satu para mahasiswa menuruni bus. Perjalanan ke Bukit
Gundaling memang jadi salah satu agenda yang sudah panitia buat. Setelah
berdiskusi bersama penanggung jawab Kamp, kami akhirnya diizinkan membawa
anak-anak di kamp ikut serta. Tujuannya untuk menekan rasa tak nyaman juga
stres yang mereka alami. Berbulan-bulan berada di kamp tanpa tahu kejelasan
keadaan meraka, pasti hal-hal semAcam itu sangat menyiksa, apalagi terhadap
anak-anak yang lugu-lugu ini.
Dari Bukit Gundaling dapat terlihat
jelas Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung menghapit berastagi. Gunung Sinabung
yang masih ‘lusuh’ itu sewaktu-waktu dapat menjadi meriam dan kapan saja dapat
melemparkan laharnya. Tapi tidak saat ini, dikabarkan aktivitas gunung itu
sudah mereda, meski masih ada ancang-ancang untuk letusan selanjutnya.
Peralatan langsung kami siapkan. Ada
kertas origami, beragam bentuk balon, dan alat-alat tulis.
Aku langsung dikerumuni oleh anak-anak
itu, ketika kubagikan kertas origami kepada mereka. Nova tak kalah beda,
anak-anak itu merebuti balon yang ada di tangannya. Ia sampai tak kuasa menahan
anak-anak itu.
“Sekarang yang sudah dapat kertas
origami, segera lipat kertasnya. Terserah mau bentuk apa aja, pesawat kertas,
perahu kertas, bunga kertas juga boleh,” intruksiku kepada mereka.
Dari kejauhan sebuah mobil pickup mendekati kami. Ternyata Ergi dan
klub Pendakinya juga singgah ke Bukit
Gundaling. Kebetulan sekali, pikirku. Di atas pickup itu ia menatap ke arahku. Langsung kusibukkan diri dengan
anak-anak. Sekali lagi kulirik ke arah pickup
itu. Dia sudah tidak ada. Ke mana dia?
Kuedarkan pandangan ke sekeliling bukit. Tetap tidak kutemukan. Dari belakang
kurasakan seseorang memegang pundakku.
“Ergi!” aku tersentak kaget.
“Sori, sori, kaget ya?”
“Enggak..” aku berlagak pilon.
“Seru, ya..” ucapnya memerhatikan
kegiatan kami.
“Bagaimana untuk yang buat pesawat
kertas, kita terbangkan di dekat sana,” tunjuk Ergi kedataran yang lebih tinggi.
“Boleh, tapi lomba ya,” timpalku.
Seluruh anak-anak baik yang membuat
pesawat kertas ataupun tidak, ikut bersiap-siap berlari.
“Aku hitung,” sergahku,
“satu...dua....”
“TIGA!”
Tanpa sembat kuselesaikan hitungan,
Ergi malah berlari duluan. “Sial!” umpatku.
Meski tergopoh-gopoh karena
ketinggalan, akhirnya aku sampai di tempat mereka berkumpul. Berbagai macam
warna kertas origami melayang dalam bentuk pesawat kertas. Aku kagum sendiri
melihatnya. Ramai anak-anak itu mengerumuni Ergi, dengan mudah ia mampu menarik
perhatian anak-anak itu. Kembali aku terkagum. Kini anak-anak itu sudah sampai
ditindak anarkis, Ergi sampai terjatuh karena dikeroyok mereka.
“Sudah..sudah..” ia memohon sembari
tertawa lepas.
Sementara aku terhipnotis melihat
hal tersebut.
Sial perasaan itu lagi!
***
Mereka semua tergolek di tanah.
Kelelahan. Aku pun tak kalah lelahnya, lelah karena tertawa.
“Malah tidur-tiduran di sini,” Nova
datang menghampiri kami. “Ayo cepat, semua ngumpul, bentar lagi kita mau balik
ke kamp,” sambungnya memberi tahu.
“Iya sebentar lagi,” ucapku.
Kusadari Ergi memalingkan
perhatiannya ke arah Nova. Meski begitu, Nova beranjak tidak mengetahui.
Aku juga jadi ikut memerhatikan
Nova. Sudah lama aku bersahabat dengannya, memang begitulah Nova. Selalu cuek
dengan sekitar, tapi justru karena itu selalu banyak perhatian mampu
ditariknya, bukan karena semata-mata bentuk atau lekuk tubuh, tapi karena sikap
ketidakpeduliannya. Di dimensi ketidakpeduliannya ia menjelma lebih anggun.
Sempat lama Ergi memandangi Nova. Sengaja
aku berdehem. “Ayuk, anak-anak kita pulang ke kamp, sudah sore.”
7
Waktu
bergulir tanpa celah kalau kita bisa menikmatinya. Empat hari berada di kamp
pengungsian membuat aku sadar akan sesuatu. Seperti pagi ini, bersama senda
gurau para pengungsi, lamat-lamat kuamati sarapan di piring pelastikku. Banyak
pengalaman berharga kudapat. Tentang umur manusia yang bisa sekedip cahaya
kunang-kunang, dan sekuat dengus banteng di padang rumput. Tentang kebudayaan
tidak terhingga di antara ancaman lahar panas. Tentang ikatan kepedulian dalam
tenda pengungsian. Tentang aku...tentang
Ergi. Tunggu? Tentang Ergi? Siapa dia? Kenapa tiba-tiba aku jadi
memikirkannya. Atau jangan-jangan...tidak! Tapi mungkin saja? Ah.. perasaan ini
membingungkan!
Kususun piringku ditumpukan piring
kotor, secepatnya aku pergi sebelum nanti aku terseyum, cemberut, atau
tertawa-tawa sendiri. Kutumpuki lagi barang-barang ke dalam traveling bag-ku. Nova pun tidak kalah
sibuknya.
“Akhirnya, setelah empat hari,” ia
berdecak girang.
“Kenapa setelah empat hari?”
“Aku bisa mandi lebih lama,”
cetusnya bercampur tawa.
Senyum menyembul dari wajahku.
Setidaknya ada yang merasa bahagia dalam kepulangan ini.
Setelah berkemas, kubiarkan untuk
sesaat diriku berjalan-jalan di sekitar kamp, sambil memegang kamera, kubidik
lensaku pada semua aktivitas para pengungsi. Sangking asiknya, sampai tak
kusadari ada seseorang di belakangku, hal itu kuketahui tatkala kaki ini
memijak kakinya.
“Aduh..” suara seseorang mengaduh.
Kubalikkan badan, “Ergi?!” kadang
aku merasa semua ini rekayasa, di beberapa segemen dalam hariku, kenapa dirinya
selalu ada. Di aman-mana!
“Ngapain
di sini?”
“Aku sengaja memang mau ketemu
kamu.” Ucapnya lembut. “kalian mau balik ke Medan hari ini kan?”
Aku mengangguk. “Ketemu aku?” jelas
bagiku itu suatu keanehan. Namun, kebetulan sekali, aku pun ingin menjumpainya
sebelum berangkat pulang.
“Aku mau ngomong sesuatu,” Ergi
berkata terbata, gelagatnya mulai tak wajar. Kulihat ada amplop putih di tangan
kanannya.
“Mau ngomong apa? Bilang aja.”
Wajahku kusantai-santaikan.
“Gimana ya, malu juga bilangnya.” Ia
semakin salah tingkah.
Perlahan kudekatkan diriku padanya.
Mengambil jarak interpersonal.
“Kenapa malu, bilang aja.” Cepat bilang, kamu suka sama aku kan? Mendadak
atmosfer itu pun membuatku gugup.
“Hhhmmm..aku...” tanpa disadarinya
Ergi bergumam-gumam tak jelas, ”Aku.. Hhmm..”
“Aku kenapa? Sakit perut?” aku mulai
penasaran.
“Bukan, kamu jangan tertawa ya?”
kali ini suaranya bergetar.
“Iya, iya, aku nggak akan tertawa.” Cepat bilang, kamu juga masih ingin kita
bertemu lagi kan? Aku mulai tak sabar.
Perlahan ia menyodorkanku amplop
yang sejak tadi dipeganggnya.
“Apa ini?”
“Bisa kamu berikan ini sama Nova.”
“Ha? Nova?”
“Iya, sahabat kamu itu. Entah kenapa
sejak hari pertama rombongan kalian datang, aku... hhmmm....kamu tahu maksudku
kan?”
Tiada yang dapat kugambarkan untuk
menunjukkan perasaanku saat ini. Nova?
Kenapa? Bagaimana bisa?!
“Kamu bisa kan ngasi ini,” ucapnya
lagi penuh penekanan.
“Kamu ini, masih pakai
surat-suratan, jumpai aja langsung,” meski tak kentara tapi jelas nada itu nada
kekecewaan.
“Tolonglah...aku malu, kamu kan
sahabatnya, please,
Tio.”
Ragu, namun kuambil amplop itu.
“Yasudah nanti akan kusampaikan.” Ucapku mengiyakinkan permintaannya.
“Terima kasih, terima kasih,”
wajahnya sarat kegembiraan seperti habis memenangkan undian lotre.
Dan Ergi langsung beranjak pergi
meninggalkanku.
Lama
aku tecenung, mengoreksi lagi apa yang sebenarnya terjadi. Perlahan-lahan ada sesuatu
yang aneh. Kedua ujung bibirku secara insting tertarik ke atas. Aku tersenyum
lebar. Dan, beberapa detik kemudian, tertawa. Sekelebat tendensi dalam
pikiranku mencari apa sebenarnya yang lucu. Tidak ada sedikit pun hal yang
layak ditertawakan. Tapi, sangking tidak ada yang lucu, malah tawaku bertambah
makin keras. Mendadak segalanya menjadi lucu. Aku terpingkal-pingkal, sampai
membuat perutku sakit. Ingatan terakhir dalam hidupku, belum pernah aku tertawa
sepanjang ini. Senikmat dan selepas ini.
Kuseka air mata yang tergenang.
Selama ini, ternyata Ergi mendekatiku karena diam-diam tertarik dengan Nova? Sementara
aku, tanpa kendali mulai diam-diam jatuh hati padanya. Kekonyolan ini membuatku
makin sadar. Segera aku pergi menuju tenda sambil membawa amplop dari Erga yang
ternyata untuk Nova.
***
“Apa!
Dia suka sama aku?!” dalam tenda, Nova terheran-heran sekaligus tidak percaya.
Amplop itu sudah dibukanya.
Berisikan sepucuk surat, dan biarpun tanpa kubaca, aku sudah tahu apa point surat itu.
“Dia orangnya kayak gimana?” Nova
mulai mengintropeksi diriku.
“Baik...dia anggota klub pendaki,
udah mendaki sampai ke Alaska katanya.” Tandasku.
“Alaska? Hebat dong..aku jadi
penasaran.” Nova menatap lekat amplop itu.
Dari percakapan ini kekosongan mulai
kurasakan.
“Sudahlah, nanti sebelum pulang,
lihat dulu orangnya,” ucapku sewajar mungkin.
Kami langsung beranjak mengambil tas
lalu pergi menuju bus yang sudah menunggu.
Setelah berpamitan dengan
Nande-nande[1],
orangtua dan anak-anak di kamp. Kuayunkan kaki segera menuju bus. Tempat duduk
di samping jendela adalah kesukaanku. Sekilas dari jendela kaca bus
kuperhatikan lagi tempat pengungsian ini. Kuhela napas berat. Dan sinkronitas
seperti sengaja mengarahkan mataku pada Ergi dan Nova yang sedang
bercakap-cakap. Selaksa rasa gundah memuncah dalam dadaku. Namun, perasaan lain
datang. Perasaan sebab melihat Nova yang begitu sumringah di hadapan Ergi.
Nova sahabat terbaikku walau kadang
gila. Ergi juga pria sopan, lucu pula. Mereka cocok. Padanan pas.
Aku
kembali percaya bahwa hati memang dirancang sempurna. Telah tertata dan terkonsep
rapi. Di empat hari ini, aku mengalaminya sendiri. Bagaimana hatiku mampu
menampung rasa gundah dan bahagia dalam waktu bersamaan.*