Mereka
bertiga duduk melingkari meja bulat itu. Sementara aku tiga meter dari mereka
diam, mematung bagai arca.
Sebuah kejutan manis mendapati ‘teman-teman’ baru dalam penelitian
ini. Sebelumnya kubayangkan 12 jam perjalanan dari Kota Medan hingga ke
Penyabungan akan jadi pintu gerbang dari bosan yang secara berutal melandaku.
Juga kursi bus jadi saksi, bahwa perjalanan kali ini tak masuk daftar
keinginan. Aku ikut dengan rombongan ini, mengambil matakuliah ke atas demi
menghindar dari dia (orang yang satu tahun bersama denganku, yang dalam satu
hari jadi orang paling kubenci; penghianat; penyelingkuh; dan segala macam
kutukan yang pantas mendefenisikan dia) sialnya kami berada di fakultas yang
sama, sialnya sering kami bertemu, sialnya kami orang asing sekarang, sialnya
susah membunuh memori apa pun itu tentangnya. Jadi di semester baru, kuputuskan
mengambil matakuliah sebanyak mungkin, demi menyibukkan diri, demi agar aku
lupa, demi membunuh perasaan itu. Demi apa pun asal air mata ini tak lagi jatuh
untuknya.
Sayu-sayu pandangku masih tertuju
pada tiga jejaka itu. Mereka dalam waktu lima hari menjelma sahabat meski
mereka tak saling kenal sebelumnya. Sebab tujuan mereka sama, orang-orang asing
ini cepat saling merepresentasikan diri, agar hilang keasingan dan dalam tugas
ini mereka bisa saling bekerja sama. Aku tidak terkecuali. Namun, karena tujuan
awalku bukanlah seperti mereka, tujuan awalku adalah lari. Lari dari sang
penghianat. Mungkin sebab dasar tujuan tak sama itu, aku jadi kurang
bersosialisasi. Aku lebih sering diam, bicara seperlunya, sibuk dengan penelitian
ini: ekolinguistik.
Dan
di penyabungan: sebuah kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara,
dengan ajaibnya mampu menghadirkan tempat ini, sebuah warung kecil dengan pernak-pernik
lampu warna-warni yang sungguh menyilaukan mata, menyediakan es kelapa meski
hari sudah lewat tengah malam. Dan satu lagi, orang baru sekaligus asing itu. Dia, sebelumnya
kuduga orang Korea namun ternyata berkebangsaan Thailand. Aku sempat heran,
tapi heranku terusir, dia mahasiswa dari pertukaran pelajar.
Salah
satu di antara mereka menoleh ke arahku. Memberi isyarat untuk bergabung. Aku hanya
menggeleng, menolak sopan. Tapi tolakanku tak diindahkan, kini mereka bertiga
malah mengganti meja, mendatangiku. “Karena kau tak mau bergabung dengan kami,
maka kami yang bergabung denganmu,” katanya. Aku pasrah saja, orang Thailand
itu menatapku seksama. Dan aku masih pasrah saja.
“Dari
awal perkenalan kita, kau yang paling sedikit bicara. Aku hampir menganggapmu
tak ada,” salah seorang dari mereka berkomentar. “Benar... apa kami
menyeramkan?” satu lagi menimpali.
“Tidak,
kalian baik.” Jawabku masih pasrah. Kata pasrah memang akan banyak kugunakan
kali ini. Bagaimana tidak, satu betina ini tengah dikelilingi oleh tiga jantan.
Secara alami sudah sewajarnya aku akan pasrah.
“Oke...oke,
biar nggak kaku begini, gimana kalau kita bermain. Satu hari lagi waktu kita di
penelitian ini, siapa tahu bisa jadi memori manis.” Yang lain serentak tertawa,
menyetujui. Begitu pula si lelaki Thailand (yang sebelumnya sudah kutahu mampu
berbahasa Indonesia, meski kuberi nilai 7 sebab seringnya ia mencampur bahasa
Inggris).
Perhatianku
mulai terambil, mereka memang pandai mengatur situasi. “Permainan apa?” tanyaku.
“Karena
kau jarang sekali bicara, kita main permainan ‘bercerita’.”
“Cerita?”
Alisku mengkerut.
“Hu-uh..
cerita, siapa yang paling menghibur ceritanya akan diberi satu permintaan,” ujarnya
serupa ucapan jin tatkala bebas dari botol. Dan yang lain mengangguk.
Permainan
pun dimulai. Diawali oleh kisah bunuh diri. Kami mendengarkan antusias kisah
itu. Bagaimana seseorang mampu menghilangkan hal paling berharga; kehidupan.
Karena dendam, dendam yang tak terbalaskan secara binal dan banal. Ekspresiku sampai ngeri, sebab
kisah itu sampai tatkala pisau cuter
telah memotong leher dari si pendendam. Sebab kalang seram aku meminta kisah
itu dihentikan. Maka cerita bersambung pada kisah: hidup setelah mati. Sedikit
yang bersimpati, aku menanggapi dengan terbengong. Sulit menerima kisahnya.
Dan
tibalah gilirannya. Si lelaki Thailand. Logat Thai-nya kental menyublim dalam
bahasa Indonesia ala kadar. Ia berkisah mengenai dirinya yang jatuh cinta kepada seorang di negri orang. Ia tak pernah melihat mata seindah miliknya. Tak pernah
bertemu dengan gadis bertamsil bidadari seperti itu—tertangkap polos dalam
setiap geraknya. Tak pernah tahu tentang dia, sebab sedikit sekali dia
bersuara. Dari tempat jauh, dari balik keremangan, dari curi-curi bayang, sering
ia mengagumi sang gadis bertamsil bidadari itu. Kendati hingga detik ini mereka
belum saling berkomunikasi. Tapi ia senang, walau sebentar ia telah bersama
sang gadis dengan mata bertamsil bidadari-nya. Helaan napas berat mengakhiri
cerita.
“Sekarang
kamu,” katanya memberiku giliran.
Kuceritakan
pada mereka mengenai pelarianku dari dirinya. Mengenai penghianatan yang
kudapat. Mengenai permainan “pura-pura tak saling kenal” yang kini sedang
kujalani. Aku dipaksa agar dapat membunuh perasaan sendiri, karena kami sering
berada dalam satu lokasi. Meski jujur, kendati telah aku dikelabui, aku tetap
menyukainya. Tak kupungkiri dia yang membuatku memahami cinta pada jalan semestinya, membuatku merasa putus asa sekaligus mencinta di waktu bersamaan. Meski
dia yang mengajariku malah menistakan ajaran itu. Dia kunci dari pintu
kesendirian yang dulu kujalani. Hingga pintu itu terbuka lebar. Aku dengan
mudah mengganti kesendiriran, mengganti rasa sepi dengan riuh yang ada padanya.
“Aku
tidak tahu, aku terlihat seperti apa sekarang,” ceritaku berlanjut, “tapi bagiku,
aku hanyalah seorang anak kecil dalam dunianya, sibuk bermain di tepi pantai,
berlari-lari, mencari kepiting kecil nan lucu atau kerang bercangkang indah.
Sedang laut di hadapanku begitu besar, samudra dengan kebenaran besar di hadapanku,
tak terlihat, tak kutemukan....”
Sesaat
sunyi, hanya ada dengus napas tiga pejantan terdengar. Mereka mendadak
melankolis. Secara valid mataku berkaca-kaca.
“Kamu
mau minta apa?” salah seorang dari para pejantan itu bertanya. Mereka sepakat
bahwa ceritaku paling berkesan. Bahkan aku dihadihi tepuk tangan simpati. Ada
juga kata-kata dukungan dan sorak pemberi semangat.
“Katakan,
kamu mau minta apa dari kami?” kembali aku diingatkan atas hadiah dari
permainan ini.
Sekilas
aku bergumam. “Boleh aku minta ditinggalkan sendiri.” Suaraku pelan namun
terdengar jelas.
“Baiklah...
ayo ayo, tinggalkan dia sendiri,” meski ada nada kecewa, mereka memenuhi
permintaanku. Sebelum beranjak lelaki Thailand itu sempat berpesan: Saat kami
tinggalkan, kamu jangan bersedih terlalu lama. Kasihan mata indahmu jika harus
becek oleh air asin. Lalu ditambah secarik kertas bertuliskan kalimat bahasa
phasa thai: คุณมีดวงตาที่สวยคุณเป็นนางฟ้าของฉัน[1].
Kali
ini situasi kembali seperti semula: aku dan kesendirian sambil menatap ke arah
tiga meter tepat pada tiga orang itu bertempat.
Kemudian
pada seminggu setelahnya, ketika penelitian kami berakhir dan harus
berpisah; bertepat saat cerita ini selesai kutulis, baru aku tahu makna kata dalam bahasa phasa thai di kertas itu: ‘You have beautiful eyes, you are my angel’. Adakah
aku tokoh dalam cerita yang lelaki Thailand itu kisahkan? Agaknya itu hanya sekadar kisah. Aku menduga-duga,
sembari kuingat kembali bening coklat matanya, yang saat itu menatapku secara seksama.