26 Oktober 2014

Sekadar Kisah



Mereka bertiga duduk melingkari meja bulat itu. Sementara aku tiga meter dari mereka diam, mematung bagai arca. 
        Sebuah kejutan manis mendapati ‘teman-teman’ baru dalam penelitian ini. Sebelumnya kubayangkan 12 jam perjalanan dari Kota Medan hingga ke Penyabungan akan jadi pintu gerbang dari bosan yang secara berutal melandaku. Juga kursi bus jadi saksi, bahwa perjalanan kali ini tak masuk daftar keinginan. Aku ikut dengan rombongan ini, mengambil matakuliah ke atas demi menghindar dari dia (orang yang satu tahun bersama denganku, yang dalam satu hari jadi orang paling kubenci; penghianat; penyelingkuh; dan segala macam kutukan yang pantas mendefenisikan dia) sialnya kami berada di fakultas yang sama, sialnya sering kami bertemu, sialnya kami orang asing sekarang, sialnya susah membunuh memori apa pun itu tentangnya. Jadi di semester baru, kuputuskan mengambil matakuliah sebanyak mungkin, demi menyibukkan diri, demi agar aku lupa, demi membunuh perasaan itu. Demi apa pun asal air mata ini tak lagi jatuh untuknya.
            Sayu-sayu pandangku masih tertuju pada tiga jejaka itu. Mereka dalam waktu lima hari menjelma sahabat meski mereka tak saling kenal sebelumnya. Sebab tujuan mereka sama, orang-orang asing ini cepat saling merepresentasikan diri, agar hilang keasingan dan dalam tugas ini mereka bisa saling bekerja sama. Aku tidak terkecuali. Namun, karena tujuan awalku bukanlah seperti mereka, tujuan awalku adalah lari. Lari dari sang penghianat. Mungkin sebab dasar tujuan tak sama itu, aku jadi kurang bersosialisasi. Aku lebih sering diam, bicara seperlunya, sibuk dengan penelitian ini: ekolinguistik.
Dan di penyabungan: sebuah kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, dengan ajaibnya mampu menghadirkan tempat ini, sebuah warung kecil dengan pernak-pernik lampu warna-warni yang sungguh menyilaukan mata, menyediakan es kelapa meski hari sudah lewat tengah malam. Dan satu lagi, orang baru sekaligus asing itu. Dia, sebelumnya kuduga orang Korea namun ternyata berkebangsaan Thailand. Aku sempat heran, tapi heranku terusir, dia mahasiswa dari pertukaran pelajar.
Salah satu di antara mereka menoleh ke arahku. Memberi isyarat untuk bergabung. Aku hanya menggeleng, menolak sopan. Tapi tolakanku tak diindahkan, kini mereka bertiga malah mengganti meja, mendatangiku. “Karena kau tak mau bergabung dengan kami, maka kami yang bergabung denganmu,” katanya. Aku pasrah saja, orang Thailand itu menatapku seksama. Dan aku masih pasrah saja.
“Dari awal perkenalan kita, kau yang paling sedikit bicara. Aku hampir menganggapmu tak ada,” salah seorang dari mereka berkomentar. “Benar... apa kami menyeramkan?” satu lagi menimpali.
“Tidak, kalian baik.” Jawabku masih pasrah. Kata pasrah memang akan banyak kugunakan kali ini. Bagaimana tidak, satu betina ini tengah dikelilingi oleh tiga jantan. Secara alami sudah sewajarnya aku akan pasrah.
“Oke...oke, biar nggak kaku begini, gimana kalau kita bermain. Satu hari lagi waktu kita di penelitian ini, siapa tahu bisa jadi memori manis.” Yang lain serentak tertawa, menyetujui. Begitu pula si lelaki Thailand (yang sebelumnya sudah kutahu mampu berbahasa Indonesia, meski kuberi nilai 7 sebab seringnya ia mencampur bahasa Inggris).
Perhatianku mulai terambil, mereka memang pandai mengatur situasi. “Permainan apa?” tanyaku.
“Karena kau jarang sekali bicara, kita main permainan ‘bercerita’.”
“Cerita?” Alisku mengkerut.
“Hu-uh.. cerita, siapa yang paling menghibur ceritanya akan diberi satu permintaan,” ujarnya serupa ucapan jin tatkala bebas dari botol. Dan yang lain mengangguk.
Permainan pun dimulai. Diawali oleh kisah bunuh diri. Kami mendengarkan antusias kisah itu. Bagaimana seseorang mampu menghilangkan hal paling berharga; kehidupan. Karena dendam, dendam yang tak terbalaskan secara binal dan banal. Ekspresiku sampai ngeri, sebab kisah itu sampai tatkala pisau cuter telah memotong leher dari si pendendam. Sebab kalang seram aku meminta kisah itu dihentikan. Maka cerita bersambung pada kisah: hidup setelah mati. Sedikit yang bersimpati, aku menanggapi dengan terbengong. Sulit menerima kisahnya.
Dan tibalah gilirannya. Si lelaki Thailand. Logat Thai-nya kental menyublim dalam bahasa Indonesia ala kadar. Ia berkisah mengenai dirinya yang jatuh cinta kepada seorang di negri orang. Ia tak pernah melihat mata seindah miliknya. Tak pernah bertemu dengan gadis bertamsil bidadari seperti itu—tertangkap polos dalam setiap geraknya. Tak pernah tahu tentang dia, sebab sedikit sekali dia bersuara. Dari tempat jauh, dari balik keremangan, dari curi-curi bayang, sering ia mengagumi sang gadis bertamsil bidadari itu. Kendati hingga detik ini mereka belum saling berkomunikasi. Tapi ia senang, walau sebentar ia telah bersama sang gadis dengan mata bertamsil bidadari-nya. Helaan napas berat mengakhiri cerita.
“Sekarang kamu,” katanya memberiku giliran.
Kuceritakan pada mereka mengenai pelarianku dari dirinya. Mengenai penghianatan yang kudapat. Mengenai permainan “pura-pura tak saling kenal” yang kini sedang kujalani. Aku dipaksa agar dapat membunuh perasaan sendiri, karena kami sering berada dalam satu lokasi. Meski jujur, kendati telah aku dikelabui, aku tetap menyukainya. Tak kupungkiri dia yang membuatku memahami cinta pada jalan semestinya, membuatku merasa putus asa sekaligus mencinta di waktu bersamaan. Meski dia yang mengajariku malah menistakan ajaran itu. Dia kunci dari pintu kesendirian yang dulu kujalani. Hingga pintu itu terbuka lebar. Aku dengan mudah mengganti kesendiriran, mengganti rasa sepi dengan riuh yang ada padanya.
“Aku tidak tahu, aku terlihat seperti apa sekarang,” ceritaku berlanjut, “tapi bagiku, aku hanyalah seorang anak kecil dalam dunianya, sibuk bermain di tepi pantai, berlari-lari, mencari kepiting kecil nan lucu atau kerang bercangkang indah. Sedang laut di hadapanku begitu besar, samudra dengan kebenaran besar di hadapanku, tak terlihat, tak kutemukan....”
Sesaat sunyi, hanya ada dengus napas tiga pejantan terdengar. Mereka mendadak melankolis. Secara valid mataku berkaca-kaca.
“Kamu mau minta apa?” salah seorang dari para pejantan itu bertanya. Mereka sepakat bahwa ceritaku paling berkesan. Bahkan aku dihadihi tepuk tangan simpati. Ada juga kata-kata dukungan dan sorak pemberi semangat.
“Katakan, kamu mau minta apa dari kami?” kembali aku diingatkan atas hadiah dari permainan ini.
Sekilas aku bergumam. “Boleh aku minta ditinggalkan sendiri.” Suaraku pelan namun terdengar jelas.
“Baiklah... ayo ayo, tinggalkan dia sendiri,” meski ada nada kecewa, mereka memenuhi permintaanku. Sebelum beranjak lelaki Thailand itu sempat berpesan: Saat kami tinggalkan, kamu jangan bersedih terlalu lama. Kasihan mata indahmu jika harus becek oleh air asin. Lalu ditambah secarik kertas bertuliskan kalimat bahasa phasa thai: คุณมีดวงตาที่สวยคุณเป็นนางฟ้าของฉัน[1].
Kali ini situasi kembali seperti semula: aku dan kesendirian sambil menatap ke arah tiga meter tepat pada tiga orang itu bertempat.
Kemudian pada seminggu setelahnya, ketika penelitian kami berakhir dan harus berpisah; bertepat saat cerita ini selesai kutulis, baru aku tahu makna  kata dalam bahasa phasa thai di kertas itu: ‘You have beautiful eyes, you are my angel. Adakah aku tokoh dalam cerita yang lelaki Thailand itu kisahkan? Agaknya itu hanya sekadar kisah. Aku menduga-duga, sembari kuingat kembali bening coklat matanya, yang saat itu menatapku secara seksama.


[1] Latin: Khuṇ mīd wng tā thī̀ s̄wy khuṇ pĕn nāngf̂ā k̄hxng c̄hạn.

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran