Central, Park, 05 August 1994.
Di kota ini,
kamu telah kutemukan. Semua gerak yang sepintas tak penting, terasa lebih indah
ketika kamu yang melakukan. Membuatku serasa diberi pujian sekaligus hinaan.
Namun berkatmu pula, mulailah kucintai geometris. Ragam bentuk juga
lekuk. Sekedar kautahu, banyak cara kulakukan untuk berupaya melegakan hati
dari timpunan sampahnya. Beberapa di antaranya. Berbicara sendiri di depan
kaca, mereka-reka kamu dalam susunan abjad, menyanyikan perasaan ini dalam
setiap detak dan saat. Jika kaubertanya sudahkah aku mengadu pada-Nya. Mungkin
Dia, sudah banyak mendengar cerita dariku yang acapkali berisikan kamu.
Ketika
denganmu, sibuk pikiranku mencari kata-kata, menyusunnya dengan sempurna, agar
percakapan di antara kita menjadi percakapan yang akan dikenang sepanjang masa.
Bersamamu, tendensiku mengarah tak tentu arah. Sekeras mungkin kuupayakan
mengatur emosi, agar di dekatmu tak kutunjukkan rasa gerogi. Aneh? Memang! Tak
peduli dengan fakta, bahwa otakku sengaja menutup ketidaksempurnaanmu menjadi
kesempurnaan yang menyilaukan. Menjelmakan aku dalam cahaya remang yang semakin
meredup sebab terlalu gemerlapnya kamu hidup.
Dan memang seperti
itulah cinta yang kini kupunya.
"It's okay,
that's love." Kataku pada diri sendiri.
Jangan samakan ini
dengan matematika, fisika, atau kimia. Tak ada yang pasti dapat ungkapkan
bagaimana rasa bisa tumbuh tanpa formula apa-apa. Tanpa hitungan di sana-sini.
Tak pernah kutentukan pilihan, kamu datang, dan siaplah segenap rasaku
mengejang. Kadang aku bertanya-tanya inikah yang membuat Adam dan Hawa
kelimpungan, kewalahan, dan kebingungan? Andai kamu bisa dengar. Diamku bagai
forum musyawarah, sibuk berdiskusi. Dan hati ini? Ah... sudahlah. Apa masih
bisa ia diajak berunding lagi? Untuk menghilangkan rasa gengsi, malu, dan
cemburu.
Dalam bentuk lingkaran di tengah api unggun yang ramai-ramai
kita ciptakan. Ini pandangan keenamku. Dan Mata ini tidak pernah jauh-jauh dari
menatapmu serta ikut tertawa pada setiap guyonan yang kamu suguhkan. Tiada yang
kuanggap salah ataupun benar tentang hal itu. Sudah sejak sore tadi disepakati,
kamulah bintang utama untuk agenda malam ini. Kamulah yang berbicara dan
menjadi pemandu untuk kegiatan pada jam nyaris tengah malam. Kamu menjelma jadi feromon yang begitu menarik
bahasaku. Bahasa berbentuk perasaan yang sampai detik ini sukar kutemukan cara
bagaimana menyampaikannya. Pesan yang dengannya dapat kuperhatikan sorot matamu
padahal tak ada lampu di tempat kita berdiam, hanya sayup-sayup cahaya api
unggun meremangi. Agak redup, namun tak membikin gugup. Sedikit gelap tapi kau
masih dapat terlihat.
Kamu memulai
dengan tema sebuah jendela. Tema yang sebelumnya aku sudah tahu, tapi sengaja
agar agenda ini tetap berjalan, aku terus mendengarkan kamu dan tema jendela
yang kebanyakan aku sudah tahu.
Jendela pada
umumnya punya empat kotak atau empat ruang, katamu dalam keremangan saat itu.
Dan dalam hati aku berujar, bahwa dari empat ruang itu, masing-masing
melambangkan aura, dari setiap sisi unik manusia. Kamu menjelaskan tentang sisi
terbuka dan sisi tertutup pada jendela. Semua fokus tertuju pada cerita
jendelamu. Aku tak kalah beda, kamu tujuanku, alasan mengapa aku ikut dalam
agenda yang memaksaku harus melek sampai di dini hari. Tiada yang kuanggap
salah atau benar tentang itu. Aku hanya mengikuti arus yang mengarahkanku
padamu.
Secarik kertas dan
alat tulis, kamu perintahkan kami untuk menggambar pada kertas, pilih satu
gambar dalam benak kemudan gambarkan, lalu nanti harus kami kemukakan, mengapa
gambar itu yang kami pilih dan pikirkan. Aku tertarik. Bahkan rasa ngantuk tak
mampu mengusik.
Korneaku masih lamat-lamat mencuri sosokmu. Aku tidak ingin terlalu kentara.
Sambil kupikirkan, satu gambar yang pada perkumpulan ini akan kubeberkan.
Hatiku atau lebih tepatnya otakku, menimbang-nimbang wujud apa yang akan
kutorehkan pada secarik kertas ini. Jujur aku bingung, hal-hal semacam ini
selalu membingungkanku. Tentang jati diri, pilihan hidup, keputusan penting,
dan rentetan siklus yang tanpa kusadari telah membentuk diriku sampai detik
ini.
Gambar pertama,
dimulai oleh pria yang ada di sampingmu. Kertasnya berisikan gambar pion catur.
Kami semua bertanya-tanya apa maksud dari pion catur itu. Pria di sampingmu
menjawab, dalam benaknya dirinya layak diserupakan pion catur. Buah dalam
permainan catur yang urutannya ada di barisan paling depan, dengan hanya satu
langkah, dan sering dikorbankan dalam permainan. Namun baginya, pion catur
adalah objek terpenting, bergerak ringan dengan satu langkah, merintis, dan
bergerak sedikit-demi sedikit demi suksesnya permainan. Itulah dia, seorang
pionir bagi kehidupannya.
Kami
mendengarkannya seksama. Terhanyut pada ceritanya, dan memberi tepukan tangan
di kemudian. Giliran
dilanjutkan, oleh seseorang di samping pria pionir itu. Ia menunjukkan kertas
bergambar awan di langit. Kelakarnya tentang tujuan serta pencapaian yang besar
setinggi langit. Itu pedoman hidupnya: awan yang lembut, labil dalam hal
berubah bentuk bukan karena tak tetap pendirian, namun demi pencapaian
tertinggi, perubahan itu ia nikmati.
Lagi, orang-orang
dalam rentet lingkaran ini tertegun. Dan giliran terus berlanjut. Cerita terus
diutarakan. Mereka menunjukkan gambar-gambar itu; angin, aliran sungai, bahkan
not tanda nada.
Si angin berkisah tentang dirinya yang dapat tenang, sepoi-sepoi memberi
kesejukan bagi mereka yang membutuhkan.Tapi sewaktu-waktu dapat menjelma topan
bila kemarahannya dipancing, ibarat seperti alam yang dirusak, maka topan itu
bertindak. Sedangkan si aliran sungai, berkata jika dirinya adalah yang paling
mengikuti kehendak arus. Menghanyutkan apapun tanpa peduli, juga menyimpan
apapun tanpa ampun. Dirinya adalah aliran yang setia mengalir dari atas ke
bawah, sampai pada akhirnya menemukan muara dari perjalanan panjang yang ia
lewati berama kelokan sungai. Berbeda dengan sang tanda nada, ia bercerita,
bahwa dirinya bebas. Berbunyi dengan dana yang melenting sempurna, tak peduli
dari mana. Baik dari petikan dawai harpa, senar gitar, tiupan suling, atau
lemparan batu pada air kolam. Dirinya bebas merambah dalam dentingan nada mayor
nan manis sekaligus magis.
Cerita-cerita itu memukau. Setiap detailnya mengagumkan. Tak pernah kusangka,
setiap kita punya imajiner tinggi mengenai independensi hidup. Mengenai pilihan
yang berkaitan langsung ataupun tak lengsung dengan keputusan. Dan setiap kita
menghargai, serta mencintainya dengan sederhana.
Hingga akhirnya, giliran bagiku datang. Setiap individu menunggu, untukku
menunjukkan gambar yang sejak tadi kusembunyikan. Enkaupun tak kalah
antusiasnya. Penasaran dengan secarik kertas ditanganku. Perlahan, kubumbungkan
kertas itu ke udara, dn menunjukkan gambar yang ada padanya.
Tertera, gambar lampu yang sedang menyala. Fluorescence. Lampu pendar. Di saat
yang lain sibuk dengan rasa penasaran dan tanda tanya di kepala. Kamu,
tersenyum manis mengamati gambar milikku. Di saat itu pula, detak jantungku
memalpirasi. Berdetak tidak karuan, sampai aliran darahku mengalir tanpa
kendali. Limbung sekaligus melayang dalam ranah dimensi yang tidak menikut
sertakan waktu dan ruang. Tapi kamu di sana. Ada dan terseyum manis untukku.
Pertanyaan-pertanyaan itu berdatangan. Mengenai alasan mengapa lampu pendar
jadi pilihanku. Sesungguhnya, aku pun kebingungan. Tidak punya alasan pasti
mengapa harus itu yang kugambarkan. Tapi dalam ketidakmengertian itu,
kuusahakan memberi penjelasan. Seketika aku dibimbing dalam ketidakmengertianku.
Aku berkisah, tentang sebuah lukisan. Satu jenis lukisan yang hanya akan dapat
dilihat, jika Fluorescence yang meneranginya. Bukan sembarang kuceritakan hal
itu. Aku pernah terjebak dalam suatu ruangan, tepatnya dalam mimpi ketika dalam
keadaan sakit aku tertidur pulas. Ruangan itu kosong, tatkala aku di sana,
lampu di ruangan itu sontak mati. Mendadak jadi gulita. Namun pada waktu
bersamaan, cahaya lain datang. Cahaya yang menenangkan sekaligus membuat
takjub. Cahaya itu menjadikan ruangan yang sebelumnya gelap, sontak dipenuhi
lukisan pesawat kertas aneka posisi. Pesawat kertas itu berpendar di seanterio
sisi. Seolah melayang mengelilingi aku yang tengah terpaku akibat peristiwa
itu. Seketika aku merasa hidup, begitu lengkap, begitu utuh. Kutemukan
ketenangan di sana, sesuatu yang merambah eksistensiku. Tak kutahu apa namanya,
namun ia sebegitu digdaya. Aku terpesona, dihujani beraneka sensasi.
Sekelilingku diam.
Terhanyut pada ceritaku mengenai lampu pendar. Kemudian riuh suara tepukan
tangan. Kali ini aku menatapmu tanpa ragu, bahkan ketika matamu sedang mengarah
padaku. Aku tidak peduli. Kornea kita bertemu, aku tenggelam dalam pandangan.
Dan berharap tak harus timbul kepermukaan.
Sampailah di jenak
agenda malam ini berakhir. Membubarkan barisan lingkaran yang terbentuk.
Masing-masing kini mencari tempat peraduan. Pukul dua dini hari. Berbeda dengan
yang lain, kamu malah tidak memilih untuk beranjak tidur. Di luar, pandanganmu
mengarah pada langit malam, bintang-bintang, juga sinar bulan. Dari tempatku
ini, aku mengamati. Ingin sekali berlari menuju kamu dan tanpa ragu merengkuh
sosokmu dari belakang. Merasakan setiap senti hangat tubuhmu. Mengagumi kamu
lewat setiap hembusan napas yang sama-sama kita hela. Menikmati dekapan itu
sampai matahari memergoki kita berdua.
Tapi aku memang
penghayal yang hebat. Pelamun profesional. Tiada yang salah ataupun benar
mengenai hal itu. Aku hanya melakukannya dengan atau tanpa alasan. Meski sering
aku menunggu, kapan saat itu tiba. Saat ketika bahasa perasaan ini mampu
kukatakan. Kendati mulut ini ingin bersuara, mengungkapkan segalanya, tapi tak
ada abjad yang keluar, tak ada kata yang terlontar. Satu pun tidak, selain
senyum dan anggukan kepala.
Tiada yang salah mengenai isyarat ini. Aku
menikmatinya. Dan merasa tercukupi karenanya.