"Bulannya
warna merah," bibirnya berucap kendati ia sedang melamun.
Di
ketinggian gedung berlantai lima ini tak ada yang akan menghalangimu termenung
sambil menatap langit, keculai Tower tinggi atau beberapa burung yang terbang
di lintas malam.
"Iya."
Aku menjawab meski sebenarnya Bulan bukan merah tetapi kejingga-jinggan.
Sesuatu mendorongku dari tempat persembunyian, melangkah mendekatinya yang
berada di tubir dinding, bila mau dengan satu lompatan dia dapat terjun bebas
dari sini.
"Kenapa
ngajak aku ke sini? kita bisa cari Kafe." Aku menawarkan.
"Kafe?
bosen. Coba deh nikmatin sebentar, di sini nyamankan?" matanya masih lurus
menatap sesuatu yang tak aku tahu.
Mataku
memejam, sekilas indra yang lain menghayati: desir angin, dingin malam,
temaram, dan aroma beberapa perdu yang di tempatkan di sekitar kami. "Iya
nyaman." bibirku bergetar sebab berbohong, dia masih diam mematung meski
tahu aku berbohong.
Sering
aku menerka, bagaimana rasanya memandang dengan mata yang dia punya? Bagaimana
rasanya mendengar dengan kedua telinga miliknya? Dan bagaimana rasanya
mengaroma serta mecicipi segala dengan organ indra kepunyaannya? Semata-mata
untuk masuk dalam dunia--yang meski sudah bertahun-tahun kami bersama, dunia
itu tak mengikutkan aku serta.
Kadang
aku berharap bisa hidup dua tahun lebih awal, maka kami seusia. Jadi yang
kutahu sekarang bisa dua tahun lebih cepat kuketahui.
Andai
tongkat sihir itu memang ada. Tongkat sihir yang sebenar-benarnya. "Herus
Kerus Ceruss..." Dan menjelmalah aku menjadi sebuah keberadaan yang
senantiasa berada di mana pun dia berada. Mungkin aku bisa jadi benda-benda
mati yang melekat di badannya. Atau makhluk-makhluk kecil di sekelilingnya. Apa
pun yang dapat membuatku senantiasa berada di zona dia ada. Atau....Hhmm...
"Evanesco Erecto Epilepsey." Maka menjelmalah aku
menjadi isi hatinya. Tapi aku tak mampu dapatkan hatinya, dan mungkin pula tak akan pernah.
"Hari
ini dia nembak aku." Satu kalimat dan itu jawaban mengapa dia mengajakku
ke gedung kosong berlantai lima yang belum kelar dibagun ini.
"Jadi?"
aku melangkah lebih dekat, masih posisinya memunggungiku. "Kamu
bilang tak suka dia."
"Aku
bingung, sekarang jadi beda."
"Kamu
plin-plan."
"Benar,
sejak dulu."
"Terima
saja," dia diam lagi.
Lama
sunyi bagai lagu merdu. Dan aku masih tak paham dia walau sudah bertahun-tahun
kami bersama. Aku mencintainya, dia mencintai orang lain, itulah satu fakta
sederhana yang kini sama kami ketahui.
Dengan
gerak hidmat dia berbalik badan, matanya basah. Lekat-lekat ia menatapku.
Lekat-lekat
aku menatap Bulan di belakangnya yang kini betulan berwarna merah. [*]