18 Februari 2015

Bulan Merah dan Tongkat Sihir


"Bulannya warna merah," bibirnya berucap kendati ia sedang melamun.
Di ketinggian gedung berlantai lima ini tak ada yang akan menghalangimu termenung sambil menatap langit, keculai Tower tinggi atau beberapa burung yang terbang di lintas malam.
"Iya." Aku menjawab meski sebenarnya Bulan bukan merah tetapi kejingga-jinggan. Sesuatu mendorongku dari tempat persembunyian, melangkah mendekatinya yang berada di tubir dinding, bila mau dengan satu lompatan dia dapat terjun bebas dari sini.
"Kenapa ngajak aku ke sini? kita bisa cari Kafe." Aku menawarkan.
"Kafe? bosen. Coba deh nikmatin sebentar, di sini nyamankan?" matanya masih lurus menatap sesuatu yang tak aku tahu.
Mataku memejam, sekilas indra yang lain menghayati: desir angin, dingin malam, temaram, dan aroma beberapa perdu yang di tempatkan di sekitar kami. "Iya nyaman." bibirku bergetar sebab berbohong, dia masih diam mematung meski tahu aku berbohong.
Sering aku menerka, bagaimana rasanya memandang dengan mata yang dia punya? Bagaimana rasanya mendengar dengan kedua telinga miliknya? Dan bagaimana rasanya mengaroma serta mecicipi segala dengan organ indra kepunyaannya? Semata-mata untuk masuk dalam dunia--yang meski sudah bertahun-tahun kami bersama, dunia itu tak mengikutkan aku serta.
Kadang aku berharap bisa hidup dua tahun lebih awal, maka kami seusia. Jadi yang kutahu sekarang bisa dua tahun lebih cepat kuketahui.
Andai tongkat sihir itu memang ada. Tongkat sihir yang sebenar-benarnya. "Herus Kerus Ceruss..." Dan menjelmalah aku menjadi sebuah keberadaan yang senantiasa berada di mana pun dia berada. Mungkin aku bisa jadi benda-benda mati yang melekat di badannya. Atau makhluk-makhluk kecil di sekelilingnya. Apa pun yang dapat membuatku senantiasa berada di zona dia ada. Atau....Hhmm... "Evanesco Erecto Epilepsey." Maka menjelmalah aku menjadi isi hatinya. Tapi aku tak mampu dapatkan hatinya, dan mungkin pula tak akan pernah.
"Hari ini dia nembak aku." Satu kalimat dan itu jawaban mengapa dia mengajakku ke gedung kosong berlantai lima yang belum kelar dibagun ini.
"Jadi?" aku melangkah lebih dekat, masih posisinya memunggungiku. "Kamu bilang tak suka dia."
"Aku bingung, sekarang jadi beda."
"Kamu plin-plan."
"Benar, sejak dulu."
"Terima saja," dia diam lagi.
Lama sunyi bagai lagu merdu. Dan aku masih tak paham dia walau sudah bertahun-tahun kami bersama. Aku mencintainya, dia mencintai orang lain, itulah satu fakta sederhana yang kini sama kami ketahui.
Dengan gerak hidmat dia berbalik badan, matanya basah. Lekat-lekat ia menatapku.
Lekat-lekat aku menatap Bulan di belakangnya yang kini betulan berwarna merah. [*]

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran