Pukul
01.00 dini hari....
Dua
belas digit angka nomornya mencuat, tertera jelas di layar ponselmu, namun ragu
masih menjarah. Membuat debil dan labil. Nomor itu menunggu untuk ditindak
lanjuti; antara mengirim pesan atau menghubungi langsung. Di saat seperti ini,
dia adalah peta pertama di kepala. Dia adalah jalan setapak yang ingin kamu
lalui. Dia adalah tujuan, di setiap simpang dan percabangan. Tapi dirinya
terlalu naif untuk tahu, dan dirimu terlalu takut untuk jujur.
Dua
belas digit angka masih menunggu. Tapi kamu gagu, tergurui oleh perasaan
sendiri. Aroma kematian menyelimuti kalian, sedang aroma kelahiran mengelilingi
kalian. Mortalitas menopang setiap rasa takut dan bahagia dari tumpukan
keistimewaan realitas. Hidup seperti embun di atas daun, yang tampak indah dan
utuh namun begitu rapuh saat disentuh. Ia serupa debu yang oleh apa saja mudah
melayang dan hilang, katanya di suatu kesempatan. Dan kamu tak pernah lupa
mengingat setiap rapalan itu dari bibirnya. Sebab kini mortalitas itu telah
menghadirkan dirinya kepadamu. Akan ada lagi senyumnya yang kamu lihat berulang
kali. Laku lajaknya yang dalam memorimu terputar kembali, kala sendiri, kala
sunyi seperti ini. Sering saput rindumu meluluh pada stiap tatapnya yang
sekilas dan sungguh. Bahasa tatapan mata, ia tak terdefenisi, namun maknanya
mudah kalian pahami. Mudah dipahami sebab kalian saling memahami.
Mereka
harus mengerti, kamu tak sedang merayu. Sebuah anugrah yang berwujudkan dirinya
tak layak dihadiahi gombalan picisan, kendati menggombal memang cara termurah
ungkapkan perasaan (kelak kamu mengatakan itu padaku).
Dua
belas digit angka masih menunggu.
Tak pernah kamu segugup ini, tapi buru-buru kamu urungkan
niatan itu. Pesan singkat yang sudah kamu eja, kamu ketik hati-hati, perlahan
kamu hapus kembali. Bibirmu bergetar. Degup jantungmu terpacu kencang.
Stimulus dalam otakmu sibuk mengantisipasi, merangkai kalimat atau alasan apa
yang harus kamu katakan begitu nada sambung terdengar nanti. Entah itu ucapan
“apa kabar?” atau basa-basi sebelum kamu perjelas mengapa di jam tengah malam,
dia adalah orang pertama yang ingin kamu ajak bicara. Tapi kamu tak pernah
sanggup, saput batinmu meluruh. Kamu hanya mampu mengungkapkannya dalam wujud
rekaman di kepala, dalam sebentuk helaan napas berat, dalam segudang khayalan
bahwa dirinya adalah kekasih impian. Tujuan di antara kematian dan kelahiran.
Sang empiris yang menjadi bukti bahwa cinta kalian harus logis. Sementara dalam
setiap detik jam kalian adalah teman satu perjalanan, musafir pada satu tujuan
yang mesti berpisah jika telah sampai di akhir jalan. Berpisah kamu tak mau,
sebab bersamanya adalah keinginanmu (bersamamu pula keinginanku).
Namun,
kontrak hidup telah berjalan, di antara titian yang penuh dengan aturan. Satu
kenyataan: Kita tak selamanya mampu berjalan beriringan. Karena setigma dan
dogma mengharamkan kita. Sebab aku adalah orang yang datang belakangan.
Sesekali kamu berkeras hati. Dirimu yang mini, keras kepala. Kamu
tak akan ragu jika tahu apa yang dimau.
Nada
sambung terdengar. Kamu bersiap untuk menunggu jawabannya. Lalu rasa itu
bermunculan dalam durasi koneksi antar ponsel kalian. Rasa ingin diinginkan,
perasaan untuk meminta perhatian lebih. Meski kamu tak akan menuntut terlalu
banyak. Dia tak mesti melawak agar dapat menghiburmu. Dia cukup di sana, duduk
manis mendengarkan ocehanmu: setipa energi yang keluar dari kesah dan keluh.
Meski konsep itu telah tersusun rapi, namun peraktiknya nanti akan melenceng jauh
dari teori.
Tombol cancel kamu
tekan. Nada sambung terputus. Lalu sepi membodohimu lagi.
Dua
belas digit angka itu kamu hapus. Perlahan kamu berdoa, sambil sesekali
menyebutkan namanya.
Hari berlalu seperti es batu. Dingin dan ia
menggelincir.
Pagi itu hari rabu kemudian menjadi kamis. Kamis menjadi
jumat. Dan hari-hari makin melambat. Di pagi sabtu, satu pesan singkat kau
dapat, berisikan permintaan maaf karena terlambat, maaf karena lupa, maaf
karena sibuk, maaf karena agenda padat, badan lelah dan mata ngantuk. Maaf
untuk ini, maaf untuk itu. Kau sungguh menghapalnya. Kau berulang kali
memaklumi. Cintamu benar-benar murni. Dan kau sadar, seberapa indah aksara
dicipta, sesungguhnya cintamu tak membutuhkannya. Ia hanya perlu ditindaki
nyata. Cuma itu, tak harus muluk-muluk. Kau menyenangi hal sederhana.
Sesederhana cinta yang kaupunya.
Di saat itu kaubutuh seseorang.
Di saat itu pula aku datang. [*]