18 Februari 2015

Dua Belas Angka


Pukul 01.00 dini hari....

            Dua belas digit angka nomornya mencuat, tertera jelas di layar ponselmu, namun ragu masih menjarah. Membuat debil dan labil. Nomor itu menunggu untuk ditindak lanjuti; antara mengirim pesan atau menghubungi langsung. Di saat seperti ini, dia adalah peta pertama di kepala. Dia adalah jalan setapak yang ingin kamu lalui. Dia adalah tujuan, di setiap simpang dan percabangan. Tapi dirinya terlalu naif untuk tahu, dan dirimu terlalu takut untuk jujur.
            Dua belas digit angka masih menunggu. Tapi kamu gagu, tergurui oleh perasaan sendiri. Aroma kematian menyelimuti kalian, sedang aroma kelahiran mengelilingi kalian. Mortalitas menopang setiap rasa takut dan bahagia dari tumpukan keistimewaan realitas. Hidup seperti embun di atas daun, yang tampak indah dan utuh namun begitu rapuh saat disentuh. Ia serupa debu yang oleh apa saja mudah melayang dan hilang, katanya di suatu kesempatan. Dan kamu tak pernah lupa mengingat setiap rapalan itu dari bibirnya. Sebab kini mortalitas itu telah menghadirkan dirinya kepadamu. Akan ada lagi senyumnya yang kamu lihat berulang kali. Laku lajaknya yang dalam memorimu terputar kembali, kala sendiri, kala sunyi seperti ini. Sering saput rindumu meluluh pada stiap tatapnya yang sekilas dan sungguh. Bahasa tatapan mata, ia tak terdefenisi, namun maknanya mudah kalian pahami. Mudah dipahami sebab kalian saling memahami.
            Mereka harus mengerti, kamu tak sedang merayu. Sebuah anugrah yang berwujudkan dirinya tak layak dihadiahi gombalan picisan, kendati menggombal memang cara termurah ungkapkan perasaan (kelak kamu mengatakan itu padaku).
            Dua belas digit angka masih menunggu.
Tak pernah kamu segugup ini, tapi buru-buru kamu urungkan niatan itu. Pesan singkat yang sudah kamu eja, kamu ketik hati-hati, perlahan kamu hapus kembali. Bibirmu bergetar. Degup jantungmu terpacu kencang. Stimulus dalam otakmu sibuk mengantisipasi, merangkai kalimat atau alasan apa yang harus kamu katakan begitu nada sambung terdengar nanti. Entah itu ucapan “apa kabar?” atau basa-basi sebelum kamu perjelas mengapa di jam tengah malam, dia adalah orang pertama yang ingin kamu ajak bicara. Tapi kamu tak pernah sanggup, saput batinmu meluruh. Kamu hanya mampu mengungkapkannya dalam wujud rekaman di kepala, dalam sebentuk helaan napas berat, dalam segudang khayalan bahwa dirinya adalah kekasih impian. Tujuan di antara kematian dan kelahiran. Sang empiris yang menjadi bukti bahwa cinta kalian harus logis. Sementara dalam setiap detik jam kalian adalah teman satu perjalanan, musafir pada satu tujuan yang mesti berpisah jika telah sampai di akhir jalan. Berpisah kamu tak mau, sebab bersamanya adalah keinginanmu (bersamamu pula keinginanku).
            Namun, kontrak hidup telah berjalan, di antara titian yang penuh dengan aturan. Satu kenyataan: Kita tak selamanya mampu berjalan beriringan. Karena setigma dan dogma mengharamkan kita. Sebab aku adalah orang yang datang belakangan.
      Sesekali kamu berkeras hati. Dirimu yang mini, keras kepala. Kamu tak akan ragu jika tahu apa yang dimau.
            Nada sambung terdengar. Kamu bersiap untuk menunggu jawabannya. Lalu rasa itu bermunculan dalam durasi koneksi antar ponsel kalian. Rasa ingin diinginkan, perasaan untuk meminta perhatian lebih. Meski kamu tak akan menuntut terlalu banyak. Dia tak mesti melawak agar dapat menghiburmu. Dia cukup di sana, duduk manis mendengarkan ocehanmu: setipa energi yang keluar dari kesah dan keluh. Meski konsep itu telah tersusun rapi, namun peraktiknya nanti akan melenceng jauh dari teori.
            Tombol cancel kamu tekan. Nada sambung terputus. Lalu sepi membodohimu lagi.
           Dua belas digit angka itu kamu hapus. Perlahan kamu berdoa, sambil sesekali menyebutkan namanya.
Hari berlalu seperti es batu. Dingin dan ia menggelincir. 
Pagi itu hari rabu kemudian menjadi kamis. Kamis menjadi jumat. Dan hari-hari makin melambat. Di pagi sabtu, satu pesan singkat kau dapat, berisikan permintaan maaf karena terlambat, maaf karena lupa, maaf karena sibuk, maaf karena agenda padat, badan lelah dan mata ngantuk. Maaf untuk ini, maaf untuk itu. Kau sungguh menghapalnya. Kau berulang kali memaklumi. Cintamu benar-benar murni. Dan kau sadar, seberapa indah aksara dicipta, sesungguhnya cintamu tak membutuhkannya. Ia hanya perlu ditindaki nyata. Cuma itu, tak harus muluk-muluk. Kau menyenangi hal sederhana. Sesederhana cinta yang kaupunya.
 Di saat itu kaubutuh seseorang.
 Di saat itu pula aku datang. [*]

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran