Untuk setiap para pecandu...
Bagi
kami yang awam ini, ekspresi adalah bentuk pengungkapan, proses dari ragam
bentuk, geometris untuk menyampaikan maksud. Membicarakan ekspresi sama halnya
dengan mengisahkan isi hati.
Seringnya ekspresi beraromakan
keabstrakan. Di satu sudut ia menyejukkan, di sudut lain ia membakar. Kadang
kegentaran menyamarkannya, menjadikan ekspresi tempat teraman untuk
bersembunyi. Serupa di saat bahagia kita cemberut atau di saat takjub kita
kalut. Ekspresi kerap pula membohongi kami. Di balik sepak terjangnya yang tak
terbaca, ekspresi adalah pengecoh paling ulung. Penampang yang bisa membuat
gamang.
Ekspresinya itu yang
kini membingungkanku.
Asap
mengepul keluar dari bibirnya. Beberapa hembusan ia nikmati, beberapa lagi ia
ratapi, selebihnya saya saksikan dengan muka nanar.
Saya sering menangis ketika
menyaksikan dirinya mengkonsumsi nikotin. Kerap saya mengutuki diri karena tak
mampu berbuat apa-apa. Dulu, lekuk bibirnya tak seperti saat ini. Bibirnya
masih ranum sebab ia bukan seorang pecandu. Seandainya orang-orang mau jujur
mereka pasti sudi membenamkan dirinya di sana, tak terkecuali saya. Namun kini,
bibirnya sudah kehitaman pun giginya yang dulu rapi dan putih itu sudah keruh
sebagian. Saya kesal.
Jika
boleh lebih dalam, saya ingin juga ikut rasakan kenikmatan seperti apa yang
dirinya alami, sebab ekspresi wajahnya kala menghirup selalu nampak ganjil, seperti
dia sedang mengejang sekaligus mengejan. Tiba-tiba saya tak lagi menyukainya.
Di kesempatan lain, kala kami
bersama. Kebersamaan kami kerap didasari oleh tugas kuliah, diskusi singkat,
dan ajakan basa-basi makan siang di kantin. Selebihnya kami sekedar rekan satu
jurusan. Dia mungkin tak pernah tahu, pada setiap ekspresi yang dia utarakan,
ekspresinya saat tersenyum dan saat melamun adalah sketsa yang paling saya kagumi,
yang saya cari-cari, yang saya curi-curi, sekaigus yang saya nanti-nanti. Tapi
semua kagum itu kini sirna, sebab ekspresinya kala tengah menghirup dan menghembusakan
asap tembakau selalu hilir-mudik di mata saya, di otak saya, terlebih di hati
saya.
Ekspresi
wajahnya yang seperti mengejan. Tiba-tiba saya tak lagi menyukainya
Pukul sepuluh pagi.
Hari
masih muda, namun aktivitas di setiap kampus menjelang akhir semester memang
selalu padat. Juga tenggat waktu di akhir tahun selalu terasa cepat. Beberapa
orang berlarian mengejar setoran tugas, beberapa lagi mengeluh sebab takut
hasil ujian tak memuaskan, beberapa lagi hanya diam pasrah pada keadaan. Tapi
setiap ekspresi itu adalah muskil didefenisikan. Serupa saat saya mendatangi
teman yang tengah bersedih (saya anggap ia bersedih sebab wajahnya murung),
tetapi ketika saya tanya ia pun menjawab bahwa ia bahagia.
Juga
gelandangan yang kemarin sore saya temukan. Ia tidur pulas di depan toko yang
lama tak berpenghuni. Saya tak tahu siapa namanya, darimana asalnya, namun saya
tahu ia sangat menikmati tidur. Dan kala saya bertanya apakah ia bersedih, ia
menjawab ia bahagia kendati pakaiannya sobek dan sinar wajahnya muram disapu
keadaan. Pun jika gelandangan itu balik bertanya, apakah saya bersedih,
kemungkinan besar saya akan menjawab jika saya sangat bahagia, kendati saya tak
benar-benar bahagia. Sebab saya mencintai seseorang yang tak mungkin saya
miliki. Karena sering saya melihatnya menyakiti diri sendiri, dan lemahnya saya
hanya mampu menangisi keadaan, sekaligus kecewa pada ketidakmampuan saya
mencegahnya.
Seperti
hari ini, saya duduk dekat koridor sambil memandanginya menghembus-hembuskan
asap, sesekali ia jahil meniupkannya pada rekan di sebelahnya. Jika bisa saya
ingin memberikannya terapi. Paling tidak ia tak perlu lagi mengisap rokok. Ia
cukup mengunyah biji-biji hitam tembakau. Mengisap tanpa asap.
Sudah sekitar 730 hari sejak
perkenalan kami. 28 Agustus. Saya tak pernah lupa dan tak pula alpa melihat
kalender (karena saya menamaninya sebagai tanggal kutukan), sebab di tanggal itu, ia
relakan dirinya menggantikan saya untuk dihukum. Senior yang gila hormat
meminta saya menari dan bernyanyi di depan mereka. Tapi saya adalah orang yang
pemalu, menari bagi saya adalah tindakan asusila sedang bernyanyi serupa
tindakan memaki-maki. Saya dari kasta terpelajar, kewajaran bagi saya adalah
buku dan tumpukan soal. Tak peduli seberapa tebal minus pada kacamata saya.
Maka bersih keras saya menolak. Namun para senior yang diktator tak habis akal
agar saya tak bisa mengelak. Tapi pada akhirnya, dia yang turun tangan. Ia tak
tega melihat saya dipaksa. Maka relalah ia menggantikan saya untuk menari dan
bernyanyi. Namun para senior yang semuanya pria itu, tak suka jika yang menari
dan bernyanyi adalah junior pria, mereka inginkan wanita, mereka inginkan saya,
tapi bersikeras saya bilang tidak bisa.
Setelahnya, mereka menghukum dia
sebab tarian dan nyanyianhya jelek. Meski bagi saya tarian dan nyanyiannya
adalah pemicu pertama yang membuat saya jatuh cinta. Pada lekuk bibirnya yang jantan
mereka membenamkan sepuluh batang rokok. Ia dipaksa menghabiskannya dalam lima
kali hisap. Saya menangis menyaksikan itu, saya marah namun tak bisa berbuat
apa-apa. Sebab saya junior yang kolot memakai kacamata tebal bermin tinggi.
Sejak saat itu ia jadi pecandu.
Sejak saat itu pula saya merasa bersalah. Kutukan bagi saya sebab tak mampu
menghalanginya untuk tak lagi menghisap benda itu. Racun yang membunuhnya
perlahan.
Tiba-tiba
saya tak lagi menyukainya