1 Maret 2015

Tanggal Kutukan


Untuk setiap para pecandu...


Bagi kami yang awam ini, ekspresi adalah bentuk pengungkapan, proses dari ragam bentuk, geometris untuk menyampaikan maksud. Membicarakan ekspresi sama halnya dengan mengisahkan isi hati.
        Seringnya ekspresi beraromakan keabstrakan. Di satu sudut ia menyejukkan, di sudut lain ia membakar. Kadang kegentaran menyamarkannya, menjadikan ekspresi tempat teraman untuk bersembunyi. Serupa di saat bahagia kita cemberut atau di saat takjub kita kalut. Ekspresi kerap pula membohongi kami. Di balik sepak terjangnya yang tak terbaca, ekspresi adalah pengecoh paling ulung. Penampang yang bisa membuat gamang.
Ekspresinya itu yang kini membingungkanku.
Asap mengepul keluar dari bibirnya. Beberapa hembusan ia nikmati, beberapa lagi ia ratapi, selebihnya saya saksikan dengan muka nanar.
            Saya sering menangis ketika menyaksikan dirinya mengkonsumsi nikotin. Kerap saya mengutuki diri karena tak mampu berbuat apa-apa. Dulu, lekuk bibirnya tak seperti saat ini. Bibirnya masih ranum sebab ia bukan seorang pecandu. Seandainya orang-orang mau jujur mereka pasti sudi membenamkan dirinya di sana, tak terkecuali saya. Namun kini, bibirnya sudah kehitaman pun giginya yang dulu rapi dan putih itu sudah keruh sebagian. Saya kesal.
Jika boleh lebih dalam, saya ingin juga ikut rasakan kenikmatan seperti apa yang dirinya alami, sebab ekspresi wajahnya kala menghirup selalu nampak ganjil, seperti dia sedang mengejang sekaligus mengejan. Tiba-tiba saya tak lagi menyukainya.
            Di kesempatan lain, kala kami bersama. Kebersamaan kami kerap didasari oleh tugas kuliah, diskusi singkat, dan ajakan basa-basi makan siang di kantin. Selebihnya kami sekedar rekan satu jurusan. Dia mungkin tak pernah tahu, pada setiap ekspresi yang dia utarakan, ekspresinya saat tersenyum dan saat melamun adalah sketsa yang paling saya kagumi, yang saya cari-cari, yang saya curi-curi, sekaigus yang saya nanti-nanti. Tapi semua kagum itu kini sirna, sebab ekspresinya kala tengah menghirup dan menghembusakan asap tembakau selalu hilir-mudik di mata saya, di otak saya, terlebih di hati saya.
Ekspresi wajahnya yang seperti mengejan. Tiba-tiba saya tak lagi menyukainya

Pukul sepuluh pagi.                                                  
Hari masih muda, namun aktivitas di setiap kampus menjelang akhir semester memang selalu padat. Juga tenggat waktu di akhir tahun selalu terasa cepat. Beberapa orang berlarian mengejar setoran tugas, beberapa lagi mengeluh sebab takut hasil ujian tak memuaskan, beberapa lagi hanya diam pasrah pada keadaan. Tapi setiap ekspresi itu adalah muskil didefenisikan. Serupa saat saya mendatangi teman yang tengah bersedih (saya anggap ia bersedih sebab wajahnya murung), tetapi ketika saya tanya ia pun menjawab bahwa ia bahagia.
Juga gelandangan yang kemarin sore saya temukan. Ia tidur pulas di depan toko yang lama tak berpenghuni. Saya tak tahu siapa namanya, darimana asalnya, namun saya tahu ia sangat menikmati tidur. Dan kala saya bertanya apakah ia bersedih, ia menjawab ia bahagia kendati pakaiannya sobek dan sinar wajahnya muram disapu keadaan. Pun jika gelandangan itu balik bertanya, apakah saya bersedih, kemungkinan besar saya akan menjawab jika saya sangat bahagia, kendati saya tak benar-benar bahagia. Sebab saya mencintai seseorang yang tak mungkin saya miliki. Karena sering saya melihatnya menyakiti diri sendiri, dan lemahnya saya hanya mampu menangisi keadaan, sekaligus kecewa pada ketidakmampuan saya mencegahnya.
Seperti hari ini, saya duduk dekat koridor sambil memandanginya menghembus-hembuskan asap, sesekali ia jahil meniupkannya pada rekan di sebelahnya. Jika bisa saya ingin memberikannya terapi. Paling tidak ia tak perlu lagi mengisap rokok. Ia cukup mengunyah biji-biji hitam tembakau. Mengisap tanpa asap.
            Sudah sekitar 730 hari sejak perkenalan kami. 28 Agustus. Saya tak pernah lupa dan tak pula alpa melihat kalender (karena saya menamaninya sebagai tanggal kutukan), sebab di tanggal itu, ia relakan dirinya menggantikan saya untuk dihukum. Senior yang gila hormat meminta saya menari dan bernyanyi di depan mereka. Tapi saya adalah orang yang pemalu, menari bagi saya adalah tindakan asusila sedang bernyanyi serupa tindakan memaki-maki. Saya dari kasta terpelajar, kewajaran bagi saya adalah buku dan tumpukan soal. Tak peduli seberapa tebal minus pada kacamata saya. Maka bersih keras saya menolak. Namun para senior yang diktator tak habis akal agar saya tak bisa mengelak. Tapi pada akhirnya, dia yang turun tangan. Ia tak tega melihat saya dipaksa. Maka relalah ia menggantikan saya untuk menari dan bernyanyi. Namun para senior yang semuanya pria itu, tak suka jika yang menari dan bernyanyi adalah junior pria, mereka inginkan wanita, mereka inginkan saya, tapi bersikeras saya bilang tidak bisa.
            Setelahnya, mereka menghukum dia sebab tarian dan nyanyianhya jelek. Meski bagi saya tarian dan nyanyiannya adalah pemicu pertama yang membuat saya jatuh cinta. Pada lekuk bibirnya yang jantan mereka membenamkan sepuluh batang rokok. Ia dipaksa menghabiskannya dalam lima kali hisap. Saya menangis menyaksikan itu, saya marah namun tak bisa berbuat apa-apa. Sebab saya junior yang kolot memakai kacamata tebal bermin tinggi.
            Sejak saat itu ia jadi pecandu. Sejak saat itu pula saya merasa bersalah. Kutukan bagi saya sebab tak mampu menghalanginya untuk tak lagi menghisap benda itu. Racun yang membunuhnya perlahan.
Tiba-tiba saya tak lagi menyukainya

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran