Waktu
setamsil sumbu. Waktu berlalu.
Hitungannya
menuntun hari, kendati geraknya tiada pasti. Dan aku masih di sini, menunggu
dia yang biasa-biasa saja untuk kuperhatikan dirinya, untuk kuingat senyumnya,
untuk kuterka-terka gelagatnya, dan untuk kuhapal matanya—pandangannya yang
tajam serupa cuter menyayat daging. Pandangannya selalu memberi sensasi ngilu.
Namun ia belum terlihat. Aku belum bosan menunggu.
Belum bosan sebab bukan aku sendiri yang menunggu (setidaknya terlihat seperti
menunggu). Di hadapanku, tiga lajang tengah berbincang. Salah seorang di antara
mereka menarik perhatianku. Sebab pandangannya teduh, wajahnya bersinar,
tawanya setulus balita, tubuhnya ramping namun tidak kurus, lekuknya dipenuhi
otot yang liat, urat darahnya menonjol di sekitar lengan. Ia yang kunilai
paling lugu dari yang lainnya. Yang satu lagi membuatku terkesan sebab di
beberapa topik cerita ia sering menggunakan logika. Kerap ia berteori,
mengambil asumsi dan merumuskannya untuk disepakati bersama. Dari yang lain, ia
yang paling tinggi (pasti banyak wanita yang suka kepadanya, sebab setahuku
wanita suka yang tinggi-tinggi). Kemudian sisahnya, seorang lagi yang tak
kutahu wajahnya sebab ia duduk sambil memunggungiku. Tapi dari suaranya,
mestilah ia seorang yang halus. Di beberapa nada tingginya malah terdengar
seperti ia sedang merendah. Tawanya serupa anak-anak, namun tak membuat pekak.
Ketiganya
menunjukkan kelelakian dengan pasion
masing-masing.
Lajang
pemilik mata teduh berujar.“ Aku tak tahu kalau ia seorang janda.” Ia
bercerita bahwa pernah ia menolong seorang wanita—membetulkan teveya. Ia masuk
ke rumah si pemilik teve dengan niat menolong. Tak ada perasangka, tak ada
rencana apa-apa. Waktu itu ia tak menyangka, barulah ia tahu setelah keluar
dari rumah itu, bahwa si pemilik rumah yang cantik adalah seorang janda. Sebab
teman-temannya bersorak “satu kosong” sambil tertawa setelah ia keluar dari
sana.
“Berpahala
loh, kalau menikahi janda.” Si Lajang paling tinggi menimpali disambut tawa
lajang yang memunggungiku.
Aku
tak tahu detail pembicaraan mereka. Namun pastilah itu sangat menarik, sebab
hal yang menarik sering memancing emosi yang berlebih. Emosi itu tertampil
jelas dari cara mereka berujar, mata mereka yang kerap ganjil, juga
ekspresi-ekspresi yang sulit diberi arti. Sulit diberi arti namun mampu
kupahami. Sebab sesungguhnya kata-kata tak mesti dituliskan agar kita mengeri,
karena apalah arti huruf yang dirangkaikan itu: jika kita berbicata tentang
vokal dan konsonan maka kita mesti berbicata tentang bunyi bahasa yang harus
dibedakan dari tulisan. Grafem tidaklah selalu penting dan fonem tidaklah
yang selalu utama. Sejak anak-anak kita tak langsung diajari menulis kata,
namun secara alami, kita menduplikat, menciptakan kata, mengasosiasikan kata
dengan makna. Anak-anak tidak belajar menulis, mereka belajar memaknai dengan
kata.
Tiada
yang lebih absurd dari hari ini, ketika
mendengarkan tiga orang lajang tengah menggosipkan seorang janda. Tapi lajang
yang memunggungiku membawa mereka pada topik lain. Yang lebih sakral:
pernikahan. Ia teramat senang sebab tahu bahwa istri sahabatnya (yang menikah
di usia muda) telah mengandung delapan minggu. Bahkan pernah ia dibuat kagum
oleh pria yang berusia 19 tahun namun telah memiliki dua anak.
Lihatlah mereka, tiga lajang yang
tengah menggosipkan janda dan pernikahan.
Sedang
aku masih menunggu kamu di sini. Diam-diam daun jatuh satu-satu. Hari masih
terik sebab tak ada awan yang terlihat. Mungkin akan turun hujan, lantaran air
terus menguap ke udara. (Jika tidak hujan dari langit, mungkin hujan dari
mata). Maka aku teringat lagi, bagaimana kita bertemu (pertemuan yang ingin
terus kuulang). Namun perasaan lain juga ikut menguap dari kepala, barangkali
juga hati:
Ada yang kini berbeda darinya.
Sesuatu yang selama ini ada namun tidak aku sadari. Sesuatu itu secara simultan
mengelilingi kami, namun cuma dia yang dibawa jauh ke dalam, sedang aku tertingal di luar. Sesuatu itu yang mengenalkan aku padanya, tetapi kini
sesuatu itu pula yang membuat ia asing. Aku tak tahu mengapa. Aku terus
bertanya-tanya.
Namun
bersih keras aku menunggu, kendati berulang kali waktu berkata bahwa ia tak
akan datang. Barangkali bukan Cuma waktu namun juga rasa ragu.
Empat
jam! Aku bosan menunggu. Menunggu ia menepati janji. Menunggu ia datang ke
sini. Meski kerap aku dibohongi. Tapi masih ada yang aku syukuri: pertemuan
kami. Sebab ada cinta di sana. Begitulah cinta, ia tidak harus direncanakan
seperti pernikahan. Ia tahu-tahu terjadi serupa rumput kecil yang tumbuh di
sekitar perdu. Meski tidak diinginkan namun tidak mengganggu.
Empat
jam! Dan setengah jam sebelumnya, ketiga lajang tadi telah pergi, meninglakan
topik pembicaraan mereka yang masih terngiang-ngiang di telinga. Tiga lajang
yang telah tumbuh otot-otot kelelakiannya, yang kerap lebih tertarik pada
pembicaraan mengenai janda dan pernikahan. Mungkin tak seluruhnya nafsu. Meski
tetap manusiawi jika benar seluruhnya nafsu. Namun tetap akal dan perasaan bekerja
di sini, sebab alangkah ganjil jika hanya akal yang memutuskan, juga betapa
muskil jika terus-terusan mengikutsertakan perasaan.
Serupa
kontradiktifnya aku yang mencoba mendamaikan akal dan perasaan untuk terus
menunggunya (maka di antara akal dan perasaan ada pertanyaan).
Haruskah
aku terus menunggunya?
Haruskah
ia mencintaiku?
Apakah
aku bodoh?
Haruskah
kebahagiaan timbul oleh alasan yang cerdas?
Aku
terus di sini, menunggu dia yang tak pasti. Dia yang biasa-biasa saja untuk
kuperhatikan dirinya, untuk kuingat senyumnya, untuk kuterka-terka gelagatnya,
dan untuk kuhapal matanya—pandangannya yang tajam serupa cuter menyayat daging. Pandangannya yang selalu memberi sensasi
ngilu. Namun ia belum terlihat.
Aku
telah bosan menunggu.