6 Maret 2015

Penunggu


Waktu setamsil sumbu. Waktu berlalu.
Hitungannya menuntun hari, kendati geraknya tiada pasti. Dan aku masih di sini, menunggu dia yang biasa-biasa saja untuk kuperhatikan dirinya, untuk kuingat senyumnya, untuk kuterka-terka gelagatnya, dan untuk kuhapal matanya—pandangannya yang tajam serupa cuter menyayat daging. Pandangannya selalu memberi sensasi ngilu. Namun ia belum terlihat. Aku belum bosan menunggu.
Belum bosan sebab bukan aku sendiri yang menunggu (setidaknya terlihat seperti menunggu). Di hadapanku, tiga lajang tengah berbincang. Salah seorang di antara mereka menarik perhatianku. Sebab pandangannya teduh, wajahnya bersinar, tawanya setulus balita, tubuhnya ramping namun tidak kurus, lekuknya dipenuhi otot yang liat, urat darahnya menonjol di sekitar lengan. Ia yang kunilai paling lugu dari yang lainnya. Yang satu lagi membuatku terkesan sebab di beberapa topik cerita ia sering menggunakan logika. Kerap ia berteori, mengambil asumsi dan merumuskannya untuk disepakati bersama. Dari yang lain, ia yang paling tinggi (pasti banyak wanita yang suka kepadanya, sebab setahuku wanita suka yang tinggi-tinggi). Kemudian sisahnya, seorang lagi yang tak kutahu wajahnya sebab ia duduk sambil memunggungiku. Tapi dari suaranya, mestilah ia seorang yang halus. Di beberapa nada tingginya malah terdengar seperti ia sedang merendah. Tawanya serupa anak-anak, namun tak membuat pekak.
Ketiganya menunjukkan kelelakian dengan pasion masing-masing.
Lajang pemilik mata teduh berujar.“ Aku tak tahu kalau ia seorang janda.” Ia bercerita bahwa pernah ia menolong seorang wanita—membetulkan teveya. Ia masuk ke rumah si pemilik teve dengan niat menolong. Tak ada perasangka, tak ada rencana apa-apa. Waktu itu ia tak menyangka, barulah ia tahu setelah keluar dari rumah itu, bahwa si pemilik rumah yang cantik adalah seorang janda. Sebab teman-temannya bersorak “satu kosong” sambil tertawa setelah ia keluar dari sana.
“Berpahala loh, kalau menikahi janda.” Si Lajang paling tinggi menimpali disambut tawa lajang yang memunggungiku.
Aku tak tahu detail pembicaraan mereka. Namun pastilah itu sangat menarik, sebab hal yang menarik sering memancing emosi yang berlebih. Emosi itu tertampil jelas dari cara mereka berujar, mata mereka yang kerap ganjil, juga ekspresi-ekspresi yang sulit diberi arti. Sulit diberi arti namun mampu kupahami. Sebab sesungguhnya kata-kata tak mesti dituliskan agar kita mengeri, karena apalah arti huruf yang dirangkaikan itu: jika kita berbicata tentang vokal dan konsonan maka kita mesti berbicata tentang bunyi bahasa yang harus dibedakan dari tulisan. Grafem tidaklah selalu penting dan fonem tidaklah yang selalu utama. Sejak anak-anak kita tak langsung diajari menulis kata, namun secara alami, kita menduplikat, menciptakan kata, mengasosiasikan kata dengan makna. Anak-anak tidak belajar menulis, mereka belajar memaknai dengan kata.
Tiada yang lebih absurd dari hari ini, ketika mendengarkan tiga orang lajang tengah menggosipkan seorang janda. Tapi lajang yang memunggungiku membawa mereka pada topik lain. Yang lebih sakral: pernikahan. Ia teramat senang sebab tahu bahwa istri sahabatnya (yang menikah di usia muda) telah mengandung delapan minggu. Bahkan pernah ia dibuat kagum oleh pria yang berusia 19 tahun namun telah memiliki dua anak.
Lihatlah mereka, tiga lajang yang tengah menggosipkan janda dan pernikahan.
Sedang aku masih menunggu kamu di sini. Diam-diam daun jatuh satu-satu. Hari masih terik sebab tak ada awan yang terlihat. Mungkin akan turun hujan, lantaran air terus menguap ke udara. (Jika tidak hujan dari langit, mungkin hujan dari mata). Maka aku teringat lagi, bagaimana kita bertemu (pertemuan yang ingin terus kuulang). Namun perasaan lain juga ikut menguap dari kepala, barangkali juga hati:
Ada yang kini berbeda darinya. Sesuatu yang selama ini ada namun tidak aku sadari. Sesuatu itu secara simultan mengelilingi kami, namun cuma dia yang dibawa jauh ke dalam, sedang aku tertingal di luar. Sesuatu itu yang mengenalkan aku padanya, tetapi kini sesuatu itu pula yang membuat ia asing. Aku tak tahu mengapa. Aku terus bertanya-tanya.
Namun bersih keras aku menunggu, kendati berulang kali waktu berkata bahwa ia tak akan datang. Barangkali bukan Cuma waktu namun juga rasa ragu.
Empat jam! Aku bosan menunggu. Menunggu ia menepati janji. Menunggu ia datang ke sini. Meski kerap aku dibohongi. Tapi masih ada yang aku syukuri: pertemuan kami. Sebab ada cinta di sana. Begitulah cinta, ia tidak harus direncanakan seperti pernikahan. Ia tahu-tahu terjadi serupa rumput kecil yang tumbuh di sekitar perdu. Meski tidak diinginkan namun tidak mengganggu.
Empat jam! Dan setengah jam sebelumnya, ketiga lajang tadi telah pergi, meninglakan topik pembicaraan mereka yang masih terngiang-ngiang di telinga. Tiga lajang yang telah tumbuh otot-otot kelelakiannya, yang kerap lebih tertarik pada pembicaraan mengenai janda dan pernikahan. Mungkin tak seluruhnya nafsu. Meski tetap manusiawi jika benar seluruhnya nafsu. Namun tetap akal dan perasaan bekerja di sini, sebab alangkah ganjil jika hanya akal yang memutuskan, juga betapa muskil jika terus-terusan mengikutsertakan perasaan.
Serupa kontradiktifnya aku yang mencoba mendamaikan akal dan perasaan untuk terus menunggunya (maka di antara akal dan perasaan ada pertanyaan).
Haruskah aku terus menunggunya?
Haruskah ia mencintaiku?
Apakah aku bodoh?
Haruskah kebahagiaan timbul oleh alasan yang cerdas?
Aku terus di sini, menunggu dia yang tak pasti. Dia yang biasa-biasa saja untuk kuperhatikan dirinya, untuk kuingat senyumnya, untuk kuterka-terka gelagatnya, dan untuk kuhapal matanya—pandangannya yang tajam serupa cuter menyayat daging. Pandangannya yang selalu memberi sensasi ngilu. Namun ia belum terlihat.
Aku telah bosan menunggu.

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran