Ketika pagiku menjadi malamku dan malamku
menjadi pagiku, mimpi sudah tidak mengasyikkan lagi. Tahu-tahu aku bangun
dengan keadaan aneh, semuanya menjelma begitu asing dan kosong. Kekosongan yang
seolah kekal. Sebelumnya aku baik-baik saja, tak pernah kurasakan hal seperti
ini. Aku bahagia kala membuka mata, dan tetap bahagia kala menutupnya.
Ada
kerinduan yang begitu familiar, juga beberapa kerinduan yang sungguh asing.
Kerinduan itu semakin mengabu-abukan kekosongan dalam hatiku. Makin lama
perasaan ini makin menyiksa; hati manusia yang tak pernah pasti. Aku paham jika
aku merindu, namun aku tak menemukan objek untuk kurindukan. Aku mendamba
sesuatu yang tak berwujud. Persis serupa kerinduan spiritual, meskipun tak
benar juga bila disimpulkan demikian.
Pernah
mimpiku, membawa aku ke dalam lorong gelap dan panjang. Di sana aku tak
mendapatkan pencahayaan, yang ada hanya rasa sendiri, rasa ditinggalkan, rasa
membutuhkan pertolongan. Di ujung lorong kutemukan cahaya yang redup. Tepat di
sana kau berdiri, sambil memegang lentera yang remang. Betapa lega kala kulihat kau
disana. Namun, tiba-tiba segalanya menjadi abu-abu. Kau menghilang, cahaya
redup itu juga menghilang. Pijakanku menjadi gamang, aku jatuh terjerembab,
seperti terjun bebas dari ketinggian beribu-ribu kaki.
Mataku terpaksa membuka. Kekosongan itu kurasakan lagi, setelahnya rindu yang tiada
tara. Di beberapa jenak aku stress tapi kemudian rindu lagi. Stres lagi, rindu
lagi, stress lagi, rindu lagi. Akalku tak pernah sanggup merambah kerinduan
itu; kerinduan pada sesuatu yang tak berwujud itu. Sungguh, ketersiksaan ini
kuupayakan menjadi kenikmatan yang harus kutanggung. Ketersiksaan itu tidak
terukur. Ia menggerogoti sampai ke sumsum tulang, ke setiap lekuk daging, ke
segala bilik dalam jantung. Namun, betapa itu masih terasa nikmat. Dalam
ketersiksaan kutemukan kenikmatan. Entah apa, tidak terdefenisi, tidak mampu kupahami.
Aku galau lagi.
Boleh
jadi ini adalah cinta yang tak jelas arahnya ke mana. Di saat-saat tersuliku,
aku merasa membutuhkan objek yang dengannya dapat kusandarkan kepala di sana.
Mungkin objek itu; sesuatu yang tak berwujud itu, boleh disebut “kekasih” atau “seseorang
yang dengannya kita berkeluh kesah, dan berbahagia”? Atau dua petikan itu hanya
kata untuk kujadikan pelarian saja? Sebab aku masih tak tahu apa yang kumau.
Diriku yang materi membutuhkan materi lain untuk bercermin. Maka itu kujadikan
kau objek agar ketidakjelasan ini dapat kurumuskan dalam formula yang
sederhana. Kerinduan itu selalu kularikan pada sosokmu, meski kadang sesuatu
dalam diriku menyangkalnya. Bisa jadi ini hanya cinta yang tak jelas ke mana tujuannya. Kekosongan itu kerap menekan-nekan dalam dadaku, seperti ada cuter kecil yang bersarang di sana. Ia menyayat, membuat sakit meski tak berdarah. Kekosongan itu meminta diisi, isyaratnya berupa kerinduan pada sesuatu yang tak berwujud itu. Aku tak mengerti apa, maka izinkan aku merindukanmu saja. Sebab kau nyata, kau wujud yang sempurna.
Tolong isi kekosongan dalam diriku. Isi ia sampai melimpah. Sampai aku tak sanggup lagi menampungnya.
Tolong isi kekosongan dalam diriku. Isi ia sampai melimpah. Sampai aku tak sanggup lagi menampungnya.
Untuk R.F.M
saya tak memaksa agar kamu mengerti,
hanya sekedar kamu tahu, itu sudah lebih dari cukup