Universitas Sumatra Utara, 12 September 2014
R.F.M
Aku mengenalmu melalui puisi, coba-coba memahami diksimu yang rumit, yang tak tersurat, yang bersimbol dan penuh teka-teki. Sukar memang, tapi aku memaklumi. Sebab puisi adalah uap dari hidup, serupa saat kamu menanak nasi. Uap itu terbang membawa harum beras, pergi meninggalkan dandang yang panas demi mencari tempat yang layak di antara titik-titik hujan di awan sana. Tapi aku bukannya hendak berkisah tentang nasi dan uap panasnya. Aku hendak bercerita tentang tiga huruf yang kerap kusebut-sebut, dalam bait prosa atau paragraf, dalam entri blog atau buku catatan.
Asumsiku mengatakan jika kita banyak
miliki kesamaan (terserah kalau kamu tak mau mengakui) tapi bukankah kita
adalah cermin yang hidup antar diri kita masing-masing? Denganmu aku seolah
sedang berkaca. Ada bayang-bayangku dalam dirimu begitu pun sebaliknya,
ajaibkan? Kita sama-sama suka cerita
pendek, sama-sama pengagum puisi, pecinta film, dan gemar sekali musik. Kita
senang Sastra meski kita belajar Bahasa. Kita bahkan tinggal di daerah yang
sama, bahkan lahir di bulan yang sama. Aku suka cara berpakaianmu, gurauanmu,
juga parfum yang kamu pilih. Jika boleh aku ingin tahu apa mereknya, agar nanti
kubeli, menyemprotkannya di sekujur badanku. Aromanya akan kukenang dan kukenal
di kemudian hari bila nanti keberadaanmu sudah tak lagi kumiliki. Gila ya?
Biarin!
Di beberapa kesempatan kamu kerap
menjelma jadi sebuah Tower. Kenapa Tower? Sebab kamu dapat kulihat tapi sulit
kurengguh. Kamu begitu tinggi sedang aku lelah mendongak hanya untuk menatapmu
lebih lama. Burung-burung kadang singgah dan bertengger padamu, dan bukan cuma burung-burung,
pepohonan sampai iri padamu. Badai lelah berusaha menjatuhkanmu. Terik matahari
butuh waktu lama untuk memudarkan semangatmu. Dan tinggallah aku, seseorang
yang dari jarak puluhan ribu meter memendam cinta dan damba pada Tower yang
menjulang sampai membelah langit di atas sana. Aku kembali pada titik awalku:
memikirkan tentang cinta yang tak mungkin lalu bersikeras meminta agar cinta
itu menjadi mungkin.
Begitulah cinta yang digdaya dengan
sedikit dorongan kuasa alam, karenanya kita bisa menyukai sesuatu yang mulanya
kita tak suka atau malah kita benci. Kamu suka The Beatles, aku pun jadi suka.
Kamu suka saos banyak-banyak di makananmu, aku pun (terpaksa) menyukainya. Kamu
pecinta puisi, aku pun berusaha menjadi puisi. Kamu gemar jalan-jalan, aku pun
berusaha menjadi peta tempatmu bertanya. Apa pun agar kau terkesan.
Serupa hari ini. Kita duduk berdua
di satu ruangan sepi. Kamu diam dengan penyuara di telinga (lagu apa yang
sedang kamu dengarkan? Aku harus tahu, harus download dan mendengarkannya
juga). Aku pun tak jauh beda, ada handset di
telingaku tapi sebenarnya aku tak mendengarkan lagu apa pun (gaya-gaya aja,
agar kita sama). Kelemahanku adalah aku orang yang tak pintar membawa suasana,
tak pintar memilih topik untuk dibicarakan, tak pandai berbasa-basi, tak pandai
melucu, ditambah lagi aku suka kikuk jika di hadapanmu.
Terpaksa, beberapa pertanyaan
kulontarkan. Jawabanmu pendek-pendek saja. Aku coba melucu. Kamu tertawa dengan
nada datar (tuh kan! Aku memang garing, mirip bakwan sehabis digoreng). Padahal
banyak sekali yang sebenarnya telah kurencanakan. Hhmmm… ayo kita nonton
konser, jalan-jalan, nonton film, jajan di kafe mahal, singgah di beberapa toko
pakaian, lalu ke toko kaset: beli kaset musik atau kaset film. Boleh film luar
negri atau anime. Terserah, yang penting kita tak diam-diaman seperti ini. Atau
kita potong tumpeng saja? Masak pulut kuning? Piknik sambil makan pancake
selebriti? Apa pun, asalkan setiap meomen yang kamu lalui bersamaku akan jadi
momen berharga yang enggan kamu lupakan.
Namun aku memang penghayal yang
baik. Pelamun professional. Segala rencana yang indah-indah itu mendadak layu,
serupa bunga dalam pot yang kekurangan air. Aku sering kesal. Saat kamu tak ada
segala khayalan itu terasa begitu indah, begitu nyata. Namun, jika kita sudah
bertemu, mendadak aku dihantam realitas. Kenyataan hidup seolah menjatuhkanku
dengan telak, ia menyadarkanku jika aku memang bukan apa-apa, bukan
siapa-siapa. Aku hanya orang yang berharap semoga cinta yang tak mungkin ini
menjadi mungkin.
Kalau boleh meminta, aku ingin
sekali jadi tempatmu bercerita. Agap saja aku tong, tempat di mana kamu dapat
buang semua sampah hatimu. Aku ingin sekali tahu, apa yang membuatmu cemberut
sedari tadi, apa penyebab bicaramu jadi sedikit, jika memang ada masalah
bolehkah kauizinkan aku tahu? Tapi jika pun aku tahu, apa yang orang macam aku
ini dapat lakukan? Paling aku hanya bisa memberi nasehat-nasehat yang
membosankan. Membuatmu tertawa saja aku tak sanggup, paling jatuhnya jadi
garing lagi, mirip remah-remah rempeyek yang tak akan memuaskan rasa kenyangmu.
Huufftt… sebenarnya banyak lagi yang
ingin kuutaraklan. Ayo kita main ludo atau getrich. Potong kueh bolu dan tiup
lilin kendati ulang tahunmu masih beberapa bulan lagi. Mungkin ke kebun
binatang atau kita ke taman budaya nonton teater dan wayang. Banyakkan yang
dapat kita lakukan?
Apa
pun! Asalkan kamu merasa nyaman denganku dan ingin bertemu
lagi,
lagi,
lagi….