13 Juni 2015

Sesuatu yang Bodoh

From Google


Untuk tiga huruf dan bayang-bayang di sudut pikir...


Kamu tak begitu paham apa yang terjadi. kamu tak punya cukup jawaban untuk memastikan relasi antara dirimu dan ia. Namun, kamu percaya suatu alasan akan sertamerta datang dalam pemendaman yang kamu lakukan sendirian, memberikan penjelasan terhadap apa yang kini tak jelas. Suatu pengetahuan akan tiba-tiba muncul, serupa kecambah yang menumbuhkan daun. Daun itu akan terus tumbuh hingga menyentuh kepala atau rongga dadamu dan mengembang daun itu menyentuh kesadaranmu.

Doa-doamu pun kerap sama. Bahwa hidup di dekatnya adalah tujuanmu. Bahwa alasan langit berwarna biru adalah jika kalian menyatu. Kamu yakin Tuhan tak akan bosan, malah semakin mengerti, dan semoga saja ia menyatukan kalian berdua. Namun, terkadang ragu memupus harapanmu. Kamu yang kecil, kamu yang lemah, kamu yang terus merasa sendiri sebab ia tak urung tunjukkan reaksi pasti. Kesedihan membayangimu. Kekuatan macam apa yang telah menuntunmu sejauh ini? Perasaan itu terus bertumbuh meski tak kamu semai. Perasaan itu bagai perdu, rerumputan kecil yang hadir tanpa diminta.

Ini kali kesekian kamu menunggunya. Sudah genap dua tahun kamu begini, rela kamu berlelah-lelah untuknya. Rela kamu berikan apa saja agar ia bahagia. Rela kamu bagi perhatianmu lebih dari yang ia perlu. Kendati sering ia mengabaikanmu. Tak memikirkan kamu sebanyak kamu memikirkan ia. Dan mungkin pula tak pernah berlelah-lelah seperti kamu berlelah-lelah untuknya.

Hampir dua jam kamu menanti....

Dua jam itu kamu habiskan dengan mendengarkan lagu kesukaannya. Mendung yang sedari tadi menggantung akhirnya menumpahkan isinya. Betapa ini situasi yang pas, di sekitar koridor kampus kamu berteduh, udara dingin langsung mengakrabimu. Dan kamu terus menunggu.

Sambil menunggu, kenangan manis terputar di kepalamu bagai rol film memuaikan gambar-gambar. Kamu mengingat kembali kali awal saat bertemu dengannya. Pandangan pertama yang seketika itu mengasumsikan jika kamu jatuh cinta. Pandangan pertama? Bukankah itu konsep yang aneh? Kuno? Jadul? Pandangan itu tak lebih adalah ketertarikan yang kini mekar jadi sesuatu yang tak kamu pahami.

Lihatlah... demi mendapat momen pulang bersama, rela kamu menunggu sedemikian lama. Patutkah ini disebut kekonyolan? Atau ketololan? Entah... Namun kekonyolan dan ketololan itu telah jadi konsumsi atas rasa yang tengah kamu derita. Seringnya kamu seperti melakukan kekonyolan dan ketololan kecil yang menuntunmu kepada kesalahan-kesalahan besar. Kamu rela menaiki angkot yang bukan jurusan pulangmu agar dapat pulang bersama. Kamu menghargai setiap momen kala di dekatnya. Kamu mau melekat, kamu mau tak ada jarak, kamu mau... meski kamu tahu mungkin saja akan menderita. 

Kamu tak mengapa mementingkan urusannya ketimbang urusanmu sendiri. kamu tak masalah jika harus celaka demi kebahagiaannya, demi kebutuhannya. Betapa kamu letakkan ia pada prioritas utama. Kamu ingin ia nyaman saat di dekatmu. Kamu ingin tak ada sekat antara kalian berdua. Kamu bosan diam, kamu ingin bersuara terang-terangan berkata cemburu, berkata rindu, berkata sayang kepadanya. Kamu ingin tak takut mengakui dosa. Kamu ingin tak takut mengakui citra dan perasaan itu. kamu ingin tak trakut bercermin dalam telanjang. Kamu harap jiwamu lebih berani. Kamu harap jiwamu tak takut bilang jika kamu mencintainya. Kamu ingin memeluk ia tanpa khawatir. Kamu... terlalu banyak daftar keinginan hingga kamu kelelahan.

Lihatlah... dua jam kini bertambah menjadi tiga jam. Hujan yang tadi menderas kini mereda, menjadi titik-titik yang turun satu-satu.

Ketika kamu menyesal, kamu lypophrenia; sedih tanpa ada sebabnya. Telah kamu cintai ia sejadi-jadinya. Kamu masih kuat mendamba kendati kamu rasakan kesakitan, kala melihatnya bukan bersamamu, kala tawanya bukan untukmu, kala ia begitu jauh, begitu tak terjangkau. Kamu rasakan sakit sebab cintamu masih sebatas angan-angan, sedangkan cinta adalah mengalami. Cinta jika tidak mengalami hanyalah bayang-bayang di sudut pikir. Hantu yang menyeramkan sekaligu bikin penasaran. Meski begitu, tetap kamu tegarkan diri dengan pembenaran-pembenaran, dengan alasan-alasan penguat bahwa meski tidak diutarakan yang kamu rasakan tetap cinta, secara implisit yang kamu hadapi adalah cinta, dengan atau tanpa mengalaminya.

Kagum kamu pada diri sendiri. Bagaimana bisa kamu setabah itu? Namun tetap saja jiwa dan jasadmu enggan berdusta. Separuh dirimu menginginkannya. Perasaanmu bagai rantai yang menjerat jiwa dan jasadmu. Kamu tercekik, tersiksa, tetap kamu tak mengapa.

Genap empat jam kamu menunggu...

Hujan sudah tak ada, namun langit masih mendung. Awannya sekelabu batinmu. Mungkin langit pun bersedi menyaksikan kekonyolanmu. kamu tunggu ia sampai kelaparan. Kamu baru ingat tadi tak sempat makan siang, sebab waktu makan siang kamu habiskan dengan mencarikan hadiah untuknya. Hadiah itu telah kamu bungkus dalam kotak sepatu dan kamu hias dengan kertas kado. Hadiah itulah yang menjadi tema bagi penantianmu. nanti dalam perjalanan pulang, hadiah itu akan kamu berikan. Namun yang dinanti belum muncul-muncul jua. Kamu terus menunggu.

Jam berdentang, tak pasti lagi apakah itu jam tanganmu atau jam di hatimu. Wajahmu semakin kusut, badanmu telah letih, kelelahan akibat menunggu. Lima jam! dan itu cukup untuk membuat kamu gundah dan nelangsa. Kamu merasa bodoh sekali. Hawa dingin makin menambah rasa lapar. Tak ada hiburan, lagu-lagu yang kamu dengarkan telah habis terputar. Hingga kamu mulai bosan. Tapi ketika sekelabat bayangnya muncul, seketika  itu bosanmu hilang, lelahmu lenyap. Kamu tak masalah menunggunya lebih lama lagi. Asalkan setelah ini kalian pulang bersama dan bingkisan itu tersampaikan padanya.

Kamu ketahui bahwa kamu bukan satu-satunya tujuan dan pengharapan. Kenyataan yang menyedihkan. Enam jam! ia belum jua tampakkan bening mata dan sahaja senyumnya. awan mendung telah memuram sebab matahari sudah undur diri. Kamu, masih mau menunggu? Enam jam kamu habiskan dengan sia-sia. Kamu menunggunya, sedang ia tidak menunggumu. Ajakan pulang bersama yang sebelumnya kamu sampaikan bukanlah sesuatu yang harus ia ingat atau pertimbangkan. Kamu kesal, kamu akhirnya marah, kecewa, benci... pada siapa? Pada dirimu sendiri.

Kamu menyerah! kamu angkat kaki dari tempat menunggu. Dan bergegas mencarinya. Kamu melangkah dengan kekeceawan di ubun-ubun kepala. Ruang kelas telah sepi, hanya tempak beberapa rekan yang sengaja menunggu hujan reda. Kamu bertanya.

"Ia sudah pulang sejam yang lalu."

Ha?! Bodoh sekali, enam jam menunggu ternyata yang ditunggu sudah pulang mendahuluimu. Kamu berlari meninggalkan keas sambil menenteng hadiah yang seharusnya kamu berikan untuknya. Tahu-tahu airmatamu menetes seperti parit kecil yang mengalir sampai di selokan jantungmu. Kamu menyesali ini, meski tak menyalahkannya pula. Kamu tahu konsekuensinya: bahwa yang diam-diam mencintai, harus rela diam-diam tersakiti. Sebab tak ada hak bagimu menuntut. Kamu tak punya kuasa, kamu tak miliki daya, kamu hanya sepotong diam yang tak henti mencinta.

Lama-kelamaan kamu sadari sesuatu. Sesuatu itu membuatmu tertawa. Tawa yang getir. Kamu tak menyalahkan dirinya atas kebodohan ini. Sebab bodoh bukanlah sesuatu yang salah, bodoh adalah sesuatu yang bodoh.

Enam jam kamu menunggu, tapi yang ditunggu telah pulang mendahuluimu. Bodoh sekali....          

Pengikut

Label

Wikipedia

Hasil penelusuran