Sumber gambar: Instagram |
Buat R.F.M
Aku mengingat-ngingat lagi pertemuan terakhirku denganmu.
Hal yang ingin kuulangi terus-menerus. Cerita-ceritamu telah jadi konsumsi skunderku sedang kehadiranmu adalah konsumsi pokokku, dan kita mesti terus mengonsumsi agar tetap hidup.
Kala di dekatmu, aku menamainya "momen absis"; jarak titik terhadap sumbu tegak. Akulah titik itu. Titik yang mendamba pada sumbu tegaknya. Aku pun adalah magnet, magnet yang tidak menarik melainkan tertarik. Bagaimana bisa magnet tidak menarik, namun hanya tertarik? Ada sesuatu yang tidak adil di sana. Sebab hanya sebelah pihak yang berlelah-lelah bergerak, sedang pihak lainnya hanya diam tegak.
Aku tak tahu, hubungan semacam itu dapat untungkan satu pihak, atau keduanya, atau malah merugikan bukan hanya kedua belah pihak tetapi pihak lain di sekelilingnya, membuat kalut. Aneh memang, tetapi engkau adalah sewujud kegalauan yang tahu-tahu hadir dalam hidupku. Sialnya engkau tak tertebak, dan aku pemain yang buruk dalam ranah tebak-menebak.
Satu rahasia ingin kuturunkan:
bahwa kini engkau kerap hadir dalam ingatan. Aku sadar ini klise, tapi inilah yang terjadi. Sebelumnya keganjilan macam ini selalau mampu kuatasi. Asal tahu saja, aku orang yang pandai memanipulasi emosi, serupa bunglon. Tapi ini bukan penipuan. Bunglon tidak menipu. Ia meniru. Ia meniru lingkungan sekitarnya saat terancam. Aku pun begitu.
Namun belakangan ini, ada sesuatu yang salah; hal teragis yang sungguh teramat kusesali. Sebab aku kecanduan pada kegalauan itu. Aku ingin terus merasakannya. Aku tak mau ini lekas berakhir. Itu sebabnya kuteror engkau setiap hari dengan beragam pertanyaan. Kurangkai pola dan rencana agar dapat kita bersama-sama. Jika tak disediakan takdir untuk hari kita bersinggungan, berarti harus aku yang bekerja keras agar singgungan itu terjadi. Agar pada tujuh hari dalam satu minggu itu, minimal satu harinya kita habiskan bersama.
Keanehan ini memuncak pada kegilaan yang tak kumengerti. Mungkin engkau pun tak mengerti, tak perlu terburu-buru, aku pun tak menuntut agar engkau mengerti. Tetapi coba simak ini:
Diri kita, yang punya dua sisi atau banyak sisi? Ruh dan jasad. Raga dan jiwa. Gelap dan terang. Diri kita selalu punya kebalikan-kebalikan itu. Binatangisme bahkan spiritualitas jadi satu di dalamnya, setiap kita punya sisi setan sekaligus malaikat. Punya sisi gelap dan bayang-bayang. Betapa dinamisnya kita. Betapa tak ada yang pasti pada diri kita. Juga perasaan kita saat ini.
Pada mulanya ia hanya berupa setumpuk damba yang belum berwujud. Katakanlah ia abstrak, tak beralasan, premis yang belum jelas, latar belakang masalah yang masih dicari-cari. Namun pada akhirnya setumpuk damba itu kini menjelma menjadi engkau. Dan sialnya meski kini damba itu telah berwujud, aku masih belum mengerti, sampai aku kesal sendiri. Menurutku ini wajar. Sebab dalam diriku ada cinta, kasih, dan pengharapan yang setia tertabung. Sedang kini ketiga hal itu sudah sampai pada batas cukupnya. Ketiga hal itu tertumpuk dalam jantungku dan seperti menjadi benalu (kuharap tak juga jadi begundal). Serupa balon, jika terus diisi angin, akan ada batas cukupnya dan jika tak muat lagi balon itu akan pecah. Kuberdoa, semoga jantungku tak akan pecah.
Cinta, kasih, dan pengharapan itu butuh disalurkan, dibagi dengan objek lain. Maka izinkan aku membanginya denganmu. Bolehkah? Dan jika pun tak kauizinkan, aku akan membaginya secara diam-diam. Tidakkah kaucuriga pada segenap perhatianku untukmu? Tidakkah kau bertanya, mengapa besar rasa penasaranku, rasa ingin tahuku akan dirimu? Tidakkah kauheran, atau curiga pada rindu yang kusisipkan dalam setiap tanyaku mengenai kabarmu? Sesungguhnya kesemua itu adalah bentuk dari cinta, kasih, dan pengharapan yang kini diam-diam aku salurkan.
Apakah ini benar? Atau salah? Apa itu benar, apa itu salah? Siapa yang benar, saiapa yang salah? Aku tak pernah tahu. Jika dapat kaurasakan, betapa cinta, kasih, dan pengharapan yang tertumpuk dalam jantungku begitu menyiksa, sebab ia mendesak-desak minta keluar. Dan bagaimana bisa ketiga hal yang indah-indah itu menjelma siksa? Ketiganya mesti terus aku bagi, kalau aku ingin waras. Sebab jika tidak, aku bisa gila! Setelah gila, akan ada kesalahan-kesalahan kecil yang senantiasa menuntunku pada kesalahan besar.
Untuk situasi ini, tolonglah agar engkau mau mengerti. Sedikit saja pahami, sedikit saja... Lihatlah, aku sampai memohon-mohon seperti ini. Tidakkah engkau kasihan? Tidakkah kau iba padaku? Engkau sewujud damba yang telah jadi kegalauan. Engkau muara tempat cinta, kasih, dan pengharapanku tersalurkan. Engkau wadahku, cawan milik malaikat surga yang tak sengaja jatuh ke dunia fana ini.
Sekali lagi izinkan aku membagi ketiga hal itu. Semata-mata agar terhindar aku dari kesalahan besar, supaya tetap aku berada dikoridor-Nya. dan agar tak pecah jantungku. Terimalah cinta, kasih, dan pengharapan yang telah rapi-rapi aku sembunyikan dalam waktu juga perhatian yang kuberikan. Kuberikan secara cuma-cuma, tanpa ragu, tanpa muslihat, dengan sedikit siasat. Terimalah dengan hati terbuka. Setelahnya berilah aku senyum terikhlasmu, tanpa keliru, tanpa pretensi, juga tanpa jeri.
Maka penuhilah setiap ajakanku, sambut baik undanganku, pertimbangkanlah permintaanku. Dan selamatkan aku.
Tolong aku... agar jantungku tak pecah.